Upacara Tedak Siten Asanthy |
Tedhak siten, merupakan salah satu budaya masyarakat
Jawa untuk balita yang berusia antara tujuh atau delapan bulan atau pertama
kalinya kaki si anak menyentuh tanah. Tedhak artinya turun
dan siten berasal dari kata siti yang berarti
tanah. Jadi tedhak siten adalah rangkaian upacara turun tanah
yang bertujuan agar si anak tumbuh menjadi anak yang mandiri dan mampu
menghadapi setiap godaan atau rintangan dalam hidupnya. Selain itu upacara tedhak
siten juga mempunyai makna kedekatan anak dengan ibu pertiwi atau
tanah kelahiran.
Upacara ini untuk mengingatkan bahwa
bumi atau tanah telah memberikan banyak hal untuk menunjang kehidupan manusia.
Tanpa ada bumi, sulit dibayangkan bagaimana eksistensi kehidupan manusia,
sang suksma yang berbadan halus dan kasar. Dengan menjalani kehidupan yang baik
dan benar di bumi ini dan sekaligus tetap merawat dan menyayangi bumi, maka
kehidupan di dunia terasa nyaman dan menyenangkan.
Manusia wajib bersyukur kepada Tuhan,
telah diberikan kehidupan yang memadai di bumi yang alamnya sangat kondusif.
Inilah kesempatan untuk berbuat yang sebaik-baiknya, berkarya nyata, tidak
hanya untuk diri sendiri dan keluarganya, tetapi untuk peradaban seluruh umat
manusia. Hendaknya diingat bahwa tanah adalah salah satu elemen badan manusia
dan yang tak terpisahkan dengan elemen-elemen yang lain, yaitu air, udara dan
api, yang mendukung kiprah kehidupan suksma di dunia ini, atas kehendak Tuhan.
Ritual tedhak siten menggambarkan
persiapan seorang anak dari kecil sampai dewasa untuk menjalani setiap fase
kehidupan dengan baik dan benar sehingga diharapkan sukses di masa depannya.
Sedangkan bagi para leluhur, ritual adat ini merupakan wujud penghormatan bagi
bumi sebagai tempat bagi si kecil yang mulai belajar berjalan dengan diiringi
doa- doa baik dari orang tua maupun sesepuh.
Upacara tedhak siten ini mulai
diajarkan oleh keluarga Paku Alaman di Keraton Jogjakarta di tahun 1934. Akan
tetapi, setelah masa pendudukan Jepang upacara ini menjadi tidak begitu
penting. Hanya beberapa orang priyayi di kota-kota saja yang masih
menyelenggarakannya. Itu pun tidak selengkap seperti zaman Paku Alaman.
Upacara tedhak siten biasanya
dilaksanakan saat anak berumur tujuh hingga delapan bulan, atau lebih tepatnya
di weton ketujuh si anak (7 x 35 hari). Tedhak siten ini dianggap
sebagai upacara penting bagi penganut agama jawi di desa maupun di kota.
Biasanya dilaksanakan di waktu pagi dan dihadiri oleh kerabat maupun tetangga
di kanan-kiri rumah serta tamu undangan.
Upacara dimulai dengan membimbing
anak menapaki tujuh jadah yang berwarna-warni. Kemudian menaiki tangga yang
terbuat dari tebu. Setelah itu, masih dengan bimbingan orang tua, anak
diturunkan di tanah/pasir yang ditaruh di dalam nampan. Kemudian dimasukkan ke
dalam kurungan yang dihias dan di dalamnya terdapat berbagai macam benda.
Terakhir, setelah anak tersebut mengambil sesuatu, maka ia diambil dari
kurungan dan kakinya dicuci dengan air kembang setaman.
Setelah prosesi tersebut selesai
dilanjutkan dengan menebar udik-udik (uang receh yang dicampur dengan
berbagai jenis bunga) yang ditaruh dalam suatu wadah. Sang ayah (atau bisa juga
ibu) menggendong si anak, sedangkan si ibu menebarkan uangnya. Uang tadi akan
direbut oleh para tamu dan anak-anak kecil yang datang. Akhir dari prosesi ini
adalah pemotongan tumpeng yang dilanjutkan dengan acara jamuan makan bagi para
tamu. Maka, berakhirlah prosesi tedhak siten.
Di dalam upacara tedhak siten
terdapat berbagai macam langkah dan ubarampe yang masing-masing memiliki
filosofi. Adanya benda-benda dalam upacara ini sebagai simbolisasi harapan agar
kelak kehidupan si anak mulia dan bahagia.
Berikut beberapa ubarampe tedhak
siten beserta filosofinya.
Jadah
Jadah dalam prosesi mudun lemah terbuat dari beras ketan kemudian diberi
warna. Jumlah jadah ada tujuh macam warna, yaitu putih, merah, kuning, oranye,
biru, hijau, dan ungu. Jumlah tujuh atau pitu berarti pitulungan, agar si anak selalu mendapat
pertolongan dari Tuhan. Warna-warna jadah ini melambangkan warna kehidupan yang
akan dijalani oleh si anak. Jadah tersebut disusun berderet hingga menuju ke
tangga tebu.
Tangga tebu

Tangga tebu yang digunakan adalah tebu yang sudah tua. Biasanya menggunakan
tebu hitam. Tangga ini memiliki makna bahwa hidup itu mengalami tingkatan dan
suatu saat akan mencapai puncaknya, sedangkan tebu memiliki makna antebing
kalbu, yaitu kemantaban hati dalam menjalani berbagai rintangan kehidupan.
Selain itu, tebu yang sudah tua biasanya terasa manis sehingga terkandung makna
bahwa kelak hidup si anak akan memperoleh kebahagiaan.
Tanah halus/pasir
Tanah di sini sebagai inti dari upacara mudhun lemah/tedhak siten. Ada juga
yang menggunakan pasir. Setelah naik dan turun tangga tebu, si anak selanjutnya
ditapakkan pada pasir yang ada di dalam nampan. Di sini disebut dengan istilah ceker-ceker.
Maksudnya ialah kelak saat si anak dewasa mampu mencukupi kebutuhan hidupnya
sendiri dan mandiri.
Kurungan
Kurungan yang digunakan berukuran besar, seperti kurungan ayam jago.
Biasanya kurungan dihias dengan warna-warni agar menarik. Di dalam kurungan itu
terdapat berbagai macam benda seperti uang, perhiasan, alat tulis, mainan, dan
berbagai benda lainnya sesuai perkembangan zaman. Benda-benda tersebut kelak
akan menjadi minat si anak ketika dewasa, misal si anak memilih alat tulis,
maka ia berminat di bidang tulis-menulis.
Kurungan ini bermakna dunia si anak kecil dan benda-benda tersebut adalah
apa yang kelak menjadi pilihan hidupnya.
Air kembang setaman

Setelah si anak mengambil satu yang menjadi kesenangannya, ia pun
dikeluarkan dari dalam kurungan dan dicuci kakinya dengan bunga setaman. Wanginya
bunga melambangkan kelak si anak akan memngharumkan nama keluarga. Ada juga
yang dimandikan dengan bunga setaman kemudian dipakaikan baju baru. Meskipun berbeda,
intinya tetap sama.
Menyebar udik-udik

Udik-udik merupakan
uang receh yang dicampur dengan berbagai macam bunga. Menyebar udik-udik
maknanya agar kelak ketika dewasa si anak memiliki rizki yang berlimpah,
barokah serta memiliki sifat suka memberi.
Terakhir adalah
pemotongan nasi tumpeng

Setelah segala prosesi
dilakukan, selanjutnya dilakukan pemotongan nasi tumpeng. Filosofinya ialah
sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Tumpeng yang berwarna kuning bermakna
kejayaan. Setelah potong tumpeng dilanjutkan dengan acara jamuan makan sebagai
bentuk berbagi rasa syukur kepada kerabat, teman, dan tetangga.
Selain
itu ada pula makanan-makanan (sajen ), yang terdiri dari bubur
merah dan putih, jadah tujuh warna, bubur baro-baro (bubur
yang terbuat dari bekatul-serbuk halus atau tepung yang diperoleh setelah padi
dipisahkan dari bulirnya), dan jajan pasar.
Akan
tetapi sekarang ini masyarakat desa di luar wilayah Solo dan Jogja sudah jarang
yang melakukan upacara ini. Selain terkendala biaya, mereka juga lebih memilih
melaksanakan upacara secara sederhana dengan selameta. Tedhak siten masih dilestarikan di
kalangan bangsawan dan orang mampu yang masih percaya dengan nila-nilai
filosofis jawa mengenai tedhak siten.
Banyak
nilai-nilai filosofis yang bisa diperoleh dari upacara tedhak siten. Kekeluargaan
dan kebersamaan mewarnai prosesi upacara ini dari awal hingga akhir. Hal ini
terlihat dari partisipasi keluarga dan tetangga dekat dalam merebut udik-udik
yang disebar. Ada pula nilai tradisi dan juga estetika. Urut-urutan
pelaksanaan upacara merupakan nilai tradisi, sedangkan penggunakan hiasan
seperti hiasan kurungan, hiasan pohon tebu, jadah warna wari, dan juga
pakaian bagus sang bayi merupakan nilai estetis yang juga sarat akan filosofis.
Kesimpulan
Upacara tedhak siten merupakan
upacara tradisional yang sekarang sudah sangat jarang dilakukan oleh masyarakat
jawa sendiri. Hanya beberapa golongan masyarakat dengan status sosial yang
tinggi yang masih melakukannya. Ada beberapa alasan mengapa tidak semua
masyarakat jawa (terutama desa) melakukan upacara ini. Selain kendala biaya,
sekarang ini orang lebih menyukai hal-hal yang bersifat praktis tanpa
mengurangi esensi upacaranya. Umumnya, bagi masyarakat desa sekarang ini cukup
dengan menggelar selametan.
Saran yang bisa penulis berikan adalah tetap selalu
menjaga tradisi milik kita yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Masalah
biaya terkadang bukan hal yang sepele, mengingat orang jawa banyak melakukan
selametan dalam berbagai hal, mulai dari kelahiran hingga kematian. Jadi, alangkah
lebih baik apabila ada biaya, orang tua mengadakan upacara tedhak siten
secara lengkap sehingga tetap bisa menjaga, melestarikan, dan mengembangkan
tradisi luhur jawa agar tidak diklaim oleh bangsa lain.
DAFTAR PUSTAKA
Bratawijaya, Thomas Wiyata.1988.Upacara Taradisional Masyarakat Jawa.Jakarta:Pustaka
Sinar Harapan
http://www.youtube.com/ [diunduh pada 12 November 2015]
https://jv.wikipedia.org/Tedhak-Siten [diunduh pada 16 November 2015]
Kompasiana.2014.Tedhak Siten Salah Satu Adat Jawa yang Semakin Pudar.http://www.kompasiana.com [diunduh
pada 16 November 2105]
Koentjaraningrat.1984.Kebudayaan Jawa.Jakarta:PN Balai Pustaka
Negoro, Suryo S.2014.Tedhak Siten.http://jagadkejawen.com
[diunduh pada 16 November 2015]
No comments:
Post a Comment
kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)