Wednesday 2 March 2022

PENGALAMAN DITINGGAL IBU BERPULANG



Well, kenalin nama aku Aisyah. Usia 25 tahun, berjenis kelamin perempuan sejak lahir sampai sekarang. Yeah aku tahu kalian tidak perlu identitasku tapi apa salahnya aku memperkenalkan diri. Ini kan blogku! Hehe, canda bestie..

Emmm, di sini aku ingin sekedar berbagi pengalaman bagaimana rasanya ditinggal orang tua, terutama ibu.

Kalo ada yang mengatakan ibu adalah malaikat tanpa sayap, aku acungin 4 jempol (2 tangan 2 kaki). 

Ibuku bener bener seorang ibu yang sangat sangat sangat mengutamakan keluarga daripada dirinya. Seringkali beliau tersenyum walau sebenernya sangat lelah. Tetap sabar menghadapi setiap masalah. Gigih, percaya diri walau hanya tamatan SMP. Dan punya motivasi tinggi. Dih, kan jadi nangis akunya keinget. Tapi gapapa bestie, penulisan ini harus selesai. Kalo nggak selesai, ya bikin aja part II.

Sejak kepergiannya pada 17 Juni 2021 kemarin karena santernya wabah corona, varian delta, kini aku tinggal bersama ayah, adik perempuan (17) dan adik laki-laki (10). Saat menulis ini pun sebenarnya sedang dalam kondisi tidak enak badan karena sedang gencar-gencarnya omicron (corona varian baru setelah delta).

 Kau tahu bestie, bagaimana rasanya tidak punya ibu sedang dirimu adalah anak pertama? Of course kamu adalah pengganti ibu bagi adik adikmu. Yeah, bersyukurnya aku udah punya tunangan yang siap support meskipun aku kadang suka stress sendiri karena rutinitas.

Rutinitas yang tentu saja bagi perempuan usia 25 tahun seperti aku itu hal yang lumrah. Toh mereka yang sudah menikah dan ikut mertua juga tidak bisa sering-sering mendatangi ibu mereka. Tapi tetep beda besti, mereka hanya jauh dari ibu, bukan ditinggal ibu untuk selama lamanya.

Kadang aku masih ingat dengan jelas bagaimana beliau meninggalkanku waktu kutunggui di ruang isolasi rumah sakit, pukul 3 dini hari. Inginku mendemo pada para sutradara televisi yang menampilkan adegan keajaiban dimana pasien yang mati lantas hidup kembali. Hey, kenapa itu tidak terjadi pada ibuku??

Bagaikan langit runtuh, aku ditinggal untuk selama-lamanya. Tabah sih aku waktu itu, seminggu kemudian bahkan hingga sekarang kalo teringat masih suka nangis sendiri.

Bukan aku nggak ikhlas ya, kangen sih sebenernya. Biasanya kalo ada masalah asal nemplok ke beliau rasanya ademmmmmmm bangett. Kaya loss semua beban itu hilang seketika. Dan beliau adalah healing terbaik yang pernah kumiliki. Terima kasih Ya Tuhan setidaknya aku bisa membersamainya hingga usia 24 tahun.

Tapi, yang selalu ku tanamkan dalam pikiranku, biar bagaimanapun, berat atau tidak berat, mampu atau tidak mampu, saat ini atau esok yang ku tahu hidup harus tetap berjalan dengan positif. Mungkin aku sudah kehilangan sosok ibu, tapi senyumnya nasihatnya semua kenangannya masih tersimpan di kalbu.

Selamat malam ibu, semoga engkau damai di surgaNya.

Dan buat kalian yang masih punya ibu, meski mereka bawel, cerewet, suka komen, suka ngomel, norak, menjengkelkan, sebenarnya mereka sayang pada kalian. Maka sayangilah sebelum Tuhan menyayanginya dan mengambilnya darimu.

DIA YANG BERNAMA WAKTU

 

Sumber : Bukalapak.com

Haruskah aku berkejar-kejaran dengan waktu? Yang rasanya begitu cepat berlalu. Tak terasa tahun demi tahun kulalui hingga usiaku sudah seperempat abad. Bulan demi bulan berganti, hari demi hari terlewati.

Stagnan. Aku merasa stagnan. Tidak ada perubahan pribadi yang begitu dahsyat. Apa yang salah? Apakah kondisiku yang di level zona nyaman? Ataukah memang dasarnya aku pemalas untuk upgrade ilmu, pengetahuan, relasi, dan sebagainya yang mendorong kemajuan. Tunggu dulu, apakah kemajuan selalu dikaitkan dengan sukses dan stagnan berarti tidak sukses? Kalo iya, maka orang yang sudah berlomba lomba mencapai start lebih dulu adalah yang sukses? Lantas yang terakhir yang sedang sedang saja adalah tidak sukses? Apakah yang sedang-sedang saja, yang cenderung stangnan itu tidak berusaha?

Salah besar! Tentu saja yang stagnan juga berusaha, mungkin dia hanya belum menemukan formula yang tepat. Atau balik lagi, semua ini karena waktu. Timingnya memang begitu. Seseorang timingnya memang begitu : kuliah 5 tahun, padahal dia juga sudah mengusahakan cepat, ada yang telat jodohnya, ada yang pacaran lama ternyata tunangan sama yang lain.

Well, apakah timing selalu berbanding lurus dengan usaha? Nyatanya banyak yang berusaha keras tapi tetep saja belum mencapai target tujuan dalam kurun waktu yang ditargetkan. Banyak juga yang santai santai tapi diberikan keinginannya pas waktunya. Apakah waktu = takdir? Atau bukan begitu cara kerjanya?

Dih pusing aku!!

Katanya waktu yang akan mengubah, ya kalo seseorang itu berusaha. Kalo nggak? Apakah waktu tetep akan menyembuhkan luka lama jika dia memang ingin menyimpan luka itu? Karena itu adalah satu satunya kenangan yang dimiliki? Walau pahit. 

Atau waktu yang akan mengubah hanya berlaku bagi mereka yang berusaha? (Tidak termasuk benda yang lapuk karena dimankan usia). Mereka yang selalu berusaha walau hasilnya masih itu itu saja. Mereka yang tidak pantang menyerah, tahan banting, fighter meskipun dedel duwel (hancur).

 Apa tidak capek? Apa tidak ada pikiran untuk menyerah lalu mengakhiri? Tentu saja ada pasti! Namanya juga manusia, selalu berubah ubah, sesuai waktu.

Dia yang bernama waktu, rupanya begitu dashyat pengaruhnya. Tak kentara tapi efeknya luar biasa. Sering diabaikan manusia, ternyata manusia yang diabaikan waktu. Tampak lamban padahal gerskannya begitu cepat, ritmis, tak kenal lelah, terus menerus konsisten sehingga dalam ketenangan ritmisnya,  waktu mampu merubah segalanya.

Kesimpulannya konsisten, seperti waktu! 

Followers