Well, aku mau cerita panjang kali lebar kali
tinggi, tinggi dan tinggi sampai ketinggian, eh ketabrak pesawat, jatuh. Jatuh
itu sakit. Kaya jatuh cinta, tapi cuma cintamu yang jatuh. Iya, sakit banget
emang (malah ngelantur gini :/)
Ini cerita tentang sahabatku, sebut saja
namanya Carla dan Carli. Si Carla dan Carli ini teman pas waktu SD dulu.
Keduanya nggak pernah akrab dan bertemu kembali setelah sama-sama lulus SMA. Si
Carla melanjutkan ke jenjang kuliah, sedang Carli nggak. Dia memilih bekerja.
Ceritanya, si Carli dan Carla ini sering
chatingan dan komen-komenan di facebook. Udah kaya lagu lagi-lagi facebook,
aku jadi ketagihan aann....ann... Nah, mungkin bisa juga ini realita
pepatah jawa yang mengatakan, witing tresna jalaran saka kulina. Embuh
kulina bareng, tukaran, lan sing ngetren saiki, chatingan.
Aku mau nyeritain di bagian ketika kisah keduanya
mentok di sahabatzone. Zona dimana dua orang membatasi kedekatan mereka sebatas
sahabat, nggak lebih. Nah di kasus ini, si Carli cinta sama si Carla, tapi
Carla merasa nyaman kalau keduanya jadi sahabat. Bisa jadi karena cinta Carli
tak terbalas. Bisa jadi seperti itu.
Habis itu, si Carli down lagi. Padahal
sebelumnya dia semangat banget karena sinyal-sinyal positif dari Carla.
Rupa-rupanya sinyal itu semacam kamoflase, semu, tidak sungguhan.
Tapi, menurut penuturan Carla, ia merasa semua
itu tak dibuat-buat. Carla bilang padaku, kalau ia selalu bilang apa adanya
tentang perasaannya. Menjaga perasaan itu penting, tapi saling terbuka justru
lebih penting. Lebih baik katakan kangen kalau kangen, katakan sebal kalau lagi
sebal, daripada tutup-menutupi. Well, tak selamanya diam itu emas kan? Kalau
elu jatuh hati tapi elu diam terus, mana dia peka. Elu kira mahkluk cowok itu
paham kode-kodean? Dia kan manusia biasa, sama kaya kita. Bukan robot atau web
yang penuh dengan coding (kode-kode gitu).
Nah, setelah si Carla ini bilang ke Carli
kalau dia nyamannya jadi sahabat, si Carli merasa sangat sangat sia-sia
perjuangannya selama ini. Ia merasa apa artinya perjuangannya kalau toh yang
dipeejuangin Cuma menganggapnya sebagai sahabat, tidak lebih. Apalagi yang
perlu diperjuangkan? Nothing. Dan sepertinya si Carli patah hati untuk yang
kedua kali.
Carla bilang padaku, ia tidak bisa menjanjikan
perasaan, tapi ia akan mencoba ada saat Carli membutuhkan. Bagus sih, tapi
dimana-mana yang namanya perasaan ndak terbalas itu ya sakit, kalau kamu punya
harapan atas perasanmu itu padanya. Kalau nggak ya, nggak tau juga sih. Kan
orang beda-beda, kalau disamain, ndak ada variasinya dong. Itu orang apa robot?
Sama semua.
Nah, akhirnya pelan-pelan si Carli malah
menjauh. Ya, dia tahu dia sudah tak diharapkan Carla selain sebagai sahabat.
Tapi, si Carla ini masih percaya sama konsepan witing tresna jalaran seka
kulina. Dia berharap cintanya akan tumbuh pelan-pelan seiring kebersamaan
mereka.
Ya, menurutku Carla emang naif, egois. Ia
nggak mau terikat status, tapi ia tetep pengen deket. Ya itu tadi, deket
sebagai sahabat. Ia pengen ada seseorang yang bisa diajak ketawa lepas bareng,
sedih bareng, bertukar pikiran bareng, apapun yang bisa dilakukan sama sahabat
dan saling menyemangati.
Cuma ya itu tadi, lagi-lagi nggak semua orang
itu punya pikiran sama. Si Carla pengennya begitu, si Carli pengennya begini.
Kan nggak nyambung. Toh si Carla bilang diawal tadi, dia nyaman jadi sahabat.
Tapi kesannya seakan kaya pacar (bersama, menyemangati, membantu, mendoakan).
Tapi ya itu tadi, lagi-lagi setiap orang punya pandangan sendiri tentang
kedekatan mereka dengan orang lain.
Carla, meskipun perasaannya tak seperti
perasaan Carli padanya. Ia ingin agar sahabatnya itu sukses, menikmati setiap
jengkal proses, mendukungnya, menyemangati, terbuka dengan berbagai pertanyaan,
dan saling bertukar pengalaman. Carli itu cerdas, meskipun belum ada kesempatan
kuliah seperti Carla.Carla peduli dengan Carli dan merasa kecerdasan Carli
harus dikembangkan, harus ditempa, meskipun tidak harus melalui pendidikan
formal.Cuma itu tadi, Carli nggak puas kalau Cuma dipedulikan, bukan dicintai.
Carli ingin dicintai, sedang Carla tak bisa memberikan itu.
Akhirnya, Carla pun merasa bingung. Di sisi
lain dia nggak mau meredupkan sinar sahabatnya —ia ingin terus menyemangati,
menjadi teman ngobrol, membantu jika sahabatnya membutuhkan— tapi dia lebih
nggak bisa jika harus menjalaninya dengan kebohongan. Sehingga, jalan alternatif
yang dipilihnya adalah tetap mempedulikannya, menghargai perasaan cinta
sahabatnya, dan tetap mendukung sahabatnya itu. Hanya saja, si Carli ingin lebih
dari sebatas itu. Dan nampaknya, ia sudah lelah dengan harapannya sendiri.