Wednesday 18 February 2015

Bayi Malang yang Terbuang

              Aku lahir di negeri antah berantah nun jauh di desa Gabus. Waktu aku lahir terjadi peristiwa yang menggemparkan dunia maya. Katanya, aku tidak menangis ketika aku lahir, tapi justru ibu yang menangis. Semua orang yang menyaksikan kelahiranku waktu itu sangat terkejut. Mereka terkejut lantaran lantaran aku tidak diketahui jenis kelaminnya.
                Aku terlahir berbeda dari kebanyakan bayi yang lahir imut-imut dan montok. Kalian mungkin tidak akan percaya dengan ukuran tubuhku waktu aku lahir. Hanya sekepalan tangan, tapi bukan premature atau malah aborsi. Aku adalah bayi yang lahir menurut priode normal.

                Namun sungguh malang nasibku saat itu. Ibu bahkan rela membuangku di gudang dengan memasukkanku di dalam kardus. Kardus itu diberi alas kain hangat dan aku di taruhnya di dalam. Tak lupa juga selimut untukku. Setiap malam aku selalu merasa kesepian dan sendirian. Aku sering menangis, namun ibu tak pernah mendengarnya karena suaraku yang pelan, yang tak bisa menjerit keras. Meski aku diberi ASI (Air Susu Instan) beberapa kali, aku tetap tidak puas. Yang aku mau hanyalah buaian kasih sayang dari ibu. Namun ibu seakan tak peduli lagi padaku. Aku bagaikan anak yang terbuang! Duhai Tuhan, apa salahku sehingga ibu tega membuangku, putranya sendiri.

                Keesokan harinya, aku merasa dingin yang begitu hebat menjalari seluruh tubuhku. Dengan kesadaran di ujung tanduk, aku mendengar ibu berkata pada seseorang. “Kalau kamu sempet, sana gih diberi susu.” Belum sempat susu itu datang, aku sudah tak sanggup lagi bernapas. Ya, jantungku melemah dan sebentar lagi nampaknya akan berhenti. Mungkin ini terjadi lantaran aku sudah memegang tiket berpetualang ke alam barzah dan pagi ini jadwal penerbanganku. Jelas jadwal itu tak bisa ditunda atau dimajukan.

                Dari atas ku lihat ibu mengubur jasadku di pekarangan rumah bersama seseorang. Orang itu bertanya, “ Ibu, kasihan sekali ya bayi kucing kita, baru tadi malam ia lahir, eh pagi-pagi sudah game over alias mati.”

                “Iya, Nak. Karena kita tak pernah tahu kapan makhluk hidup akan mati. Lagian ibu senang kok, setidaknya kucing kita tidak jadi berjumlah sepuluh. Hehe...,” kata ibu (ibu majikan si ibu kucing) dengan terkekeh sembari menutup lubang kuburan.

kucing-humor.jpg 

                  Walah, gan. Bacanya santai saja ya? Atau udah tegang di depan waktu baca judulnya?? Ini Cuma humor, gan. Maaf kalau sudah menyita waktu kalian, gan. Tapi gak papa kan? Setidaknya bisa menghilangi stress, atau malah tambah stress, gan??? biggrin


baca juga di sini => http://aisyah19.heck.in

Hilang part 1 : Perpisahan

    “Bang, dua porsi nasi plus lauknya ayam bakar, ya,” teriak Wanda pada Bang Soim ketika kami sampai di warung makan langganan kami.
            Aku sedikit bingung dan refleks melotot ke arahnya. Tumben-tumbennya ia pesan makanan di atas sepuluh ribu itu. Belum sempat aku bertanya, ia dengan senyum menjelaskan. “Tenang aja, hari ini gue dapat banyak. Ntar sekalian gue traktir. Makan enak, Man!
            Aku tersenyum lega mendengarnya. Kepada Bang Soim aku menambahkan, “minumnya seperti biasa, Bang.”
            Wanda menoleh cepat ke arahku, kemudian berteriak pada Bang Soim. “Jangan, Bang! Masa air putih mulu, bosan gue. Gue pesen jus apel,” kemudian ia bertanya padaku, “eh, lu mo pesen apa? Tenang aja, ntar gue yang bayar.”
            “Jus Anggur.”
            “Nah, gitu dong! Sekali-kali kek kita makan makanan yang bergizi. Jangan mie mulu.”
            Bang Soim tertawa mendengar gurauan kami. Sebenarnya aku ingin tertawa juga, tapi itu justru akan menyulut masalah baru. Wanda bukanlah tipe orang yang suka ditertawakan, apalagi kalau ia sedang berkata serius.
            Setelah menunggu beberapa saat, pesanan pun datang. Tanpa banyak cing-cong, Wanda langsung melahap makanannya.ia makan cepat sekali seperti orang kelaparan. Aku sampai geleng-geleng kepala melihatnya. Maklumlah, ia kan jarang makan makanan seperti ini.
            Enak juga ternyata rasa ayam bakar. Ku kira membosankan. Aku meminum jus anggurku dan menikmatinya. Sesekali aku memperhatikan keramaian di rumah makan selingkuh dan tak mau mengakuiyang berdiri megah tepat di depan kami duduk sekarang. Rumah makan itu mewah dan modern, kontras sekali dengan warung makan Bang Soim yang berada di sebrangnya. Kecil, tak terawat, dan agak reyot dimakan usia. Tragis sekali!
            Kemudian sebuah mobil Mercedes Bens berhenti di depan rumah makan itu. Ternyata isinya adalah sebuah keluarga. Terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak laki-laki dan perempuan yang sepertinya kakak beradik. Mereka nampak bahagia. Lalu dengan langkah ciri khas orang kaya, mereka masuk ke dalam pintu kaca dan lenyap.
            Melihat mereka tadi, aku jadi teringat keluargaku dulu. Andai saja waktu itu mamah dan papah tidak bercerai, mungkin aku tidak seperti ini.dan mungkin saja aku akan memiliki adik yang imut dan lucu.
‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍>>>><<<<
            “ Kring..kring...kring.....”
Aku meraba alarmku ini nih dan mematikan tombolnya. Hari ini kuharap akan lebih baik dari hari hari kemarin. Setelah tubuh puas karena jatah tidur sebanyak delapan jam,aku segera bangun dan mandi. Berpakaian rapi dan tak lupa memakai parfum.. lalu terakhir memakai sepatu.
            Rasa-rasanya dari tadi kok sepi. Mamah papah kemana sih? Atau jangan-jangan mereka bikin kejutan. Hari ini aku kan ulang tahun. Ah... apa iya? Mereka kan tak pernah ingat hari ulang tahunku, kecuali bila aku mengingatkan.
            Aku menuju ke meja makan dan tak ada makanan pun di sana. Sekarang aku yakin kalau mamah papah memberiku kejutan. Eh, tapi apa tuh di atas meja? Kok seperti kertas? Aku memungut kertas itu dan membaliknya. Di sana tertulis serangkaian kata.
            Ardi, semalam mamah dan papah bertengkar. Papahmu selingkuh dan tak pernah mau mengakui, sedangkan mamah sudah tak kuat lagi dibohongi.hari ini juga kami memutuskan untuk bercerai. Sekarang kamu pilih papah atau mamah. Jika kamu pilih mamah, maka segera kemasi barang-barangmu dan kita pergi.            Aku shock selama beberapa detik, kemudian tertawa. Mamah dan papah ternyata pandai membuat cerita. Mereka pasti mengira aku akan tertekan, lalu setelah aku benar-benar dalam mood buruk, mereka akan mengejutkanku dengan ucapan Happy Birthday. Ah, betapa menyenangkannya.
            Sepulang sekolah aku melihat mamah dan papah duduk bersebrangan di ruang tamu. Raut muka mereka seperti tak sabar menunggu sesuatu kemudian agak cerah ketika melihatku pulang. Mamah menyuruhku duduk. Ia ingin membicarakan hal penting.
            “Jadi, apakah kamu sudah membaca pesan mamah di meja makan?”
            “Sudah, Mah. Aku sudah membacanya,” jawabku datar.
            “Lalu siapa di antara kami yang kamu pilih?” tanyanya lagi.
            “Aku pilih kalian berdua,” ujarku yakin.
            “Ini bukan main-main, Ardi! Jawab yang benar! Mamah atau papah?!” Mamah memandang tajam ke arahku, menandakan bahwa beliau tidak main-main dengan ucapannya.
            Aku terdiam, tak mampu menjawab. Aku tidak mengerti dengan keputusan impulsifnya itu. Jika ini adalah mimpi buruk, ku harap aku segera bangun. Namun tetap saja ini nyata, bukan mimpi. Aku menoleh pada papah, memeinta penjelasan darinya, tapi aku tak dapatkan apa pun kecuali raut muka papah yang frustasi. Terang sudah semuanya. Hari ini, hari ulang tahun terburuk sepanjang sejarah hidupku. Tak ada kejutan, tak ada hadiah, tak ada ucapan selamat ulang tahun. Mereka, kedua orang tuaku sudah tak peduli denganku. Mereka egois.
            “Cepat jawab, Ardi! Mamah ingin segera angkat kaki dari sini!” teriak mamah kesal karena aku belum juga menjawab pertanyaannya.
            “Pah, Mah,” kataku seraya menoleh ke papah dan mamah secara bergantian. “Tidakkah kalian ingin aku bahagia? Ku mohon, jangan pergi! Aku hanya punya kalian berdua. Pah, Mah...aku butuh kalian berdua.”
            “Terlambat, Ardi. Papah dan mamah sudah tidak bisa berdua lagi. Sebagai anak, papah berharap kamu bisa menentukan pilihan terbaik di antara kami. Dan papah yakin kamu bisa memilih yang terbaik untuk dirimu sendiri.”
            “Tidak, Pah! Aku tetap pada pilihan pertama. Jika papah mamah tidak bisa bersama, maka aku tidak akan memilih salah satu. Aku memilih ini karemna menurutku ini keputusan yang adil. Aku akan memilih tinggal di apartemen.”
            “Baiklah kalau itu kemauanmu. Kembalilah pada papah kapan pun kau mau, nak.” Papahmengusap-usap bahuku.
            “Mamah juga, Ardi. Mamah akan menyambutmu dengan senag hati jika nanti kamu ingin bersamaku,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
            “Sebelum Ardi pergi, Ardi ingin mengucaokan terima kasih atas kejutan yang luar biasa yang papah mamah berikan di hari ulang tahun Ardi. Sungguh, ini adalah kejutan sekaligus hadiah ulang tahun yang tak akan Ardi lupakan. Ardi benar-benar terkejut seperti yang papah mamah harapkan. Sekali lagi terima kasih,” ucapku dengan senyum yang kupaksakan. Hati ini begitu terluka sehingga aku ingin cepat-cepat segera pergi untuk melupakan semua ini, walau aku tahu itu tak mungkin. Ya...kecuali aku amnesia.
            Setelah itu aku beranjak ke kamar dan bersiap pergi dari rumah. Sebenarnya tujuanku tinggal di apartemen ialah memberikan kebebasan pada mamah atau papah untuk menjengukku, bukan berarti aku tidak mau tinggal dengan salah satu dari mereka.
>>>><<<<
            Sudah sekitar satu bulan aku tinggal sendiri di apartemen. Waktuku sebagian besar ku gunakan untuk menunggu agar papah dan mamah berkenan menjengukku. Namu hanya kesia-siaan yang ku dapat. Mamah papah tak pernah mengunjungiku semenjak aku angkat kaki dari rumah. Alasan mereka sama, sibuk. Yang masih rutin mengunjungiku hanyalah uang mingguan dari mereka.
            Dua bulan berlalu. Sedetik pun aku belum bertemu mamah papah. Apakah mereka tidak rindu denganku? Ataukah mereka sudah tak menganggapku? Yang kubutuhkan saat ini hanyalah perhatian dari mereka, bukan uang mingguan. Berjuta-juta uang yang mereka kirim tak juga membuatku bahagia.
            Tak terasa aku sudah menjalani hidupku tanpa orang tua hampir satu tahun. Dua bulan lagi ku ada UN, tapi aku ragu apakah aku bisa mengikuti UN. Uang mingguan dulu kini jadi uang bulanan, dulu mamah aktif mengirimiku uang, tapi semenjak ia menikah lagi, uang itu bahkan tak ada. Hanya papah yang sesekali ingat padaku. Dan satu-satunya hal yang bisa membuatku bertahan adalah “aku pasti bisa menjalani ini semua.”
            Dan hari ini aku benar-benar kesal. Aku terpaksa keluar dari apartemen karena tak mampu lagi membayar. Mau bayar dengan apa kalau papah kirim uangnya pas-pasan hanya untuk biaya sekolah. Hari ini juga aku memutuskan berhenti sekolah dan menggunakan uang dari papah untuk biaya hidup sementara.
            “Papah...!! Mamah...!!! Terima kasih karena kalian berdua telah menjadi orang tua yang sangat baik, saking baiknya sampai kalian tak bisa memberiku sepijak tanah pun untuk kutinggali.” Aku berteriak keras sekali di pinggir danau dan aku merasa lega.

Bersambung  di part 2

Heliophobia




Irlandia. Siapa yang tak mengenalnya? Negara uni eropa yang berada di sebelah barat Britania Raya dengan bendera tiga warna; hijau, putih, dan jingga. Merupakan salah satu negara yang pernah dijajah Inggris selama delapan abad. Dibagi menjadi dua wilayah; Irlandia Utara dan Irlandia Selatan, yang mana Irlandia Utara adalah bagian dari Britania Raya. Republik Irlandia berbatasan dengan Laut Keltik di sebelah selatan, Samudra Atlantik di sebelah barat, dan Laut Irlandia di sebelah timur.

Di negara inilah aku menetap sebagai pedatang dari Indonesia. Tiga bulan sudah aku di sini sejak musim panas. Tidak termasuk lama bila dibandingkan dengan penduduk sini yang sudah menetap bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun.

Keberuntungan menyapaku sejak aku menginjakkan kaki di tanah dingin ini. Aku langsung mendapat tempat tinggal sederhana yang indah di sebuah desa di lereng gunung. Bekas rumah seorang gadis penjual bunga yang kesepian dan kini telah menemukan cintanya. Rumah ini mungkin dibangun leluhurnya sejak masa penjajahan. Hal itu ku ketahui dari konstruksinya yang mirip dengan rumah-rumah orang British di abad delapan belas.

Sayangnya di sini aku tinggal sendirian, tanpa teman. Melakukan rutinitas yang lama-kelamaan menjadi sesuatu yang menyebalkan; minum kopi di pagi hari, menjadi mahasiswa di salah satu Universitas di Irlandia, pulang sore atau menonton sinema hingga malam, mengerjakan tugas kuliah, tidur hingga kembali pagi. Begitu seterusnya selama tiga bulan ini. Tak ada yang lain dan hampir membuatku mati karena bosan.

Selama tiga bulan ini aku telah mengenal seluruh tetanggaku, tapi ada satu yang belum ku ketahui bagaimana kehidupannya. Dan anehnya mereka justru tepat berada di sebelah utara rumahku. Jaraknya hanya dua meter dari tembokku sebelah utara.



Asap putih bersih mengepul-ngepul di hadapanku. Meliuk-liuk seakan menggodaku. Timbul dari cairan lalu menghilang berbaur dengan udara. Cairan panas itu berada dalam cawan cantik warna biru kristal, tak lain adalah kopi hangat. Minuman wajib di pagi hari. Ditemani secangkir kopi hangat dan roti tawar dengan selai nanas, aku biasa menikmati suasana pagiku. Berdiri santai di balkon sambil menikmati pemandangan. Jauh di sebelah barat laut sana, arah jarum jam dua, sebuah gunung cantik bertengger. Gunung itulah pemandangan sekaligus background kotaku. Walau tidak termasuk gunung yang terkenal, tapi pemandangannya nampak indah dilihat dari kejauhan.

Mentari masih tersenyum malu-malu di balik semburat awan jingga. Udara dingin serasa menembus kulitku, menjalar di setiap aliran darahku, menusuk-nusuk tulangku. Temperatur di sini sekitar 13 derajat celcius. Aku menegak kopiku untuk menguangi hawa dingin. Satu dua teguk cukup menghangatkan kerongkongan. Aku mengalihkan perhatian ke jendela tetanggaku yang berada tepat di depanku. Jendela kayu dengan ukiran bunga anyelir itu seperti menyimpan rahasia. Gorden hitam dengan titik merah marun itu tak pernah tersibak, apalagi terbuka. Tak pernah sekali pun aku melihat si empunya membuka jendela itu. Bahkan hanya menyibakkan gorden juga tak apa. Setidaknya aku tahu siapa seseorang di balik jendela itu.

Memang membuat penasaran bila punya tetangga dekat rumah, tapi tak pernah melihat orangnya. Jangankan orangnya, sesenti wajahnya pun aku tak pernah melihat. Hanya suara-suara dengan nada menghardik dan mengibalah yang selalu menjadi themesong-nya. Seperti tak pernah bahagia. Begitulah hipotesaku atau anggapan sementara terhadap mereka. Percekcokan mereka tak pernah mengenal waktu, tak peduli pagi, siang, sore, dan malam, mereka selalu beradu mulut. Suara bariton dari seseorang selalu bernada menghardik dan mencela, sedangkan suara sopran -dari lawan bicaranya- hanya bisa memelas dan merintih. Aku sungguh terharu mendengarnya

Di kala aku sedang sendiri, aku sering mengira-ngira hubungan antara dua orang tetanggaku itu. Mungkin mereka pasutri, anak dengan bapak, istri simpanan, atau mungkin majikan dengan pembantu. Yah, walau ku tahu anggapan di atas mungkin tak ada kaitannya sama sekali dengan mereka. Akan tetapi, begitulah.



Suatu ketika di pagi buta, aku melihat samar-samar seseorang keluar dari rumah tetanggaku itu. Ia memakai jaket hoody yang tebal untuk melindungi dirinya dari dinginnya salju yang turun. Aku tak tahu apakah ia pria atau wanita. Dan sehari itu aku tak mendengar lagi percekcokan yang menakutkan. Jangankan teriakan, suara berdehem atau batuk pun aku tak mendengarnya. Benar-benar keajaiban, bukan?

Esoknya suasana sepi masih menyelimuti rumah itu. Aku tak ambil pusing. Lagi pula aku bisa merasa sedikit tenang tanpa pertengkaran mereka. Dan suasana seperti ini baru ku rasakan sejak aku pertama kali menginjakkan kaki di sini. Kini aku tahu kenapa gadis penjual bunga itu begitu ingin cepat pergi ketika aku menanyakan rumahnya. Alasannya jelas, ia tak betah tinggal di rumahnya sendiri dan bertetangga dengan mereka.

Seminggu berlalu dan rumah itu masih tetap sepi. Rumah kuno bergaya klasik dan bercat seperti buah manggis itu menambah kesuraman suasana. Aku jadi semakin curiga. Jangan-jangan orang yang keluar rumah di pagi buta itu telah membunuh lawan bicaranya.



Hari itu turun salju sangat lebat dan aku mengambil cuti sehari dari kuliahku. Sehari, tak apalah. Asal tidak sampai seminggu. Aku, yang memang belum pernah merasakan bagaimana dinginnya salju, nekat ke beranda untuk melihat dan merasakannya. Pasti akan sangat dingin, batinku.

Seolah melihat permata yang bertengger di singgasana, mataku terbelalak dan tenggorokanku tercekat. Tak kusangka ia muncul di balik jendela ukiran bunga anyelir itu! Meremas-remas gorden jendela. Pemandangan ini ku anggap sebagai anugerah emas dari Tuhan. Akhirnya aku bisa melihatnya setelah merasa menjadi manusia paling penasaran di muka bumi selama tiga bulan.

Aku rasa dialah wanita yang mempunyai suara sopran memilukan itu. Sekarang aku tahu apa penyebab pertengkaran mereka. Pasti karena si wanita itu berkulit putih bak salju dan berpupil agak kemerahan, serta bibir tipis dengan warna semerah darah. Ya, itulah mengapa seseorang dengan suara bariton itu selalu menyebutnya "ANAK SETAN".

Ia terkejut melihatku sedang mengamatinya, dan aku akui aku terpesona olehnya. Buru-buru ia menutup gorden dan jendelanya. Ku rasa jendela itu adalah jendela kamarnya.

Aku mengumpulkan semua pengetahuan yang ku punya. Lalu ku kaitkan antara dirinya yang begitu berbeda dengan orang-orang sekitar dan dirinya tak pernah keluar rumah. Itu terbukti ketika ia hanya membuka jendela di musim salju dan tak pernah membuka jendela ketika musim gugur tiga bulan lalu. Apakah ia termasuk pengindap..... Apa ya? Kok aku lupa.



"Sedang membaca apa?" Tanya seseorang yang kemudian duduk bersebrangan dariku.

"Buku," jawabku indifferent.

"Ya. Aku tahu. Maksudku tentang apa?" Ia bertanya lagi.

Ia diam sebentar menunggu jawabanku. Beberapa detik kemudian akhirnya ia menyerah karena aku tak menanggapi pertanyaannya. Ia membalik buku yang ku baca untuk melihat sampulnya.

"Aku tak mengerti, kau membaca tentang fobia?  Bukankah kau mengambil S2 astronomi?"

"Itu bukan urusanmu," jawabku ketus dan meliriknya sepintas.

"Baiklah. Aku pergi."

Ah, akhirnya ia pergi juga, batinku.

Wanita Swiss itu membuatku kesal. Ia selalu ingin tahu apa pun tentang diriku. Di matanya seakan aku tak punya privasi.

Setelah selesai membaca buku tentang fobia, aku mendapat jawaban yang bisa mendukung hipotesaku. Menurut buku yang ku baca di perpustakaan tadi, aku menduga ia -tetanggaku- mengindap Heliophobia,  yaitu fobia atau takut berlebihan terhadap matahari. Pantas saja ia tampak kurang sehat. Ia tak pernah kena sinar matahari langsung.

Pagi ini masih seperti pagi seminggu yang lalu. Sepi. Dan aku telah siap siaga berdiri di balkonku sejak setengah jam tadi. Tak lain hanya untuk melihatnya membuka tirai yang berada tepat di depanku itu. Aku ingin sekali melihatnya untuk yang kedua kalinya. Kali ini aku akan menunjukkan wajah ramahku, bukan wajah terpesonaku saat pertama melihatnya. Tujuanku tak lain hanyalah agar aku terkesan ramah baginya sehingga aku mudah mengenalnya. Setelah itu, aku bisa menguji hipotesaku.

Namun satu jam hampir berlalu dan tak ada tanda-tanda kemunculannya. Aku dilanda putus asa. Mungkin hari ini aku tidak menjumpainya, tapi tidak untuk lain kali. Dan... Apa pun yang terjadi, aku akan menunggu!

Kali ini aku lebih pagi dari kemarin. Ku harap, sangat berharap ia muncul dari balik jendela anyelir itu. Sesekali aku memandang ke arah jendelanya di sela-sela hilir mudikku. Aku semakin tak sabar dan ingin segera melihatnya.

Seperempat jam lagi aku akan telat kuliah kalau tetap menunggunya. Jadi, ku putuskan untuk menyerah saja. Lagi pula pagi ini tidak turun salju, hanya mendung. Dan....bukankah ia dulu muncul ketika salju turun?, pikirku. Mungkin saja ia mengagumi keindahan turunnya salju, bukan panasnya sinar mentari. Ya! Pasti begitu.



Yang menjadi masalah ialah kenapa salju tak kunjung turun. Sudah tiga hari dari hari terakhir turunnya salju. Semua orang tahu kalau tiga hari bukanlah waktu yang lama, tapi bagi orang-orang yang menunggu rasanya sangat lama. Ya, dan aku termasuk salah satu orang-orang yang menunggu. Ku rasa ia juga tak sabar.

Akhirnya butiran-butiran putih yang selalu ku nantikan turun juga. Tak ambil tempo, aku segera menuju ke balkon hanya dengan kaos tipis dan celana pendek yang tadi ku pakai tidur. Aku tak peduli dengan dinginnya salju. Aku tak peduli ini pukul dua malam. Dan aku tak peduli dengan tindakan gilaku ini.

Otakku hanya dipenuhi satu pikiran, satu perasaan, dan satu harapan. Hanya gadis itu yang kupikirkan. Hanya perasaan tak sabar yang membuat jantung berdebar. Dan hanya harapan ia segera muncul dibalik jendela anyelir itu.

Senyum terkembang di kedua sudut bibirku. Yah! Akhirnya ia muncul di balik jendela kamarnya. Matanya menerawang ke atas dan mengagumi turunnya butiran-butiran putih nan indah itu. Sekilas ku lihat seberkas senyum di sudut bibirnya yang semerah darah. Akhh!!! Ia benar-benar mempesona.

Kehadiranku tak terlalu mempengaruhinya. Buktinya ia tetap berdiri di sana tanpa merasa terganggu. Ia terlalu asyik mengagumi salju sehingga ia tak peduli pada apa pun, bahkan pada diriku yang tengah berdiri di depannya dengan jarak beberapa meter saja tanpa bidang batas seinci pun. Sungguh pecinta salju. Si Heliophobia yang jatuh cinta pada salju.

@ The End @




Followers