Wednesday 6 April 2016

Jepit Kupu Ungu

         Hasil gambar untuk jepit kupu illustration

             Hari yang begitu panas, sangat panas malahan. Beberapa anak terlihat membawa es di plastik, beberapa lagi duduk bercengkrama di bawah pohon. Mereka nampak merasa kepanasan, tapi sudah bisa berdamai dengan panas. Sedangkan aku, sendirian di bangku taman tak jauh dari mereka.
            Setiap hari, kecuali Minggu, aku selalu menghabiskan tiga puluh menitku dengan duduk membaca novel di bangku ini. Novel yang kubaca macam-macam. Kali ini sebuah novel “Ayah” karya penulis terkenal dari Belitong.
            Sebenarnya ada hal lain yang kulakukan di sini. Bukan cuma membaca novel, tapi juga membaca gerak-gerik seseorang yang duduk di sebrang taman sana, di balik pohon srikaya. Ia selalu sendiri dan tak pernah absen duduk di sana, seakan tempat itu sudah ditakdirkan untuk didudukinya. Lalu seorang teman menedekatinya.
            “Hai, Isya, sedang apa kamu?”
            “Ah, seperti biasa. Mengisi tts siapa tahu dapat hadiah. Hehe...”
            “Eh! Dapat hadiah dari mana? Orang kamu tak pernah ngirim kok.”
            “Hehe... bercanda lah. Lagi pula ini cuma hobi. Mana jajan titipanku tadi?”
            “Nih... hampir saja tadi kehabisan. Kau tahu, anak-anak saling berebut hanya untuk mendapatkan sepotong bolu kukus buatan bibimu itu. Kurasa bibimu lebih baik menjadi chef saja, Is.”
            “Kali lain akan ku coba katakan padanya.”
            Cewek yang sering dipanggil Isya itu adalah siswi angkatan sepuluh, adik kelasku. Dari segi penampilan dia biasa saja. Rambutnya panjang terurai, kadang juga diikat. Ia selalu memakai penjepit rambut berbentuk kupu berwarna ungu di rambut kirinya. Meskipun jepit rambut itu sudah kelihatan rusak dan warnanya hampir pudar, tak pernah sekalipun aku tak melihat jepit itu bertengger manis di kepalanya. Itulah keunikannya.
            ***
            Namaku Isya dan aku bukan siapa-siapa kecuali seorang siswi kelas sepuluh di SMAN 1 Pati. Aku pun hanya cewek biasa yang sehari-harinya berangkat sekolah dengan membawa bolu kukus titipan bibiku. Dari sanalah bibi mendapatkan uang untuk membantu menyekolahkanku.
            Ayahku merantau di Malaysia, tapi hingga sekarang tak diketahui kabarnya. Ibuku sudah meninggal sejak aku kelas tiga SMP. Ia meninggal karena kecelakan waktu pulang dari pasar. Saat itu kutemukan jepit kupu yang aku minta padanya sebelum ia berangkat ke pasar. Sejak saat itulah aku selalu memakai jepit kupu ini, tak peduli sudah berubah warna dan perekatnya sudah lepas berkali-kali. Jika memakai jepit rabut ini, rasanya aku selalu dekat dengan ibu. Hal itu membuatku nyaman dan berani menghadapi apapun yang akan mengahadang jalanku.
            Di depan gerbang sekolah, suara cowok memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan mendapatinya sedang berlari ke arahku. Seragamnya sama denganku, tapi aku tak pernah melihatnya. Entahlah.
            “Apakah ini milikmu?” Cowok itu menunjukkan jepit kupu yang sama dengan milikku.
            Aku meraba rambutku. Di sana sudah tidak ada jepit kupuku. Rupanya jepit itu jatuh dan dipungut cowok yang sedang berdiri di depanku ini.
            “Ya. Terima kasih sudah menemukannya.”
            “Sama-sama,” katanya lalu bergegas pergi dengan motornya, bersama seorang wanita.
            Belakangan aku tahu lelaki itu bernama Nanda. Ia adalah kakak tingkatku, tepatnya kelas dua belas. Menurut gosip yang kudengar ia sudah punya pacar, tak lain adalah wanita yang diboncengkannya waktu itu. Mereka memang serasi dan......ah, kenapa aku harus merasa resah.
            Seperti biasa, aku selalu mengisi tts majalah sembari duduk santai selama tiga puluh menit waktu istirahat. Namun, kini aku punya kebiasaan baru. Di sela-sela mengisi tts, aku melirik-lirik seorang cowok yang duduk di kursi taman. Ia asyik membaca novel. Cowok itu adalah cowok yang pernah memberikan jepit kupuku.
            “Hayooo, siapa yang kau lirik?” mendadak Riza datang dan menyenggolku.
            Ia menoleh ke arah tempatku melirik tadi. “Apakah dia yang duduk di sana itu?” tanya Riza kemudian.
            “Apaan sih? Aku tidak melirik siapa-siapa?”
            “Yakin? Dia melihat ke sini lho?”
            “Yang bener kamu?” Aku mengikutinya melihat ke arah seorang cowok tadi. Namun di sana ada orang lain. “Mana? Dia berbicara dengan cewek gitu kok?”
            “Tadi.”
            Aku melihat gerak-gerik mereka dan samar-samar mendengar apa yang mereka bicarakan. Jarak kami tidak dekat, tidak juga jauh. Kulihat cewek yang disampingnya tampak bawel dan manja. Sesekali dengan muka kesal ia menoleh ke arah pohon srikaya, tentu saja tidak melihat kami persis.
            “Pokoknya aku nggak mau tahu!” jerit cewek itu. Lalu cewek itu pergi dan bel berbunyi.
            ***
            Sepulang sekolah aku sudah duduk di bawah pohon akasia, tempat favorit untuk memandang Isya sebelum pulang dan membawa bayangan wajahnya. Namun, si pengganggu tiba-tiba datang.
            “Ayo pulang! Kenapa masih di sini.” Lagi-lagi Dasha ngomel.
            “Sebentar ah. Aku masih menunggu seseorang.”
            “Siapa sih?!”
            “Udahlah diam. Biasanya kamu juga pulang telat, tumben cepet.”
            “Pokoknya aku pengen cepet...”
            “Ssttt... Diem!” Aku menyuruh Dasha diam karena ku lihat Isya keluar gerbang menaiki sepedanya.
            “Oh, dia. Kamu bla bla bla......”
            Aku tak peduli apa yang dikatakan Dasha. Yang ada di pikiranku saat ini hanya Isya dan bayangannya yang masih membekas, walau ia telah hilang di balik tikungan jalan itu. ia nampak anggung menaiki sepedanya. Tapi sayang, ia tak menoleh kepadaku sejak tadi.
            “Jadi dia yang selalu membuatmu suka membaca di taman? Sejak kapan kau naksir?”
            “Sejak dua bulan yang lalu.”
            “Kau yakin dia menyukaimu juga?” Dasha menyindir.
            “Entahlah.... Aku pun tak tahu.”
            ***
Hasil gambar untuk secret admirer illustration
ilustrasi Nanda yang kagum pada Isya
            Hari ini aku melihatnya lagi. Rupanya ia suka duduk di bawah pohon akasia sebelum pulang sekolah. Baru kali ini aku benar-benar memperhatikan. Tadi sebelum keluar gerbang sekolah aku ingin menyapanya. Tapi gagal karena ku lihat seorang wanita berdiri di sampingnya, tak lain adalah pacarnya sendiri.
            Well, sebenarnya aku tak perlu terlalu memikirkannya. Lagi pula ia hanya ingin menolongku dengan mengembalikan jepit rambutku yang jatuh waktu itu. Ingat Isya, mungkin saat itu jepitmu jatuh lalu dia melihat dan kemudian menyerahkannya padamu. Dia tak ada maksud apa-apa.
            Ah....
            Lelaki yang berlari di depan gerbang sekolah. Kamu selalu membuat malamku resah. Sayang sekali, kau sudah ada yang memiliki. Mungkin aku hanya pantas menjadi cewek pengagum seni karya Ilahi.
            ***
            Isya, cewek jepit kupu yang selalu membuatku rindu. Apa yang sedang kamu lakukan? Apakah kau memikirkanku? Ah, aku terlalu berharap.
            Mungkin jika tadi si Dasha tidak menggangguku, aku bisa memandangi Isya sepuasnya. Lagi-lagi Dasha, kalau bukan karena permintaan ibuku dan tante untuk berangkat sekolah dengannya, aku sih ogah. Anaknya rewel begitu.
            Andai Isya tahu, Tuhan, bahwa aku menyukainya. Andai ia tahu bahwa setiap tiga puluh menitku ku habiskan untuk mencuri pandang wajahnya. Andai ia tahu pula, aku selalu menunggu di bawah pohon akasia, hanya untuk melihatnya pulang. Andai ia tahu, Tuhan, bahwa sebelum tidur, bayangannya lah yang terakhir ada di pikiranku.
            Andai saja ia tahu bagaiamana perasaanku...


TAMAT

Dialog dengan Tukang Ojek


            Seorang pria muda duduk di bangku pedagang kaki lima. Peluh mengucur di kening seorang pria muda yang berdandan rapi itu. Dikibas-kibaskan tangannya untuk sekedar menghilangkan rasa gerah. Debu-debu jalanan menempel di tubuhnya yang berkeringat.
            “Silakan, Pak,” seorang penjual memberinya segelas es degan.
            “Terima kasih.” Es yang diberikan langsung saja ditenggaknya, habis dalam sekejap. Bahkan rasa dingin sudah terkalahkan dengan udara panas metropolitan.
            Setelah membayar dipandanginya map yang terdapat di tangannya. Map berwarna biru itu sedikit lusuh karena dri kemarin di bawanya. Ia menghela napas, kegetiran melanda. Sudah beribu langkah ia lalui hingga siang ini. Namun belum ada satu pun yang berkenan.
            Pemuda itu melangkah lagi, meninggalkan pedagang kaki lima yang masih sibuk melayani penjual yang tak pernah habis. Langkahnya gontai karena kelelahan yang mendera. Di kanannya suara kendaraan tak pernah berhenti membisingkan telinga. Ada juga suara-suara pedagang kaki lima yang berseru menjajakan dagangannya. Tapi, ia merasa semua suara yang bising itu seakan mengejeknya. Mengejek kepahitan nasib yang ia jalani hari ini.
            Di depan sebuah gedung koperasi simpan pinjam, ia berhenti. Merapikan kemeja dan dasinya yang sedikit bergeser kemudian masuk ke dalam.
            “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa satpam yang menjaga pintu.
            “Siang juga, Pak. Begini, saya ingin melamar kerja di sini. Apakah masih ada lowongan?”
            “Aduh, mohon maaf, Mas. Di sini sudah tidak ada lagi lowongan. Mungkin Anda bisa mencari di tempat lain.”
            “Baiklah, Pak. Terima kasih.” Pemuda itu menjawab pasrah, berbalik lalu melanjutkan langkahnya lagi.    Di belakangnya, pak satpam masih menatapnya. “Sungguh pemuda yang malang,” katanya lirih.
            Sudah puluhan kantor dan gedung ia datangi hari ini, kemarin juga, dua hari yang lalu juga. Kantor dan gedung yang berbeda-beda, tapi jawaban yang hampir sama selalu ia dapatkan.
            Ia duduk di bangku yang ada di bawah pohon beringin, tak jauh dari kantor bank yang ia kunjungi tadi. Ia duduk di pos ojek. Dengan tersenyum ia menggeleng ketika ditawari ojek. Sekitar lima belas menitan ia duduk di situ. Memandangi jauh ke arah kendaraan yang lalu lalang. Lalu salah seorang tukang ojek menghampirinya, melirik map yang ia bawa.
            “Cari kerja ya, Mas?”
            “Iya, Pak.”
            “Bagaimana? Sudah dapat?
            “Belum, Pak. Masih mencoba.” Pemuda itu tersenyum, sekadar untuk membesarkan hatinya.
            “Kenapa tidak mencari lowongan di koran-koran saja? Kan banyak tuh.”
            “Sudah, Pak. Tapi sudah lama juga belum ada panggilan.”
            Pak Ojek mengangguk-angguk tanda mengerti. Lalu bertanya lagi, “Lulusan apa, Mas?”
            “Kesenian, Pak.”
            “Kenapa tidak menciptakan seni atau bergabung dengan kelompok seni?”
            Pemuda itu hanya tersenyum. Ia merasa tersinggung. Bukan ia tak mau, masalahnya bergabung di dunia kesenian untungnya juga tidak banyak. Kadang dapat uang, kadang tidak. Apalagi kalau musim sepi, bisa-bisa tidak makan apaa-apa. Ingin langsung bergabung di kesenian yang sudah tersohor, pasti sulit.
            “Anak saudara jauh saya ambil D3 tapi tidak tahu jurusan apa. Katanya setelah lulus ia langsung dapat kerja di kota kabupatennya.”
            “Mungkin memang belum rezeki saya, Pak.”
            “Kalau boleh tahu asalnya dari mana?”
            “Dari Sulawesi, Pak.”
            “Wah, jauh sekali ya. Segalanya itu emang perlu perjuangan, Mas. Jadi tukang ojek macam saya ini juga tidak enak. Apalagi sekarang orang-orang sudah punya kendaraan sendiri-sendiri. Mau cari kerjaan yang lebih baik paling juga tidak ada yang mau menrima lulusan SD macam saya ini. Tapi ya saya syukuri aja, Mas. Punya pekerjaan, tidak pengangguran. ”
            Untuk kedua kalinya pemuda itu merasa tersinggung. Ia sarjana tapi belum dapat pekerjaan dengan kata lain masih pengangguran. Ingin ia membela diri, tapi kata-kata Pak Ojek memang benar.
            “Pak, bisa mengantar saya di Jalan Kapur Sirih?” seorang wanita menyeru kepada Pak Ojek.
            “Bisa, Mbak. Selamat berjuang ya, Mas. Saya mau ngojek dulu,” Pak Ojek
            “Iya, Pak. Silakan.”
            Hari sudah menjelang sore. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan. Tapi malah rasa tersinggung dari kata-kata pak ojek tadi. Ia coba merenunginya dan ia sadar, untuk mendapat pekerjaan tidak harus menggantungkan diri kepada orang lain.

            Keputusan telah diambil. Besok ia akan bekerja dengan caranya sendiri.

Monday 4 April 2016

Aroma Ciu, Benci Tapi Kurindu

Hasil gambar untuk arak dan ciu  wallpaper
Peminum
sumber: http://megastarnews.blogspot.com
“Suamiku adalah seseorang yang sangat tulus mencintaiku dan aku percaya karena ia telah membuktikannya hingga ke jenjang pernikahan. Namun, ada satu hal unik yang tak pernah ku ketahui. Diam-diam ia seorang alkoholik.”

Jika kamu datang ke kota Pati dan melewati Jalan Pemuda, kamu akan menemukan gang Kenanga di sebelah kiri jalan, 500 meter dari arah simpang lima. Di sana terdapat perumahan yang bernama sama. Bila kamu melihat rumah mungil bercat hijau yang agak menjorok ke dalam, di sanalah aku dan suamiku menjalani hidup bersama.
Kami sudah menikah selama hampir satu tahun. Selama itu kami masih saja berdua, belum memiliki momongan. Bukan karena suamiku tidak getol membuatnya, mungkin Tuhan memang belum mengamanatkannya kepada kami. Dengan alasan apa pun, aku dan suamiku percaya bahwa alasan Tuhan pastilah yang terbaik. Kami tetap berusaha, setidaknya dua kali seminggu. Itu pun kadang ia yang memaksaku.
“Selamat pagi, sayang,” ucap suamiku lembut di telingaku lalu ia mendaratkan kecupan di dahi.
“Ayo bangun! Ini sudah siang, lho.”
“Ahh, hari minggu. Kau tak kerja kan? Aku capek karena semalam. Izinkan aku libur membuat sarapan.”
“Hmm, baiklah. Aku mau mandi dulu. Setelah itu membuatkanmu sarapan.”
Sebelum meninggalkan singgasana malam kami, ia mendaratkan kecupan di pipi. Aku tersenyum di balik selimut. Ia memang lelaki yang romantis dan suka memanjakanku. Ia tak pernah memaksakan kehendaknya dan sangat pengertian terhadapku. Aku begitu bersyukur dinikahinya.
Bukan hal yang membuatku mengejutkan saat ia benar-benar membuktikan bahwa ia adalah seorang alkoholik. Saat pacaran dulu, dalam candaannya, ia pernah sekali mengatakan secara tidak segaja bahwa ia senang minum minuman beralkohol. Ketika ku berodong dengan pertanyaan, ia malah tertawa dan mengatakan kalau ia sukses menarik perhatianku.
Jujur saja, aku adalah tipe wanita yang tidak banyak menuntut, menyukai kebebasan, menghargai prinsip seseorang, keras kepala, dan yang terakhir tomboi. Aku tidak terlalu memperdulikan sikap suamiku yang kadang minum ciu. Aku memang  mencintainya. Aku pun sudah berkali-kali mengingatkan padanya bahwa alkohol tidak baik bagi kesehatannya. Tapi, ia tetap tak memperdulikan nasihatku itu.
Sebenarnya, ia hanya minum ciu jika ingin bercinta dan aku tidak mau melayaninya karena bad mood. Aku bukanlah tipe wanita yang mudah terangsang. Aku akan mengatakan tidak sekali saja jika aku memang tak mau diajaknya. Rupanya ia tak pernah memaksa.
Awalnya ia baik-baik saja, namun sejak umur jagung pernikahan kami, kebiasaan buruk waktu mudanya kembali lagi. Ia diam-diam dalam melakukannya, tanpa sepengetahuanku. Jika selama tiga hari aku tidak menuruti kemauannya karena aku sedang capek, ia akan beralih dengan minum ciu. Alasannya agar ia tidak stres, tapi menurutku ia hanya beralasan.
Hingga suatu hari di hari Senin, aku menemukannya tergeletak mengenaskan di bawah kursi kerjanya. Aku yang bangun kesiangan saat itu mengira dirinya sudah berangkat kerja tanpa membangunkanku. Saat aku berniat membersihkan ruangan kerjanya, rupanya ia tergeletak di sana dengan tampilan buruk. Kaos yang acak-acakan, muka semburat, dan mulut bau alkohol. Di meja kerjanya tergeletak dua botol ciu kosong yang tutupnya hilang entah kemana.
Aku panik dan segera menelepon kantornya, mengatakan kalau ia sedang sakit. Susah payah aku membawanya ke kamar. Ku ganti kaosnya yang sudah bau alkohol. Ku bawakan setangkup roti yang telah ku olesi madu dan segelas air putih. Ku dengar setangkup roti dan madu bisa menjadi sumber kalium dan natrium yang mampu melawan alkohol. Untuk air putih mungkin bisa mengatasi dehidrasi akibat miras yang diminumnya.
Pukul sembilan ia baru sadar. Setelah sadar ia langsung muntah di selimut dan kembali berbaring. Aku segera memberinya air putih dan mengganti selimut dengan yang baru.
“Aku kan sudah bilang, Mas. Jangan minum alkohol terus,” cerocosku saat ia setengah sadar.
Aku memijit-mijit kepalanya dan juga beberapa bagian tubuhnya. Ia masih lemas dan nampak memprihatinkan. Aku jadi merasa bersalah telah mengomelinya.
“Apa perlu kupanggilkan dokter?” tanyaku untuk menebus rasa bersalahku tadi.
“Tak usah! Nanti juga sembuh sendiri.”
“Baiklah. Aku juga minta maaf soal semalam. Aku tak menyangka bisa membuatmu hingga seperti ini.”
“Sudahlah. Tak perlu minta maaf. Nanti juga baik-baik saja.”
Aku meninggalkan kecupan hangat di pipinya lalu tersenyum. “Istirahatlah! Jangan lupa rotinya di makan. Sudah ku olesi madu tadi.”
“Iya, Sayang.”
Si pria tampan yang telah menaklukkan hatiku itu bernama Dian. Sudah lima tahun kami pacaran sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menikahiku. Pernah aku iseng bertanya padanya kenapa ia begitu mencintaiku. Sembari bergurau ia berkata kalau ia jatuh cinta pertama kali pada bodiku yang seksi dan selanjutnya karena ia memang telah digariskan oleh Tuhan untuk melindungiku. Dua alasan yang tak begitu kusukai. Tapi, asal ia tidak main mata dengan yang lain, bagiku tak ada masalah.
Hubungan kami sudah membaik sejak saat itu, meski kadang aku tetap menolak jika aku memang benar-benar tidak mood. Ku lihat sekarang ia sudah bisa mengendalikan stresnya jika ku tolak. Ia juga sudah mulai mengontrol keinginannya untuk minum ciu.
Dua minggu setelah kejadian itu, ibu memintaku untuk membantunya karena di rumah ada acara arisan dan pengajian berturut-turut selama seminggu penuh. Ibu juga memintaku untuk menginap saja. Ia bahkan rela memohon-mohon kepada Mas Dian agar aku diizinkan menginap. Karena ibu yang meminta, meski dengan berat hati, tentu saja Mas Dian mengizinkan. Ia mengantarkanku ke sana pada Minggu sore dan ia langsung pulang malamnya.
Sudah tiga hari aku di rumah ibu. Aku cemas memikirkan keadaan Mas Dian. Rupanya ibuku tahu apa yang kurasakan. Ia menghiburku dengan mengatakan bahwa Mas Dian akan baik-baik saja. Aku percaya pada ibu, bagaimana pun perasaan orang tua lebih peka.
Hari keempat aku menelepon Mas Dian lagi. Aku mengatakan padanya kalau ia menginginkan lebih baik datang saja ke rumah ibu dan menginap. Ia menjawab kalau ia baik-baik saja dan tak perlu menginap karena hari ini ia sedang lembur. Aku hanya bisa menahan –lagi-lagi cemas– mendengar kabarnya. Bisa ku bayangkan, tiga hari saja ia sudah mabuk betitu berat, apalagi kalau sampai seminggu. Ku harap ia bisa mengontrol minumnya dan tak sampai mabuk hingga aku pulang.
“Bagamana dengan Dian? Dia masih tak menjawab teleponmu?”
“Entahlah, Bu. Aku sudah berkali-kali menghubunginya, tapi tidak diangkat-angkat juga. Apa jangan-jangan ada apa-apa dengannya?”
“Mungkin dia sedang sibuk kerja? Kalau nanti sore belum juga dijemput, biar ayah yang mengantarmu,” hibur ibu padaku. Beliau tak tahu kalau Mas Dian akhir-akhir ini menjadi alkoholik dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi padanya.
Benar juga. Hingga menjelang malam ia belum datang. Terpaksa ayah yang mengantarku pulang. Sesampainya di rumah, aku mempersilakan ayah masuk. Rupanya rumah tidak dikunci, mungkin Mas Dian sudah pulang dan tadi lupa membawa ponselnya di kantor. Atau ia tadi pulang terlambat dan bersiap-siap menjemputku. Aku menjejali otakku dengan kemungkinan-kemungkinan positif.
Aku memanggil-manggil Mas Dian, tapi tak ada jawaban. Heran. Bukankah ia sudah ada di rumah. Motornya juga ada di rumah. Sepatunya juga sudah tertata rapi di rak sepatu. Aku memanggilnya sekali lagi, tetap tak ada jawaban.
Ketika pintu kamar ku buka, bau ciu yang khas menyeruak. Firasatku mengatakan bahwa Mas Dian pasti habis minum lagi. Benar saja, di singgasana malam kami, ia tergolek lemah dengan muka pucat pasi. Di sekitar selimut terdapat muntahan yang baunya menyengat. Aku segera menghubungi dokter terdekat untuk memeriksanya. Ayah bingung melihatku begitu cemas, ku katakan pada beliau terus terang kalau Mas Dian mabuk berat.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanyaku was-was melihat raut muka dokter yang tidak bahagia.
“Suami Anda rupanya suka minum alkohol. Agaknya sudah lama. Hal ini berdampak pada hatinya dan jika tidak diberhentikan, dia bisa terkena kanker hati.”
“Kanker, Dok?”
Sang dokter mengangguk. “Iya. Sebaiknya Anda merawatnya dengan baik. Jangan sampai ia stres berat dan minum ciu lagi. Efeknya memang tidak seekstrim minuman alkohol lain, tapi jika kebanyakan bisa juga berakibat fatal.” Dokter memberi saran sambil menulis resep obat. Lalu ia memberikan obatnya padaku.  “Ini obat dan resepnya.”
“Terima kasih, Dok!”
Aku dan Ayah mengantarkan dokter keluar dan juga mengucapkan terima kasih. Setelah kepulangan Pak Dokter, aku segera menuju ke kamar.
“Mas? Mas Dian? Sadarlah! Ku mohon...” Aku menagis melihat keadaannya. “Aku mohon ini yang terakhir kali ya? Jangan mabuk lagi. Lebih baik engkau menyuruhku pulang jika kapan-kapan aku harus menginap lagi. Jika tidak, engkau yang datang ya.”
Mas Dian mulai membuka mata sedikit demi sedikit. Ia tersenyum padaku. Ketika tubuhnya mulai pulih, ia bercerita padaku. Ia tak mau menyuruhku pulang karena takut mengecewakan ibu. Sebenarnya ia tak ingin melakukannya lagi, tapi rupanya ia belum bisa mengatasinya dan lagi-lagi ciu itu amat menggoda jika ia tak bisa menyentuhku.
Dua hari lamanya ia tergolek di ranjang, kini keadaannya sudah mulai sehat. Mulai sekarang, aku berjanji pada diriku sendiri, secapek dan setidakbergairahnya aku akan tetap menuruti kemauannya. Apalah artinya pengorbananku jika dibanding dengan penyakitnya yang membuatk miris hanya dengan mendengarnya.
Akan tetapi, badai rupanya belum berlalu. Di saat kami bahagia karena masalh telah usai, aku mendapat telepon dari kakakku bahwa suaminya meninggal. Tentu saja aku dan suamiku datang melayat. Meskipun rumahnya jauh di kota Salatiga, aku tetap datang kesana. Hanya aku satu-satunya saudara yang ia miliki. Tentu aku akan datang dan menemaninya, paling tidak satu minggu.
“Kau yakin akan menginap di sini satu minggu?” tanya Mas Dian lirih di sela-sela keributan kecil tamu yang melayat.
“Ya harus bagaimana lagi, Mas? Hanya aku dan ibu keluarga yang dimilikinya. Masa aku tega?”
“Tapi bagaiman dengan aku?”
Aku diam. Merasa dilema. Tentu tidak mungkin jika ia datang ke sini hanya untuk bercinta, sedangkan sang tuan rumah sedang berduka. Lagipula ia juga harus bekerja. Kalaupun cuti, paling cuma sehari. Jika aku pulang untuk sehari, jarak rumahku jauh. Ini sungguh dilematis.
“Apa Mas benar-benar tak bisa menahannya?”
“Aku tak tahu apakah aku bisa atau tidak.”
“Coba saja Mas menyibukkan diri, atau mungkin pergi jalan-jalan di malam hari, dan coba jangan bayangkan aku selama aku di sini. Yakin, Mas pasti bisa.” Aku meyakinkannya, meski aku sendiri ragu.
“Baiklah. Akan aku coba. Aku pulang dulu ya,” pamitnya lalu mengecupku.
“Hati-hati, meski kita tak bertemu, aku akan slalu merindukanmu.”
Mas Dian tersenyum. “Miss you, too.” Ia kemudian menstarter motor dan lenyap di balik tikungan jalan.
***
Seminggu di rumah Kak Ais akhirnya telah berlalu. Aku senang sekali bisa pulang ke rumah bersama Mas Dian. Di sepanjang jalan, kami kadang bercakap-cakap, kadang juga bercanda. Rupanya Mas Dian sedang mood baik. Mungkin dia sudah bisa mengendalikan stresnya. Syukurlah.
“Selamat datang di rumah tercinta, Sayang!” sambut Mas Dian ketika kami sampai. Ia membukakan pintu dan menyambutku bak pengawal yang menyambut datangnya Cinderella. Aku jadi tersipu.
Aku memandang sekeliling. Rumah nampak bersih dan wangi. Rupanya Mas Dian sekarang sudah berubah, sudah bisa mengendalikan diri. Satu lagi, ia sepertinya menemukan semangat baru. Aku jadi penasaran, apa yang membuat Mas Dian jadi begitu semangat ya.
Keesokan paginya, aku menata dasi dan merapikan kemeja Mas Dian sebelum ia berangkat ke kantor. Ia begitu sumringah dan agak buru-buru. Setelah selesai merapikan kemeja, aku mengantarnya sampai depan rumah. Aku mencium tangannya dan ia balas mengecup keningku.
Aku sedikit janggal ketika masuk rumah kudengar suara dering ponsel Mas Dian berbunyi. Rupanya ia lupa membawa ponselnya dan masih tergeletak di meja sarapan. Aku segera mengambil ponsel itu. sederet nama asing tertera di sana. Hesty. Siapa dia?
Aku tak mau berburuk sangka dulu. Kujawab telepon itu dan membiarkan suara wanita di sebrang sana berbicara. Aku begitu terkejut mendengar suara manja yang memanggil suamiku dengan nama panggilannya. Bahkan dengan santainya ia meminta suamiku untuk menjemputnya dan berangkat bersama ke kantor. Tanpa ku jawab, ku matikan telepon itu seketika.
Belum selesai keterkejutanku, suamiku kembali lagi. Rupanya ia tidak lupa dengan ponselnya dan datang untuk mengambilnya. Aku mencoba tersenyum dan berkata tak apa-apa di hadapannya ketika ia bertanya mengapa mataku berkaca-kaca.
Tubuhku terasa lemas. Aku takut ada apa-apa antara Mas Dian dan wanita bernama Hesty itu. Namun aku coba berpikir positif, siapa tahu mereka memang sedang ada tugas dari atasan untuk suatu proyek sehingga mengharuskan mereka berangkat bersama. Ah, aku tidak boleh terlalu cemburu dan khawatir.
***
Seperti biasa, jika siang dan selesai menyelesaikan pekerjaan rumah, aku akan berbaring sebentar di kamar, sekadar tidur-tiduran. Betapa aku sangat senang karena Mas Dian sudah berubah. Di kamar ini sudah tidak lagi kucium aroma ciu yang menyengat dan menjengkelkan itu. aroma ciu yang dulu sering membuatku khawatir dan merelakan kebebasanku kini sudah menguap bersam embun pagi. Ah senangnya.
Aku duduk di tepi ranjang. Kuraba seprei yang biasa kami porak-porandakan ke sana kemari. Ah, Mas Dian memang hebat, hanya saja aku baru menyadari akhir-akhir ini. Ku raih satu bantal, ada sesuatu yang mengkilat di balik bantal itu. Sebuah anting emas berbentuk bunga kecubung.
Aku tahu anting itu pasti milik wanita lain. Aku tak punya anting berbentuk bunga kecubung, melihat pun tak pernah kecuali saat itu. aku yakin, pasti ada wanita lain di sini. Pantasan saja aku merasa tidak tenang saat berada di rumah kakakku waktu itu. Meskipun secara lahir suamiku baik-baik saja. Rupanya ia menyembunyikan sesuatu di belakangku. Semakin kuat keyakinanku bahwa ada wanita lain di rumah ini, hatiku semakin sakit. Bagaimana mungkin ia yang begitu kucintai dan amat mencintaiku bisa membawa wanita lain di rumah ini. Seks? Apakah hanya gara-gara seks atau ia memang sudah bosan denganku?
 Malam ini aku tak bisa tidur. Mas Dian sepertinya juga belum bisa tidur. Entah kenapa ia begitu gelisah sejak pulang tadi. Ia juga membolak-balik bantal dan tumben-tumbennya merapikan seprei sebelum kami tidur.
“Mas belum tidur?”
“Belum ngantuk. Kamu sendiri kenapa tidak tidur, Sayang?” Mas Dian berbaring ke arahku.
Aku menoleh padanya, memberanikan diri menanyakan sesuatu. “Mas, rekan kantormu ada yang bernama Hesty?”
“Ada. Kenapa memangnya?”
“Kalian kenal akrab?”
“Tidak juga sih. Cuma akhir-akhir ini dia jadi partner untuk suatu proyek.”
“Proyek apa?”
“Emmm, proyek pemasaran ke ranah internasional.”
“Ohhh.” Aku diam mencoba puas, meski sejujurnya aku tahu dia berbohong. Setelah itu kami diam dan mencoba tidur.
Tiba-tiba ponsel Mas Dian berbunyi. Aku yang kebetulan berada di dekat nakes segera mengambil ponsel itu dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata Hesty. Tanpa memperdulikan Mas Dian, aku menjawab teleponnya, mengaktifkan speaker, lalu membiarkan wanita yang tak tahu sopan santun itu nyerosos.
Dian, kamu lihat antingku nggak?” Mas Dian mencoba merebut ponsel dari tanganku.
Antingku hilang sebelah....” Aku bisa mengelak saat dia mencoba meraih ponselnya.
Bentuknya bunga kecubung berwarna keemasan.....” Aku berlari menuju pintu saat Mas Dian mencoba meraih tubuhku.
Tahukah kau itu anting kesayanganku.....” Mas Dian mengejarku. “Kembalikan Ana! Kau jangan salah paham dulu!”
Aku tak bisa memakainya kalau yang satu belum ketemu....” Aku mengelak dan berlari menuju sudut kamar yang lain. “Nggak! Kamu harus jelaskan dulu kenapa ia bertanya padamu, Mas?”
Dian? Apa kau mendengarku?” Mas Dian frustasi, tapi ia masih mencoba berbohong. “Kami tak ada hubungan apa-apa? Dia hanya partner kerja. Ayolah”
Hey Dian?! Kenapa di situ ribut sekali? Apa yang terjadi, Sayang??” Aku makin geram mendengar peekataan Hesty. Aku mengarahkan ponsel itu tepat di mulutku dan kuteriakkan makian padanya, “Diam kau perempuan sundal!” Seketika telepon ditutup.
“Percayalah, Ana sayang. Aku tidak melakukan apa-apa.”
Hatiku menangis, ingin rasanya aku menjerit sekeras-kerasnya. Jika seperti ini rasanya aku lebih rela melihatnya menegak ciu dan mencium aromanya. Aku merinduka aroma ciu yang seperti dulu, yang membuat kesal tapi juga damai karena ia tak main mata dengan wanita lain. Aku merindukan aroma ciu.
“Mas, ku mohon berkatalah jujur! Aku sudah tahu semuanya sekarang. Sejak tadi kau mencari ini kan?” Aku memperlihatkan sebuah anting kecubung keemasan. “Seperti ini kau bilang partner kerja? Kerja apa, Mas? Kerja lomba melenguh di atas singgasana malam? Hah?!! Jawab aku, Mas.”
“Ana, aku khilaf. Aku minta maaf. Ini tak seharusnya terjadi. Aku kehilangan kendali saat itu. Aku belum bisa mengendalikan diriku dan saat aku mabuk aku malah menghubungi Hesty dan menyuruhnya datang kemari. Ku kira ia tak datang, rupanya ia datang meski pukul sebelas malam. Dan setelah itu ...”
“Cukup! Aku tahu apa yang terjadi tanpa kau teruskan.” Aku menangis meraung. Air mataku mengalir deras dan tak ada habisnya, seakan di sana ada samudra air mata. “Mulai sekarang jangan pernah melihatku lagi. lebih baik aku melihatmu mati minum ciu daripada engaku tidur dengan wanita lain.”
“Ana, maafkanlah aku! Kumohon, Ana! Aku mencintaimu. Waktu itu kuteringat kata-katamu bahwa kau tak sanggup melihatku sakit karena alkohol. Aku mengingatnya dengan baik. Aku tak mau melihatmu sedih. Aku senang ketika aku bisa menunjukkan wajah semangat saat kau pulang dan membersihkan rumah ini dari bau ciu yang memabukkan itu.”
Aku merindukan aroma ciu, tapi aku juga membencinya. Aku merindukannya dalam jumlah sedikit saja agar ia tak merusak diri Mas Dian dan bisa membentengi Mas Dian dari seks selama beberapa hari. Aku membencinya karena kehadirannya telah mengundang wanita sundal bernama Hesty yang merusak kerajaan rumah tanggaku.


Semuanya karena ciu, minuman bening yang memabukkan.

Followers