Tuesday 17 October 2017

Upcara Tedhak Siten ( Upacara Menginjak Tanah)

Hasil gambar untuk tedhak siten
Upacara Tedak Siten Asanthy

      
Tedhak siten, merupakan salah satu budaya masyarakat Jawa untuk balita yang berusia antara tujuh atau delapan bulan atau pertama kalinya kaki si anak menyentuh tanah. Tedhak artinya turun dan siten berasal dari kata siti yang berarti tanah. Jadi tedhak siten adalah rangkaian upacara turun tanah yang bertujuan agar si anak tumbuh menjadi anak yang mandiri dan mampu menghadapi setiap godaan atau rintangan dalam hidupnya. Selain itu upacara tedhak siten juga mempunyai makna kedekatan anak dengan ibu pertiwi atau tanah kelahiran.
           
Upacara ini untuk mengingatkan bahwa bumi atau tanah telah memberikan banyak hal untuk menunjang kehidupan manusia. Tanpa ada bumi,  sulit dibayangkan bagaimana eksistensi kehidupan manusia, sang suksma yang berbadan halus dan kasar. Dengan menjalani kehidupan yang baik dan benar di bumi ini dan sekaligus tetap merawat dan menyayangi bumi, maka kehidupan di dunia terasa nyaman dan menyenangkan.

            Manusia wajib bersyukur kepada Tuhan, telah diberikan kehidupan yang memadai di bumi yang alamnya sangat kondusif. Inilah kesempatan untuk berbuat yang sebaik-baiknya, berkarya nyata, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarganya, tetapi untuk peradaban seluruh umat manusia. Hendaknya diingat bahwa tanah adalah salah satu elemen badan manusia dan yang tak terpisahkan dengan elemen-elemen yang lain, yaitu air, udara dan api, yang mendukung kiprah kehidupan suksma di dunia ini, atas kehendak Tuhan.

            Ritual tedhak siten menggambarkan persiapan seorang anak dari kecil sampai dewasa untuk menjalani setiap fase kehidupan dengan baik dan benar sehingga diharapkan sukses di masa depannya. Sedangkan bagi para leluhur, ritual adat ini merupakan wujud penghormatan bagi bumi sebagai tempat bagi si kecil yang mulai belajar berjalan dengan diiringi doa- doa baik dari orang tua maupun sesepuh.

            Upacara tedhak siten ini mulai diajarkan oleh keluarga Paku Alaman di Keraton Jogjakarta di tahun 1934. Akan tetapi, setelah masa pendudukan Jepang upacara ini menjadi tidak begitu penting. Hanya beberapa orang priyayi di kota-kota saja yang masih menyelenggarakannya. Itu pun tidak selengkap seperti zaman Paku Alaman.

            Upacara tedhak siten biasanya dilaksanakan saat anak berumur tujuh hingga delapan bulan, atau lebih tepatnya di weton ketujuh si anak (7 x 35 hari). Tedhak siten ini dianggap sebagai upacara penting bagi penganut agama jawi di desa maupun di kota. Biasanya dilaksanakan di waktu pagi dan dihadiri oleh kerabat maupun tetangga di kanan-kiri rumah serta tamu undangan.

            Upacara dimulai dengan membimbing anak menapaki tujuh jadah yang berwarna-warni. Kemudian menaiki tangga yang terbuat dari tebu. Setelah itu, masih dengan bimbingan orang tua, anak diturunkan di tanah/pasir yang ditaruh di dalam nampan. Kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang dihias dan di dalamnya terdapat berbagai macam benda. Terakhir, setelah anak tersebut mengambil sesuatu, maka ia diambil dari kurungan dan kakinya dicuci dengan air kembang setaman.

            Setelah prosesi tersebut selesai dilanjutkan dengan menebar udik-udik (uang receh yang dicampur dengan berbagai jenis bunga) yang ditaruh dalam suatu wadah. Sang ayah (atau bisa juga ibu) menggendong si anak, sedangkan si ibu menebarkan uangnya. Uang tadi akan direbut oleh para tamu dan anak-anak kecil yang datang. Akhir dari prosesi ini adalah pemotongan tumpeng yang dilanjutkan dengan acara jamuan makan bagi para tamu. Maka, berakhirlah prosesi tedhak siten.

            Di dalam upacara tedhak siten terdapat berbagai macam langkah dan ubarampe yang masing-masing memiliki filosofi. Adanya benda-benda dalam upacara ini sebagai simbolisasi harapan agar kelak kehidupan si anak mulia dan bahagia.

            Berikut beberapa ubarampe tedhak siten beserta filosofinya.
  Jadah

Hasil gambar untuk jajan jadah
Jadah dalam prosesi mudun lemah terbuat dari beras ketan kemudian diberi warna. Jumlah jadah ada tujuh macam warna, yaitu putih, merah, kuning, oranye, biru, hijau, dan ungu. Jumlah tujuh atau pitu berarti pitulungan, agar si anak selalu mendapat pertolongan dari Tuhan. Warna-warna jadah ini melambangkan warna kehidupan yang akan dijalani oleh si anak. Jadah tersebut disusun berderet hingga menuju ke tangga tebu.

Tangga tebu

Hasil gambar untuk tebu
Tangga tebu yang digunakan adalah tebu yang sudah tua. Biasanya menggunakan tebu hitam. Tangga ini memiliki makna bahwa hidup itu mengalami tingkatan dan suatu saat akan mencapai puncaknya, sedangkan tebu memiliki makna antebing kalbu, yaitu kemantaban hati dalam menjalani berbagai rintangan kehidupan. Selain itu, tebu yang sudah tua biasanya terasa manis sehingga terkandung makna bahwa kelak hidup si anak akan memperoleh kebahagiaan.


Tanah halus/pasir

Hasil gambar untuk pasir
Tanah di sini sebagai inti dari upacara mudhun lemah/tedhak siten. Ada juga yang menggunakan pasir. Setelah naik dan turun tangga tebu, si anak selanjutnya ditapakkan pada pasir yang ada di dalam nampan. Di sini disebut dengan istilah ceker-ceker. Maksudnya ialah kelak saat si anak dewasa mampu mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri dan mandiri.

 Kurungan

Hasil gambar untuk tedhak siten
Kurungan yang digunakan berukuran besar, seperti kurungan ayam jago. Biasanya kurungan dihias dengan warna-warni agar menarik. Di dalam kurungan itu terdapat berbagai macam benda seperti uang, perhiasan, alat tulis, mainan, dan berbagai benda lainnya sesuai perkembangan zaman. Benda-benda tersebut kelak akan menjadi minat si anak ketika dewasa, misal si anak memilih alat tulis, maka ia berminat di bidang tulis-menulis.
Kurungan ini bermakna dunia si anak kecil dan benda-benda tersebut adalah apa yang kelak menjadi pilihan hidupnya.

 Air kembang setaman

Hasil gambar untuk air kembang
Setelah si anak mengambil satu yang menjadi kesenangannya, ia pun dikeluarkan dari dalam kurungan dan dicuci kakinya dengan bunga setaman. Wanginya bunga melambangkan kelak si anak akan memngharumkan nama keluarga. Ada juga yang dimandikan dengan bunga setaman kemudian dipakaikan baju baru. Meskipun berbeda, intinya tetap sama.

Menyebar udik-udik

Hasil gambar untuk udik udik di tedhak siten
Udik-udik merupakan uang receh yang dicampur dengan berbagai macam bunga. Menyebar udik-udik maknanya agar kelak ketika dewasa si anak memiliki rizki yang berlimpah, barokah serta memiliki sifat suka memberi.

Terakhir adalah pemotongan nasi tumpeng
Hasil gambar untuk tumpengan tedhak siten
Setelah segala prosesi dilakukan, selanjutnya dilakukan pemotongan nasi tumpeng. Filosofinya ialah sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan. Tumpeng yang berwarna kuning bermakna kejayaan. Setelah potong tumpeng dilanjutkan dengan acara jamuan makan sebagai bentuk berbagi rasa syukur kepada kerabat, teman, dan tetangga.
Selain itu ada pula makanan-makanan (sajen ), yang terdiri dari bubur merah dan putih, jadah tujuh warna, bubur baro-baro  (bubur yang terbuat dari bekatul-serbuk halus atau tepung yang diperoleh setelah padi dipisahkan dari bulirnya), dan jajan pasar.
Akan tetapi sekarang ini masyarakat desa di luar wilayah Solo dan Jogja sudah jarang yang melakukan upacara ini. Selain terkendala biaya, mereka juga lebih memilih melaksanakan upacara secara sederhana dengan selameta.  Tedhak siten masih dilestarikan di kalangan bangsawan dan orang mampu yang masih percaya dengan nila-nilai filosofis jawa mengenai tedhak siten.

Banyak nilai-nilai filosofis yang bisa diperoleh dari upacara tedhak siten. Kekeluargaan dan kebersamaan mewarnai prosesi upacara ini dari awal hingga akhir. Hal ini terlihat dari partisipasi keluarga dan tetangga dekat dalam merebut udik-udik yang disebar. Ada pula nilai tradisi dan juga estetika. Urut-urutan pelaksanaan upacara merupakan nilai tradisi, sedangkan penggunakan hiasan seperti hiasan kurungan, hiasan pohon tebu, jadah warna wari, dan juga pakaian bagus sang bayi merupakan nilai estetis yang juga sarat akan filosofis. 



Kesimpulan

            Upacara tedhak siten merupakan upacara tradisional yang sekarang sudah sangat jarang dilakukan oleh masyarakat jawa sendiri. Hanya beberapa golongan masyarakat dengan status sosial yang tinggi yang masih melakukannya. Ada beberapa alasan mengapa tidak semua masyarakat jawa (terutama desa) melakukan upacara ini. Selain kendala biaya, sekarang ini orang lebih menyukai hal-hal yang bersifat praktis tanpa mengurangi esensi upacaranya. Umumnya, bagi masyarakat desa sekarang ini cukup dengan menggelar selametan.

            Saran yang bisa penulis berikan adalah tetap selalu menjaga tradisi milik kita yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Masalah biaya terkadang bukan hal yang sepele, mengingat orang jawa banyak melakukan selametan dalam berbagai hal, mulai dari kelahiran hingga kematian. Jadi, alangkah lebih baik apabila ada biaya, orang tua mengadakan upacara tedhak siten secara lengkap sehingga tetap bisa menjaga, melestarikan, dan mengembangkan tradisi luhur jawa agar tidak diklaim oleh bangsa lain.



DAFTAR PUSTAKA
Bratawijaya, Thomas Wiyata.1988.Upacara Taradisional Masyarakat Jawa.Jakarta:Pustaka         Sinar Harapan
http://www.youtube.com/ [diunduh pada 12 November 2015]
https://jv.wikipedia.org/Tedhak-Siten [diunduh pada 16 November 2015] Kompasiana.2014.Tedhak Siten Salah Satu Adat Jawa yang Semakin        Pudar.http://www.kompasiana.com [diunduh pada 16 November 2105]
Koentjaraningrat.1984.Kebudayaan Jawa.Jakarta:PN Balai Pustaka
Negoro, Suryo S.2014.Tedhak Siten.http://jagadkejawen.com [diunduh pada 16 November           2015]
  

Semangat Laskar Pelangi

Hasil gambar untuk laskar pelangi



Judul Film: Laskar Pelangi

Release: 25 September 2008

Sutradara: Riri Riza

Produkser: Mira Lesmana

Distributor: Miles Film & Mizan Production

Pemeran : Zulfany, Verrys Yamarno, Cut Mini, Ikranagara

Durasi : 128 menit

Adaptasi: Novel Laskar Pelangi


“Kejar pelangimu walau sampai ke ujung dunia!” 



Sebuah kalimat yang sangat menginspirasi dari sebuah film “Laskar Pelangi”. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama ini sempat dipertunjukan di Australia. Kisahnya tentang semangat dan pentingnya sebuah pendidikan dalam keterbatasan. Sebuah kisah yang sangat menginspirasi siapa saja.

Pandangan Penulis Mengenai Film dan Sinopsis Cerita

Di Belitong, para penduduknya sebagian besar bekerja di PN Timah milik Belanda. Di sanalah awal dan akhir semua cerita film ini. Ikal adalah salah seorang anak yang memiliki banyak saudara dan ini adalah tahun pertamanya sekolah. Ia disekolahkan di SD Muhammadiyah Gantong bukan karena alasan pendidikan agama saja, tetapi juga karena SD ini sangat murah.

Saat pendaftaran, Pak Harvan dan Bu Mus –sebagai guru pemula di SD Muhammadiyah– kesulitan mendapatkan sepuluh orang murid saja. Mereka dengan sangat sabar menunggu hingga pukul sebelas siang. Karena, jika tidak mendapatkan sepuluh orang murid, sekolah akan ditutup dan terbakarlah asa para orang tua dan anak-anak yang ingin sekolah. Hingga pada akhirnya, datanglah seorang anak yang cacat mentalnya dengan lari tergopoh-gopoh memakai sepatu boots. Ialah Harun, sang penyelamat.

SD Muhammadiyah hanya memiliki murid sepuluh orang, laki-laki sembilan dan perempuan satu. Mereka menamakan diri mereka sendiri sebagai laskar pelangi. Beberapa diantaranya adalah Mahar (sang seniman), Lintang (sang jenius), Ikal (tokoh utama), A kiong, Kucai (ketua sekolah), Harun (meski dia cacat mental, tapi dialah sang penyelamat sebagai penggenap sepuluh), Sahara (perempuan sendiri), dan masih ada 3 orang lagi yang tidak terlalu menonjol perannya.

Sekolahnya sudah sangat memprihatinkan kondisinya. Bahkan, sekolah itu tidak layak disebut sekolah. Jika hujan bocor dan malah digunakan untuk meneduhkan kambing-kambing yang merumput di halaman sekolah, entah kambing siapa. Mereka sekolah tak ada aturan memakai seragam, apalagi sepatu, yang penting berbaju. Maklum, mereka dari golongan kurang mampu yang sebagian besar orang tuanya menjadi kuli atau nelayan di laut.

Ironis memang. Di tanah yang sangat kaya mereka justru menjadi orang terpinggirkan dan miskin, bahkan untuk pendidikan mereka tak mampu. Harta dan kekayaan yang mereka miliki habis dikeruk oleh bangsa asing dan mereka hanya bisa gigit jari. Ini tak hanya terjadi di Belitong pada zaman dulu. Di sekarang ini, di daerah lain Indonesia juga mengalami hal yang serupa.

Di SD Muhammadiyah, gurunya awalnya tiga, tetapi kemudian menjadi dua karena tak pernah lagi menerima murid. Mereka adalah Bu Muslimah dan Pak Harvan yang selalu berkobar semangatnya. Keduanya bekerja keras membimbing murid-murid yang begitu semangat belajar (yang dikenal dengan Laskar Pelangi). Namun sayang, Pak Harvan kemudian meninggal dunia dan Bu Muslimah harus berjuang sendiri mendidik murid-muridnya.

Semangat belajar mereka menciptakan sejarah dan prestasi yang luar biasa. Lintang, sang jenius rela naik sepeda menempuh jarak lebih dari 40 km pulang pergi. Ia harus berangkat pagi-pagi sekali agar tidak telat dan melewati tempat buaya berjemur sehingga ia harus menunggu buaya itu minggir jika mau lewat dengan selamat. Untuk pertama kalinya dalam sejarah SD Muhammadiyah, Mahar dan kawan-kawannya memenangkan karya mereka di acara festival tujuh belasan mengalahkan SD PN Timah sebagai juara bertahan. Lintang juga memboyong piala lomba cerdas cermat tingkat kecamatan mengalahkan SD PN Timah.

Kisah yang paling mengharukan adalah ketika Lintang terpaksa memutuskan sekolah karena ayahnya telah tiada. Ia harus merawat adik-adiknya yang masih kecil dan menjadi nelayan sebagai anak laki-laki tertua. Namun, semangatnya tak pernah padam di dunia pendidikan.

Ada kisah lain yang mengikuti kehidupan tokoh utama, yaitu percintaan Ikal dengan A ling. Pada suatu ketika, Ikal kebagian jatah membeli kapur di toko kelontong Sinar Harapan. Ia sangat malas sekali mendapat tugas ini. Namun, saat ia melihat kuku-kuku dan jari cantik si pemberi kapur (yang hanya diberikan lewat lubang sebesar kilanan telapak tangan), ia tiba-tiba merasa bahwa dunia ini penuh dengan keindahan. Ikal dilanda asmara.

Dan betapa Ikal sangat senang saat ia tahu bahwa A Kiong, teman sekelasnya, adalah sepupu A Ling. Ia pun bisa berjalan berdua dengan A Ling berkat bantuan A Kiong. Sayangnya, A Ling harus pergi ke Jakarta dan meninggalkan Ikal sendirian hingga ia merasa gegana. Mahar yang peka perasaannya menyadari perubahan yang dialami Ikal, ia dengan seluruh teman-temannya pun menghibur Ikal dengan lagu bunga Seroja.

Oh ya, berhubung lagu ini bagus, saya juga akan menuliskan liriknya di bawah ini.



Mari menyusun seroja, bunga seroja ah....ah....

Hiasan sanggul remaja, putri remaja ah....ah....

Rupa yang elok, dimanja jangan dimanja ah....ah....

Pujalah ia oh saja, sekadar saja

Mengapa kau bermenung, oh adik berhati bingung

Mengapa kau bermenung, oh adik berhati bingung



Kesan dan Pesan

Banyak pesan dan kesan yang saya dapatkan setelah menonton film spetakuler ini.
· Sebagai tanah surga, Indonesia memang memiliki kekayaan alam yang berlimpah dan menjadi dambaan semua orang, termasuk warga asing. Sayangnya, kita masih belum bisa mengolahnya dengan baik sehingga jatuh di tangan asing. Seperti timah di Belitong yang dikuasai oleh Belanda. 
· Pendidikan dengan ekonomi penduduk kita masih belum bisa berjalan beriringan. Padahal pendidikan mampu mengubah perekonomian, sedangkan perekonomian juga diperlukan untuk biaya pendidikan. Mana yang harus didahulukan? Menurut saya, keduanya harus sama-sama diusahakan. (seperti Laskar Pelangi) 
· Tak peduli seberapa besar keterbatasanmu, jika semangat telah berkobar di dada apa pun yang menghalang pasti akan kau terjang dengan senyum kemenangan. Dan memang pada akhirnya yang terus berjuanglah yang akan menang. (seperti Lintang) 
· Pengabdian besar seorang guru bukan diukur dari seberapa banyak uang yang diterimanya, tetapi seberapa ikhlas dirinya berjuang demi murid-murid walau tanpa digaji. (seperti Bu Muslimah) 
· Pendidikan tidak cuma berisis ajaran-ajaran ilmu pengetahuan, tetapi juga perlu diimbangi dengan pengajaran agama. Seperti kata pepatah, ilmu tanpa agama adalah pincang. (seperti SD Muhammadiyah) 
· Pesan yang terakhir (lebih pada saya sendiri): Lakukanlah dan optimalkan apa yang sekarang ada padamu selagi sempat dan selagi bisa karena biar bagaimana pun kau lebih beruntung daripada mereka, khusunya dalam hal pendidikan.


Nah, begitulah ulasan panjang lebar mengenai film Laskar pelangi ini. Kurang lebihnya mohon maaf dan apabila ada yang salah silakan dibenarkan di kolom komentar.

CERPEN : MAHONI

“Jikalau aku harus jatuh, aku ingin jatuh seperti biji mahoni.”
Hasil gambar untuk mahogany tree
Pohon Mahoni by treeplantation.com

Kicauan burung terdengar bersahut-sahutan di balik pohon mahoni. Suaranya begitu merdu dan bersahabat, seolah mengajak bernyanyi bersama. Lalu, lima biji mahoni kecoklatan jatuh dari buahnya, memutar-mutar indah seperti baling-baling helikopter. Disusul beberapa helai daun mahoni yang telah habis masanya. Jatuh tergeletak di tanah serupa bayi yang tak diharapkan. “Srek...srek...srek...” Suara seseorang sedang tapen[1] beras terdengar timbul tenggelam dari arah belakang rumah seseorang. Kadang terdengar gaduh, kadang terdengar sunyi. Suara-suara tersebut berpadu dengan desau daun pisang milik Cik Uni yang tertiup angin.

“Sedang tapen beras, Cik[2]?”

“Eh, Darsih. Sejak kapan kau berdiri di situ?” Cik Uni agak kaget melihat Darsih berdiri tak jauh darinya.

“Ah, Cik saja yang tidak melihat kehadiranku. Banyak las[3]nya, Cik?”

“Tidak juga. Hanya saja ini kerikilnya banyak.”

"Mau aku bantuin, Cik?” Darsih menawarkan diri, tangannya terjulur hendak membantu. Cik Uni buru-buru menarik tampahnya. Darsih merasa bersalah. “Tak usah repot-repot, Sih. Kau urus sajalah kambing-kambingmu itu.”

“Ahh, iya. Aku baru ingat kalau sedari tadi aku hendak mencari rumput, Cik. Kalau begitu pamit dulu ya, Cik.”

Darsih kemudian menyangklongkan karung rumputnya yang baru berisi separuh. Ia pun berbalik dan menembus rerimbunan pohon mahoni. Telapak kakinya yang telanjang menimbulkan suara kemresek daun-daun mahoni kering. Ia hilang dibalik rerimbunan mahoni sore itu.

Darsih berhenti di sebidang tanah yang berumput hijau. Rumput itu tidak benar-benar hijau. Di atasnya terdapat beberapa helai daun mahoni kering. Ia mendongak ke atas dan lagi-lagi melihat beberapa biji mahoni yang sedang jatuh. Ia menyibakkan daun-daun kering dan mulai menyabit rumput-rumput itu. Satu per satu batang rumput terpotong dan masuk ke dalam karungnya.

Selama menyabit, Darsih diam. Dalam kediaman dirinya ada suara yang begitu bising. Suara-suara yang tak pernah berhenti di mana pun ia berada. Bahkan di tempat sunyi sekalipun, suara-suara itu selalu mengikuti. Tak peduli ketika Darsih sedang menonton lomba panjat pinang tujuh belasan, menonton ketoprak, ikut bersorak dari kejauhan, atau pun ketika ia menjelang tidur dan hanya ditemani lampu setolop. Suara-suara itu tak pernah beranjak pergi.

“Hhhgggfff....” Darsih menghela napas. Percuma ia mencoba mengusir suara bising itu. Suara-suara itu ada dalam pikirannya sendiri. Terus menerus berkicau dan berkicau layaknya burung yang berdendang di balik rimbunnya ranting mahoni. Hanya saja, suara kicauan burung itu amat mendamaikan, sedangkan suara dalam pikirannya begitu mengganggu ketenangan. Darsih mencoba mengabaikan dengan fokus memotong rumput, memenuhi karungnya sesegera mungkin sebelum senja datang.

“Srek..srek...srek...” beberapa rumput kembali berakhir di sabit Darsih. Ia mencoba mengalihkan suara bising dalam pikirannya. Dengan keras. Sekuat tenaga. Dan.... cruk. Jemarinya malah terkena sedikit sabitan. Ia memekik pelan, lalu dengan sigap menyobek kain selendangnya untuk membalut lukanya. Darah masih terus menetes meskipun sudah dibalut kain. Ia pun memutuskan untuk pulang. Suara bising dan rasa sakit di jarinya tak mendukungnya untuk menghabisi beberapa rumput lagi.

"Sih? Kenapa dengan tanganmu?” seseorang menegurnya langsung. Darsih sedikit kelabakan setelah tahu milik siapa suara itu.

“Ah, De Pardi. Ku kura siapa. Ini, barusan tersabit sedikit,” jawab Darsih sedikit gugup.

“Owalah... kok ya ada-ada saja resiko orang cari rumput. Masih menetes darahnya?” De Pardi segera mendekati Darsih. Darsih bergidik, kemudian mencoba tenang kembali. Dengan cekatan De Pardi mencari daun petai cina muda, menguyahnya sebentar. “Buka dulu kainnya,” pintanya. Darsih membuka lilitan kain, lukanya mengeluarkan darah segar yang masih berbau besi berkarat.

Pelan-pelan, De Pardi menaruh kunyahan daun petai cina muda ke luka Darsih. Liur? Tentu saja kunyahan itu penuh liur De Pardi. Liur itu sedikit berbau tembakau. Mungkin De Pardi barusan merokok. “Sudah, sekarang kau boleh menutupnya. Nanti selepas mandi, kau obati dengan bedin ya.”

“Betadine, De.” Darsih mencoba membenarkan sembari melilitkan kembali kainnya.

“Nah, itu maksudku. Sudah, lebih baik kau pulang saja. Sudah hampir malam juga.”

“Terima kasih, De.”

“Sama-sama.”

De Pardi kemudian beranjak dengan arah yang berlawanan. De Pardi adalah tetangga dekat Darsih. Dulu ia adalah teman akrab ibunya ketika mencari rumput. Ketika mencari rumput, hiburan mereka hanyalah saling mengobrol dan bersahut-sahutan. Bagi mereka, hal itu sudah merupakan hiburan penuh kemewahan yang dimiliki hari-hari pencari rumput, hari-hari kaum petani.

Darsih segera beranjak. Ia menggendong rumputnya di pinggang dengan kain selendang. Sabitnya ia bawa dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya memegangi selendang di dada agar rumput tidak mudah lepas. Darsih kembali menembus rimbunan mahoni. Pulang ke rumah.

***

"Mak...Mak... Mak di mana?” suara seorang anak kecil memanggil-manggil ibunya. Dia membawa sebuah mainan congklak di tangan kanan dan seplastik biji srikaya. “Mak, aku pamit dulu ke rumah Sandi ya. Aku mau main congklak.”

“Di sini, Yun.  Iya. Hati-hati kalau main. Jangan pulang sampai magrib ya.”

“Siap, Mak. Assalamu’alaikum...”

Derap langkah Ayun semakin cepat. Pagi itu ia amat bersemangat. Ia menuruni tangga dan berlari menuju rumah Sandi. Congklak yang ia bawa hampir saja terjatuh saking semangatnya ia berlari.

Darsih sendiri sedang mencuci pakaian. Dan ibunya memilah sayuran.

Tiba-tiba.....

Terdengar suara gemuruh. Gemuruh yang begitu hebat hingga Darsih tak menyadari suara apa barusan. Dia tak sempat tahu. Matanya tertutup dan ia merasakan perih di pipinya. Amat sangat. Lalu sayup-sayup ia mendengar ibunya menjerit. Sekali. Lalu suara jeritan hilang bersamaan dengan kesadarannya yang terbang entah kemana.

Kelopak matanya terbuka. Setelah mengerjap-ngerjap, ia melihat orang-orang dengan luka-luka di kanan kiri. Mereka semua merintih, mengaduh.

Dikumpulkannya tenaga, lalu ia mencoba duduk.

“Dik, siapa namamu?” seseorang dengan baju tim SAR berjongkok di hadapannya.

"Darsih,” ucapnya lemah. Dirasakannya perih di pipi kanannya. Dia hampir saja menyentuhnya kalau saja tim SAR itu tidak melarangnya.

“Jangan disentuh. Luka lecetmu parah.”

"Maksudnya? Boleh aku meminta cermin?”

 "Oh, baiklah. Tunggu sebentar.” Ia berdiri dan beranjak. Lalu kembali membawa pecahan kaca ukuran telapak tangan. “Maaf, aku hanya menemukan ini. Setidaknya membantu untuk bercermin.”

Darsih mencoba menguatkan diri untuk kondisi terburuk wajahnya. Ia menghela napas pelan dan menghadapkan pecahan kaca itu ke wajahnya. Di sana, ia melihat seseorang dengan wajah sendu dan pipi terkelupas yang amat sangat menakutkan. Bahkan tulang pipinya ada yang kelihatan.

"Tidaaaakkkk...!!!!!” Darsih histeris. Kaca itu dilemparkannya jauh-jauh. “Siapa monster itu? Siapa dia!?” Darsih histeris sejadi-jadinya.
  
“Darsih, kau yang tabah ya. Ibu dan adikmu sudah pamit lebih dulu.” De Pardi kemudian datang dan menyampaikan kabar yang rasanya seperti mimpi buruk bagi Darsih.

“Tidak! Ini pasti mimpi. Kumohon bangunkan aku! Bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Kumohon!” Darsih meronta-ronta kepada De Pardi. Meronta pula pada tim SAR. Lalu meronta pada siapapun. Dia kalut. Takut. Kacau. Gila.

“Tolong, Pak. Tolong, Buk. Tolonggg...! Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Tolong, tolong bangunkan aku!” Darsih kembali menjerit hingga suaranya melemah. Napasnya pun tinggal satu-satu. Ia berlari menuju ke ujung desa.

Darsih bersandar di bawah pohon asem. Tubuhnya lunglai, kakinya tak sanggup berjalan. Kenyataan ini terlalu pahit baginya. Ia tak sanggup menanggungnya. Pohon asem tempatnya bersandar pun tak bergerak sedikitpun, seakan tahu betapa hati seseorang yang sedang bersandar di bawahnya sedang kacau. Butuh ketenangan. Lalu sebuah asem yang sudah tua jatuh. Pohon itu seakan memberinya pesan bahwa segalanya akan jatuh pada masanya, segalanya akan usai pada akhirnya.

Andai waktu itu Darsih tidak kehilangan kewarasannya, ia pasti sudah menjerit. Ia terduduk di bawah pohon asem tepat di tengah-tengah kuburan. Dan senja sudah melambaikan tangan beberapa waktu yang lalu.

Tiga hari kemudian, perkampungan penuh dengan aroma amis darah kering. Darah-darah kering itu memenuhi reruntuhan bangunan. Menyeruak ke hidung melalui celah puing-puing. Lihatlah di ujung jalan sana, gedung lantai 21 itu runtuh. Rata dengan tanah. Padahal dulu, di suatu masa, gedung itu mencengkeram. Bukan hanya mencengkeram tanah, namun juga mencengkeram hak-hak rakyat kecil. Ketahuilah, di balik kegagahannya menyimpan ketegaan yang amat sangat.

Sebuah keranda melewati kuburan. Lalu bau melati beradu dengan amis darah. Keranda itu ialah ...

“Kau harus tabah, Sih. Tabahkan dirimu, Nak,” lipur salah seorang tetangga Darsih.  Ia sendiri mencengkeram tanah pemakaman yang hendak memisahkannya dengan jasad ibu dan adiknya. Darsih belum rela ditinggal dua orang yang amat sangat berarti dan dicintainya selama ini.

"Ibu.... Ibu.... Ibu... Aku tak sanggup, Bu. Jangan pergi, Bu. Ku mohon Tuhan kembalikan ibuku. Kembalikan dia, Tuhan... Huuu....huu... Hiks...hiks...”
  
Ibunya dimakamkan bersebelahan dengan Ayun. Keduanya pergi dengan damai, sedang Darsih amat terpukul. Ia begitu iri keduanya bisa bersama, sedang ia sendirian di dunia yang berbeda. Ingin rasanya ia ikut ke dalam, merelakan diri dikubur hidup-hidup. Baginya hal itu jauh lebih membahagiakan asal dapat bersama-sama dengan mereka.

“Nak, barangkali kau masih mengemban tugas dari-Nya, sehingga Tuhan belum berkenan memanggilmu. Ikhlaslah, Nak. Cobalah untuk ikhlas agar ibu dan adikmu dapat pergi dengan tenang.”

“Tidak.., Aku tak sanggup,” rintihnya lirih. Ia mengaku kalah pada kuasa Tuhan. Tanah merah itu sudah sepenuhnya menutupi jasad ibunya dan Ayun, menenangkan mereka.

Hingga adzan magrib berkumandang, Darsih masih tertunduk di pemakaman. Rupanya ia enggan pulang. Lagipula kepada siapa ia harus pulang. Ayahnya tak pernah kembali semenjak ia selingkuh lagi. Entah sudah berapa wanita yang ditidurinya. Ibunya berjuang sendiri karena si ayah tak pernah pulang. Dan ia sering melihat betapa air mata selalu menjadi teman setia ibunya. Di dalam keseharian, di setiap penghujung malam.

“Sih, ayo pulang. Ini sudah larut malam.”

De Pardi memanggil. Karena ia tak jua beranjak, De Pardi pun menyusulnya. Diulurkannya kedua tangannya dan diajaknya ia berdiri. De Pardi menuntunnya berjalan pelan-pelan. Ia begitu lemah karena belum makan sedari pagi. Namun ia mencoba kuat, setidaknya sampai di rumah.

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah. “Sih, mulai sekarang tak perlu sungkan meminta bantuan padaku. Aku dan ibumu adalah teman yang sangat akrab. Ibumu juga sering menceritakan perihal dirimu jika kami sedang mencari rumput bersama-sama. Kau tahu, ibumu begitu bersemangat jika menceritakan dirimu. Dia bangga memiliki putri sepertimu.”

Darsih hanya diam. Tak berselera menanggapi. Namun dalam hati ia mengucapkan terima kasih atas niat De Pardi yang hendak memberi pertolongan.

"Sih, kau mendengarku? Ahh, aku tahu hatimu sedang bersedih. Tapi jangan khawatir, aku akan selalu menolongmu. Meskipun kau sudah tak memiliki keluarga, anggap saja aku adalah keluarga barumu.”

Akhirnya mereka sampai. “De, terima kasih atas niat membantu yang engkau tawarkan. Aku masuk dulu.”

“Tentu, tentu saja kau harus masuk. Ini sudah larut malam. Jika ada apa-apa, datang saja. Aku pamit.” De Pardi begitu baik. Darsih pun masuk ke dalam bersamaan dengan langkah De Pardi yang semakin jauh dan menghilang di balik pekatnya malam.

Semenjak kedua orang yang disayanginya pergi, De Pardi sering menyambangi rumah Darsih. Ia kadang sekadar bertandang, kadang membawa pula jajanan ringan, atau sekadar ubi kukus. Semua itu diberikan kepadanya. Ia tahu Darsih masih suka mengurung diri di rumah. Masih terpukul.

“Sih, kau di dalam? Aku membawakan singkong rebus untukmu. Bukalah pintunya.”

Suara pintu terbuka. Wajah Darsih menyembul di balik pintu. “Masuklah, De. Terima kasih sudah membawakan aku makanan.”

“Ahh, ini tak seberapa. Cuma sekadar singkong. Hehehe....”

Darsih menyuguhkan air putih, setidaknya itu yang masih ia miliki hingga sekarang. “Kau tak punya beras? Apa mau kuambilkan?”

"Tidak perlu, De. Besok rencananya aku hendak ke ladang. Agar ada yang bisa kukerjakan.”

“Sebaiknya memang begitu. Agar kau tak larut dalam kesedihan panjang.” De Pardi mengambil air putih, meminumnya. “Ahh, segar sekali. Kalau begitu aku pulang dulu ya Sih, sudah siang.”

Sudah sekitar seminggu lebih De Pardi menyambangi rumah Darsih setiap hari. Apa saja yang ia miliki dibawakannya sebagian pada Darsih. Ia menganggap Darsih sudah seperti putrinya sendiri.

Kebaikan De Pardi rupanya membawa masalah baru bagi Darsih. Orang-orang kampung menganggapnya wanita jalang. Desas-desus mengatakan bahwa apa yang menimpa dirinya dan keluarganya adalah akibat dari ulah ayahnya. Ia sebatang kara dan menderita adalah buah karma dari ayahnya yang suka main wanita dan membuat warga tidak nyaman.

“Kemarin, aku melihatnya sedang bermesraan dengan Pardi. Dasar dia wanita tak tahu malu. Sudah sering dibawakan makanan malah ngerayu. Apa tidak kasihan dengan Cik Imah, istrinya.”

“Ahh, barangkali Pardi membawakan makanan atas permintaannya.”

“Ohh, benarkah begitu? Dasar tak tahu malu.”

Sore itu ibu-ibu sedang berkumpul. Seperti biasa jika tidak ada kerjaan yang berarti. Awalnya bertiga, lalu bertambah menjadi empat, lima, hingga enam orang. Entah kenapa, kebiasaan menggunjing tetangga menjadi hal yang sangat disukai. Ada yang berbicara sambil memotong sayuran, ada pula yang sembari petan[4]. Rasanya asyik saja jika sudah membicarakan aib tetangga.

“Eh, Buk. Jangan dikira Darsih seperti itu. Hal itu belum tentu benar.” Salah satu ibu berkomentar dengan sedikit benar. Tapi ditanggapi dengan komentar semacam ini, “Eleh...eleh.... Emang situ tahu Darsih yang sesungguhnya seperti apa? Yang namanya buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya,”  yang menunjukkan bahwa ia rupanya salah bergabung dengan ibu-ibu gosip sore itu.

"Iya, Yem. Kau benar. Tapi buah gayam itu kalau jatuh nggak selalu di dekat pohonnya kok,” sahutnya tak mau kalah.

“Ya iyalah, kan dibawa kalong,” sahut ibu yang lain. Dan muncul gelak tawa di antara mereka.

“Eh, lagipula sekarang ia juga lebih sering mengurung diri di rumah. Paling dia malu.”

“Sore, ibu-ibu....”

“Soree..,” jawab ibu-ibu serentak. Salah satu ibu yang sedang dipetani  bertanya, “Eh, Minah...  Dari mana?”

“Ini, Buk, barusan beli telur di warung. Mari, Buk... Saya permisi...”

“Oh, iya iya... Mari...”

Gosip-gosip itu makin sering terdengar. Bahkan beberapa tetangga yang kebetulan berpapasan dengannya enggan bertegur sapa. Dulu, sebelum gosip itu tersebar, mereka masih sering bertanya, bertukar senyum, atau sekedar menyapa. Rupanya kabar burung itu begitu kuat dan menyiksa batin Darsih. Hingga suatu kali pintu rumah Darsih diketuk malam-malam, menjelang pukul sepuluh.

“Darsih...., minta tolong buka pintunya. Sih...? Ini De Pardi.”

"Iya De, kenapa malam-malam begini ke rumah Darsih?”

“Bukain dulu pintunya, nanti aku jelaskan. Ini gawat sekali, Sih.”

“Ehh...? Iya, De. Tunggu sebentar kalau begitu.”

Darsih segera membuka pintu rumahnya. Ia melihat De Pardi yang begitu kelelahan dan ngos-ngosan. Keringatnya mengalir deras dari dahi. “Boleh aku masuk? Emm... dan minta air minum.”

 "Ohh, silakan, De. Silakan masuk.” Darsih kemudian menyilakan De Pardi dan segera mengambilkan air minum. “Kalau boleh tahu, apa yang terjadi gerangan, De? Kok sampai seperti itu?”

 “Istriku sedang marah denganku. Aku dituduhnya selingkuh dan waktu pulang tadi, aku dipukulinya. Aku pun tak diperbolehkan tidur di rumah. Padahal kau tahu sendiri hujan sepertinya mau turun.”

"Ohh....,” Darsih agak syok mendengarnya. Ia tak menduga ada saja orang yang jahat pada De Pardi. “De Pardi dikabarkan selingkuh? Dengan siapa?”

De Pardi menelan ludah. “Tak tahukah kau kabar yang sedang beredar, Sih?”

Darsih mulai murung. “Ohh, itu. Tentu saja aku tahu. Hanya saja aku tidak mau menanggapi mereka.”

“Tapi, Sih. Nyatanya mereka tak mau berhenti menggunjing kita meskipun kita tidak melakukannya. Apa kau tak sakit hati?”

“De, mungkin benar kalau ini adalah karma dari perbuatan ayahku. Mungkin memang aku yang harus menanggungnya.”

“Mana bisa begitu? Waktu kecil tidak pernah dirawat, saat dewasa harus menanggung dosanya. Hidup tidak semenderita itu, Sih.”

“Lalu aku harus bagaimana?” sesuatu yang hangat mengalir dari pelupuk matanya.

“Ahhh..... Kita tidak melakukan dituduh melakukan,” gumam De Pardi. “ Aku ada ide, bagaimana kalau kita lakukan saja?”

“Maksudnya? Lakukan apa De?”

Darsih yang memang gadis polos tak tahu maksud tersembunyi De Pardi. De Pardi pun mendekat, semakin dekat dengan tubuh Darsih. Ia kemudian memegang tangan Darsih. Sontak Darsih kaget. Sepolos-polosnya ia, ia tetap tahu etika dan batasan pergaulan laki-laki perempuan.

Darsih kemudian menghindar. De Pardi semakin gencar, mengejar. Darsih meronta sekuat tenaga. De Pardi semakin beringas dan bertenaga. Darsih menjerit ketakutan dan hampir menyerah. De Pardi semakin ingin dan bergairah. Hingga ....

“BUAKKKK....!!!!”

De Pardi jatuh di hadapan Darsih. Jidatnya berdarah dan di dekatnya terdapat muntu yang tergeletak. Rupanya Darsih telah melemparnya dengan muntu, seperti yang dikomandokan instingnya untuk mempertahankan diri. Ia segera bergegas dan pergi dari rumah selagi De Pardi masih pingsan.

Semenjak kejadian malam itu, ia kini tidak lagi seakrab dulu dengan De Pardi. Bahkan ia sekarang takut jika bertemu De Pardi. Ia tak peduli jika saat itu De Pardi sengaja atau khilaf, pokoknya sekarang ia enggan berinteraksi dengannya.

Rupanya kejadian memalukan itu tersebar pula sampai ke telinga masyarakat. Ia pun dituduh berzina, padahal ia tak melakukan apa-apa. Darsih terguncang kembali. Padahal baru sebulan kemarin keluarganya meninggalkannya. Baru sebulan kemarin pula tanah merah itu menutupi jasad ibu dan adiknya. Baginya, semua itu bahkan serasa seperti kemarin.

Namun, orang-orang seakan tak peduli. Mereka tak mau tahu soal itu. Mereka tak tahu bagaimana perasannya. Asal bukan diri mereka, kenapa harus ikut peduli. Mereka adalah potret masyarakat yang masa bodoh dan suka main sendiri, suka nuduh tanpa ada yang mau menyelidiki. Memang, suatu ketidakbenaran yang terorganisir mampu mengalahkan satu kebenaran, membuatnya kocar-kacir.

Darsih telah dikucilkan oleh sebagian besar masyarakat. Keberadaannya ada namun dianggap tiada, sudah seperti gula dalam kopi. Jika kopi pahit, gula yang disalahkan dan dicari-cari, jika manis maka kopi yang dipuji. Namun, baginya hidup memang keras. Akan ada masanya orang-orang seperti itu lelah sendiri. Ia tetap melakukan kebaikan-kebaikan yang bisa ia lakukan untuk tetangga dan masyarakat di sekitarnya.

Ia pun mengingat akan sikap Cik Uni kepadanya barusan. Cik Uni yang enggan dibantunya. Ia sedikit sakit hati, tapi mencoba untuk tidak terus-terusan memikirkannya. Sehelai daun mahoni jatuh di atas sebidang rumput yang hendak ia sabit. Angin sore yang bertiup menjatuhkan lagi beberapa daun dan biji yang sudah habis masanya. Ia mendongak. Begitu indahnya biji-biji mahoni yang jatuh berputar-putar. Ditangkapnya satu yang dekat dengannya. Darsih bergumam pelan..

“Jikalau aku harus jatuh, aku ingin jatuh seperti biji mahoni.”

Darsih tersenyum kecut.

TAMAT




[1] Membersihkan beras yang sudah digiling sebelum di masak. Tujuannya untuk menghilangkan biji yang masih ada kulitnya dan beberapa kerikil. Cara ini biasanya dilakukan oleh orang-orang desa.
[2] Panggilan untuk Bulik
[3] Biji padi di tengah-tengah beras hasil gilingan.
[4] Mencari kutu rambut

Followers