Thursday 2 November 2017

Hallowen dan Registrasi Kartu


Pada tanggal 31 Oktober orang-orang berteriak dan menjerit karena hantu-hantu malam Hallowen, warga negara Indonesia juga sedang mengalami ketakutan terkait registrasi kartu prabayar. Fenomena ini telah meresahkan warga, baik dunia maya maupun nyata. Pasalnya, kewajiban registrasi ini mengharuskan pelanggan menyetorkan pula data yang paling mendasar, NIK dan KK. Bagaimana kita bisa percaya begitu saja jika kasus E-KTP kemarin saja jebol dan menyebabkan data sekitar 110 juta pendudukIndonesia jatuh ke tangan perusahaan asing Amerika Serikat.

Menurut pernyataan yang dilansir dari situs resmi Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (kominfo.go.id) menyatakan bahwa registrasi ini dimulai sejak tanggal 31 Oktober 2017 hingga 28 Februari 2018, baik nomer baru maupun nomer lama. Jika sampai tanggal 28 Februari 2018 nomor lama belum melakukan registrasi ulang, maka nomor akan diblokir secara bertahap hingga 28 April 2018 dan akan diblokir total jika tetap belum registrasi. Tujuannya ialah untuk melindungi konsumen dari tindak kejahatan, penipuan, terorisme, dan kejahatan lain berbasis komunikasi. Terkait hal ini, banyak sekali tanggapan dari para netizen, baik yang positif maupun negatif. Tentu mereka memiliki alasan-alasan tertentu terkait pro dan kontra.

Mari kita lihat dari dua sisi yang berbeda, sisi negatif dan positif terkait pelaksanaan registrasi ini.

Pertama, dilihat dari tujuan kominfo terkait hal ini, jelas sangat bagus, yaitu untuk melindungi masyarakat dari penipuan, tindak kejahatan, dan pelanggaran hukum dengan menggunakan sarana telepon seluler dan media elektronik lainnya. Seringkali kita menemui kejahatan di mana orang-orang mengaku kerabat kita lalu memeras kita untuk menstransfer sejumlah uang ke rekening tertentu. Penipuan bisa juga dalam bentuk mengajak ketemuan yang berujung tindak kriminalitas. Tak perlu disebutkan kembali, peristiwa-peristiwa semcam itu sudah jelas.
Kedua, pendaftaran itu dimaksudkan pula untuk mendukung transaksi online pada seluruh sektor termasuk ekonomi digital. Tak perlu menyangkal bahwa dalam kegiatan jual beli di era now sebagian besar berbasis digital. Mulai dari jasa hingga barang, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tentu hal utama yang dibutuhkan ialah sarana komunikasi, email, medsos, dan nomorhp, aplikasi transaksi, dan perbankan. Ketika kominfo memiliki akses detail terhadap semua pemakai nomor telepon, kita dapat melaporkan tindak kejahatan dalam transaksi jual beli. Mereka tentu tidak mudah bergonta-ganti nomor mengingat jumlah nomor dibatasi hanya 3 tiap satu NIK. Selain itu, data yang tidak sesuai dengan NIK akan ditolak yang berakibat tidak dapat memakai nomor ponsel.

Ketiga, mempersempit pelaku hoax dalam melakukan aksinya. Hoak seperti polusi yang tersebar di mana-mana dan sulit dikendalikan. Para pelaku hoak melakukan aksinya secara bebas tanpa bisa diketahui siap orang dibaliknya. Melalui nomor yang diregistrasi, diharapkan pelaku hoax menurun.

Jika dilihat dari sisi negatif, beberapa orang mengusut terkait bagaimana keamanan data yang telah dipegang oleh Dukcapil dan provider penyedia layanan. Tidak menutup kemungkinan mereka dapat membeberkan identitas kita jika ada kesempatan. Tentu kejahatan ini lebih ditakuti dari sekadar kejahatan dimana kita hanya perlu sedikit waspada agar tidak tertipu oleh penipuan melalui nomor ponsel.


Selain itu, kabarnya UU tentang jaminan perlindungan data pribadi juga masih belum jelas. Lah, terus nanti bagaimana jika terjadi “hal-hal yang tidak diinginkan”, apakah konsekuensi hukumnya jelas. Bagaimana pula jika nanti terulang kembali kasus E-KTP, akan jadi apa diri kita? Saat warga asing datang ke Indonesia menggunakan identitas kita lalu melakukan kejahatan dan yang tertangkap kita? 

Followers