Tuesday 17 October 2017

Upcara Tedhak Siten ( Upacara Menginjak Tanah)

Hasil gambar untuk tedhak siten
Upacara Tedak Siten Asanthy

      
Tedhak siten, merupakan salah satu budaya masyarakat Jawa untuk balita yang berusia antara tujuh atau delapan bulan atau pertama kalinya kaki si anak menyentuh tanah. Tedhak artinya turun dan siten berasal dari kata siti yang berarti tanah. Jadi tedhak siten adalah rangkaian upacara turun tanah yang bertujuan agar si anak tumbuh menjadi anak yang mandiri dan mampu menghadapi setiap godaan atau rintangan dalam hidupnya. Selain itu upacara tedhak siten juga mempunyai makna kedekatan anak dengan ibu pertiwi atau tanah kelahiran.
           
Upacara ini untuk mengingatkan bahwa bumi atau tanah telah memberikan banyak hal untuk menunjang kehidupan manusia. Tanpa ada bumi,  sulit dibayangkan bagaimana eksistensi kehidupan manusia, sang suksma yang berbadan halus dan kasar. Dengan menjalani kehidupan yang baik dan benar di bumi ini dan sekaligus tetap merawat dan menyayangi bumi, maka kehidupan di dunia terasa nyaman dan menyenangkan.

            Manusia wajib bersyukur kepada Tuhan, telah diberikan kehidupan yang memadai di bumi yang alamnya sangat kondusif. Inilah kesempatan untuk berbuat yang sebaik-baiknya, berkarya nyata, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarganya, tetapi untuk peradaban seluruh umat manusia. Hendaknya diingat bahwa tanah adalah salah satu elemen badan manusia dan yang tak terpisahkan dengan elemen-elemen yang lain, yaitu air, udara dan api, yang mendukung kiprah kehidupan suksma di dunia ini, atas kehendak Tuhan.

            Ritual tedhak siten menggambarkan persiapan seorang anak dari kecil sampai dewasa untuk menjalani setiap fase kehidupan dengan baik dan benar sehingga diharapkan sukses di masa depannya. Sedangkan bagi para leluhur, ritual adat ini merupakan wujud penghormatan bagi bumi sebagai tempat bagi si kecil yang mulai belajar berjalan dengan diiringi doa- doa baik dari orang tua maupun sesepuh.

            Upacara tedhak siten ini mulai diajarkan oleh keluarga Paku Alaman di Keraton Jogjakarta di tahun 1934. Akan tetapi, setelah masa pendudukan Jepang upacara ini menjadi tidak begitu penting. Hanya beberapa orang priyayi di kota-kota saja yang masih menyelenggarakannya. Itu pun tidak selengkap seperti zaman Paku Alaman.

            Upacara tedhak siten biasanya dilaksanakan saat anak berumur tujuh hingga delapan bulan, atau lebih tepatnya di weton ketujuh si anak (7 x 35 hari). Tedhak siten ini dianggap sebagai upacara penting bagi penganut agama jawi di desa maupun di kota. Biasanya dilaksanakan di waktu pagi dan dihadiri oleh kerabat maupun tetangga di kanan-kiri rumah serta tamu undangan.

            Upacara dimulai dengan membimbing anak menapaki tujuh jadah yang berwarna-warni. Kemudian menaiki tangga yang terbuat dari tebu. Setelah itu, masih dengan bimbingan orang tua, anak diturunkan di tanah/pasir yang ditaruh di dalam nampan. Kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang dihias dan di dalamnya terdapat berbagai macam benda. Terakhir, setelah anak tersebut mengambil sesuatu, maka ia diambil dari kurungan dan kakinya dicuci dengan air kembang setaman.

            Setelah prosesi tersebut selesai dilanjutkan dengan menebar udik-udik (uang receh yang dicampur dengan berbagai jenis bunga) yang ditaruh dalam suatu wadah. Sang ayah (atau bisa juga ibu) menggendong si anak, sedangkan si ibu menebarkan uangnya. Uang tadi akan direbut oleh para tamu dan anak-anak kecil yang datang. Akhir dari prosesi ini adalah pemotongan tumpeng yang dilanjutkan dengan acara jamuan makan bagi para tamu. Maka, berakhirlah prosesi tedhak siten.

            Di dalam upacara tedhak siten terdapat berbagai macam langkah dan ubarampe yang masing-masing memiliki filosofi. Adanya benda-benda dalam upacara ini sebagai simbolisasi harapan agar kelak kehidupan si anak mulia dan bahagia.

            Berikut beberapa ubarampe tedhak siten beserta filosofinya.
  Jadah

Hasil gambar untuk jajan jadah
Jadah dalam prosesi mudun lemah terbuat dari beras ketan kemudian diberi warna. Jumlah jadah ada tujuh macam warna, yaitu putih, merah, kuning, oranye, biru, hijau, dan ungu. Jumlah tujuh atau pitu berarti pitulungan, agar si anak selalu mendapat pertolongan dari Tuhan. Warna-warna jadah ini melambangkan warna kehidupan yang akan dijalani oleh si anak. Jadah tersebut disusun berderet hingga menuju ke tangga tebu.

Tangga tebu

Hasil gambar untuk tebu
Tangga tebu yang digunakan adalah tebu yang sudah tua. Biasanya menggunakan tebu hitam. Tangga ini memiliki makna bahwa hidup itu mengalami tingkatan dan suatu saat akan mencapai puncaknya, sedangkan tebu memiliki makna antebing kalbu, yaitu kemantaban hati dalam menjalani berbagai rintangan kehidupan. Selain itu, tebu yang sudah tua biasanya terasa manis sehingga terkandung makna bahwa kelak hidup si anak akan memperoleh kebahagiaan.


Tanah halus/pasir

Hasil gambar untuk pasir
Tanah di sini sebagai inti dari upacara mudhun lemah/tedhak siten. Ada juga yang menggunakan pasir. Setelah naik dan turun tangga tebu, si anak selanjutnya ditapakkan pada pasir yang ada di dalam nampan. Di sini disebut dengan istilah ceker-ceker. Maksudnya ialah kelak saat si anak dewasa mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan mandiri.

 Kurungan

Hasil gambar untuk tedhak siten
Kurungan yang digunakan berukuran besar, seperti kurungan ayam jago. Biasanya kurungan dihias dengan warna-warni agar menarik. Di dalam kurungan itu terdapat berbagai macam benda seperti uang, perhiasan, alat tulis, mainan, dan berbagai benda lainnya sesuai perkembangan zaman. Benda-benda tersebut kelak akan menjadi minat si anak ketika dewasa, misal si anak memilih alat tulis, maka ia berminat di bidang tulis-menulis.
Kurungan ini bermakna dunia si anak kecil dan benda-benda tersebut adalah apa yang kelak menjadi pilihan hidupnya.

 Air kembang setaman

Hasil gambar untuk air kembang
Setelah si anak mengambil satu yang menjadi kesenangannya, ia pun dikeluarkan dari dalam kurungan dan dicuci kakinya dengan bunga setaman. Wanginya bunga melambangkan kelak si anak akan memngharumkan nama keluarga. Ada juga yang dimandikan dengan bunga setaman kemudian dipakaikan baju baru. Meskipun berbeda, intinya tetap sama.

Menyebar udik-udik

Hasil gambar untuk udik udik di tedhak siten
Udik-udik merupakan uang receh yang dicampur dengan berbagai macam bunga. Menyebar udik-udik maknanya agar kelak ketika dewasa si anak memiliki rizki yang berlimpah, barokah serta memiliki sifat suka memberi.

Terakhir adalah pemotongan nasi tumpeng
Hasil gambar untuk tumpengan tedhak siten
Setelah segala prosesi dilakukan, selanjutnya dilakukan pemotongan nasi tumpeng. Filosofinya ialah sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Tumpeng yang berwarna kuning bermakna kejayaan. Setelah potong tumpeng dilanjutkan dengan acara jamuan makan sebagai bentuk berbagi rasa syukur kepada kerabat, teman, dan tetangga.
Selain itu ada pula makanan-makanan (sajen ), yang terdiri dari bubur merah dan putih, jadah tujuh warna, bubur baro-baro  (bubur yang terbuat dari bekatul-serbuk halus atau tepung yang diperoleh setelah padi dipisahkan dari bulirnya), dan jajan pasar.
Akan tetapi sekarang ini masyarakat desa di luar wilayah Solo dan Jogja sudah jarang yang melakukan upacara ini. Selain terkendala biaya, mereka juga lebih memilih melaksanakan upacara secara sederhana dengan selameta.  Tedhak siten masih dilestarikan di kalangan bangsawan dan orang mampu yang masih percaya dengan nila-nilai filosofis jawa mengenai tedhak siten.

Banyak nilai-nilai filosofis yang bisa diperoleh dari upacara tedhak siten. Kekeluargaan dan kebersamaan mewarnai prosesi upacara ini dari awal hingga akhir. Hal ini terlihat dari partisipasi keluarga dan tetangga dekat dalam merebut udik-udik yang disebar. Ada pula nilai tradisi dan juga estetika. Urut-urutan pelaksanaan upacara merupakan nilai tradisi, sedangkan penggunakan hiasan seperti hiasan kurungan, hiasan pohon tebu, jadah warna wari, dan juga pakaian bagus sang bayi merupakan nilai estetis yang juga sarat akan filosofis. 



Kesimpulan

            Upacara tedhak siten merupakan upacara tradisional yang sekarang sudah sangat jarang dilakukan oleh masyarakat jawa sendiri. Hanya beberapa golongan masyarakat dengan status sosial yang tinggi yang masih melakukannya. Ada beberapa alasan mengapa tidak semua masyarakat jawa (terutama desa) melakukan upacara ini. Selain kendala biaya, sekarang ini orang lebih menyukai hal-hal yang bersifat praktis tanpa mengurangi esensi upacaranya. Umumnya, bagi masyarakat desa sekarang ini cukup dengan menggelar selametan.

            Saran yang bisa penulis berikan adalah tetap selalu menjaga tradisi milik kita yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Masalah biaya terkadang bukan hal yang sepele, mengingat orang jawa banyak melakukan selametan dalam berbagai hal, mulai dari kelahiran hingga kematian. Jadi, alangkah lebih baik apabila ada biaya, orang tua mengadakan upacara tedhak siten secara lengkap sehingga tetap bisa menjaga, melestarikan, dan mengembangkan tradisi luhur jawa agar tidak diklaim oleh bangsa lain.



DAFTAR PUSTAKA
Bratawijaya, Thomas Wiyata.1988.Upacara Taradisional Masyarakat Jawa.Jakarta:Pustaka         Sinar Harapan
http://www.youtube.com/ [diunduh pada 12 November 2015]
https://jv.wikipedia.org/Tedhak-Siten [diunduh pada 16 November 2015] Kompasiana.2014.Tedhak Siten Salah Satu Adat Jawa yang Semakin        Pudar.http://www.kompasiana.com [diunduh pada 16 November 2105]
Koentjaraningrat.1984.Kebudayaan Jawa.Jakarta:PN Balai Pustaka
Negoro, Suryo S.2014.Tedhak Siten.http://jagadkejawen.com [diunduh pada 16 November           2015]
  

No comments:

Post a Comment

kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)

Followers