Thursday 25 January 2018

Nyanyian Petani

Another rice paddy in Vietnam. An iconic symbol that comes to mind when people hear about Vietnam.
Petani sumber pinterest.com


            “Lir ilir....lir ilir tandure wus sumilir
            Tak ijo royo-royo
            Tak sengguh temanten anyar..”

            Lagu Ilir-Ilir itu bukan sekedar lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak di sekolah, dulu. Lebih dari itu, memiliki makna yang dalam bagi Buke[1], seorang petani keturunan. Sejak kecil, Buke sudah berkawan karib dengan sawah. Buke tumbuh dalam asuhan sawah dan kini beliau ganti mengasuhnya. Dalam asuhannya, sawah kami telah melahirkan jutaan bulir padi.
            “Nduk..” panggilnya kala itu, “jika nanti kau jadi orang penting, pejabat, atau pemegang kuasa sekalipun, jangan pernah lupakan petani,” ingatnya kemudian.
            Aku tidak segera menanggapi, masih mencerna maksudnya sembari mengikutinya jalan di pematang.
            “Kami hanya orang kecil, Nduk. Orang yang kadang dipandang rendah profesinya. Banyak yang tidak mau mengakui jerih payah kami. Banyak pula yang tidak mau menjadi seperti kami. Padahal, nasi yang mereka makan itu dari anak-anak kami, yang kami besarkan setulus hati.”
            Aku masih setia mendengarkan. Biarlah Buke menumpahkan segala apa yang dirasakan. Aku tahu beliau ingin curhat padaku. Lalu kami berhenti sebentar. Buke melihat beberapa batang padi yang mulai “meteng” –istilah di mana padi hendak berbunga.
            “Alhamdulillah, padinya hendak berbunga, wis do meteng, Nduk. Betapa Buke ingat perjuangan dari menyemai benih hingga sejauh ini. Meski Buke tahu ini belum purna, durung rampung.Buke mengusak-asik secara perlahan untuk memperhatikan padi-padi yang hendak berbunga itu. Lalu matanya menyapu ke seluruh sawah kami.
            “Kau pasti tidak tahu, Nduk. Lha wong kamu jarang pulang, kuliah di Semarang. Dulu, waktu sebelum tandur, hujan jarang turun. Sawah mengering kurang air. Akhirnya benih padi disebar. Giliran sudah disebar, malamnya hujan. Owalah tobat, kentir[2] semua benih padinya, Nduk. Belum sempat bertunas pula.”
            “Mau tak mau aku dan Pake[3] harus menyebar ulang. Setelah menyebar yang kedua kalinya, alhamdulillah tidak turun hujan lagi. Padi tumbuh dan Buke tinggal menyulam[4]. Baiknya, Pake kadang sepulang dari kerja mampir sebentar ke sawah, membantu. Ya tahu sendirilah, lha wong Buke tidak mocokke[5] petani penggarap, nggak ada uang. Lebih baik dikerjakan sendiri, sedikit-sedikit tak apalah.”
            Aku mulai terharu mendengar cerita Buke. Betapa susah proses menanam padi. Sedangkan di sana, di luar sana, aku masih sering menemukan orang membuang nasi seenaknya. Bahkan, aku sendiri pun kadang melakukannya. Tanpa merasa berdosa.
            “Buk, duduk di sana aja, yuh. Sepertinya agak nyaman sambil makan singkong goreng,” ajakku beristirahat sejenak sehabis membatunya menyulam padi.
            “Boleh, ayuh. Nanti kalau sudah capek kita pulang.”
            “Ahh, capek apanya? Ini juga baru jam sembilan,” kilahku menenangkan. Masa iya aku baru segini aja nyerah.
            Kami berdua pun menuju tempat yang aku maksud tadi. Di pinggir pematang yang agak lebar, kami duduk di atas jerami dan mulai menikmati bekal seadanya. Tak apa, justru yang seadanya ini malah enak rasanya.
            Beberapa tetangga sawah menegur kami yang sedang istirahat sejenak. Katanya, putrinya kok ya mau-maunya diajak ke sawah. Bagaimana kalau nanti hitam? Kasar tangannya? Toh dia tidak biasa. Begitu seloroh mereka, tentunya dengan bercanda. Dan dengan santai ibukku menanggapi,
            “Lho, justru karena itu biar dia tahu bagaimana kerasnya hidup. Toh orang tua begini untuk membiayai kuliahnya. Yaa, biar tidak nerima enaknya saja, Budhe,” jawab Buke santai yang langsung disetujui si penanya. Aku hanya tersenyum saja.
            “Jadi petani itu nggak gampang,” ucap Buke di sela-sela waktunya mengunyah, “rasanya aku nggak ikhlas kalau lihat orang seenaknya buang nasi. Nggak tahu apa, untuk jadi nasi perjuangannya begitu panjang.”
            “Memang benar sih, Buk. Orang kalau nggak lihat langsung mana tahu perjuangan para petani. Mereka mah punya banyak duit, bisa beli. Lha coba kalau yang dibeli nggak ada gara-gara petani mogok tani, mau makan apa mereka. Tiwul? Gaplek? Jagung? Mana doyan mereka,” tambahku, membelanya.
            “Lha ya. Mulai dari menyemai benih, menanamnya, merawat dan menyiangi, memanen, menjemur, menggilingkan, hingga ditanak jadi nasi butuh proses yang sangat panjang.”
            Aku kemudian teringat suatu memori dimana aku membantu menjemur padi. Ada suatu masa dimana cuaca panas sekali, lalu mendadak mendung dan hujan. Mau tak mau kami harus balapan dengan hujan agar padi yang dijemur tidak basah.Terkadang kami pun main petak umpet dengan ayam-ayam peliharaan tetangga atau milik sendiri. Kalau kita di luar ayam sembunyi di balik semak, giliran kami masuk rumah, eh mereka datang menyerbu. Belum lagi hasil kais-kaisan ayam di padi yang dijemur kadang tercecer ke mana-mana, hal yang paling menyebalkan.
            “Yang penting itu punya sawah, aman. Kalau misal nanti krisis makanan pokok, setidaknya para petani masih bisa makan hasil panennya sendiri.”
            “Betul itu, Buk. Kalau kaya bagusnya investasi sawah aja ya. Hehehe...”
            “Memang, kalau dilihat kerjanya nggak kelihatan. Nggak daapt duit pula. Soalnya kerja petani ya begini ini, musiman dan tidak ketara. Paling sibuk kalau waktu menanam dan panen, selain itu ya cuma bolak-balik ke sawah. Memupuk, memastikan terhindar hama, menata saluran irigasi.”
            Di sela-sela santai kami yang bermandikan mentari pagi, aku melihat benda berkilat di pinggir pematang. Sontak aku kaget, rupanya itu seekor ular sawah.
            “Biarin aja,” kata Buke. “Kehadiran mereka sangat mulia di sini, membasmi para tikus. Seperti KPK yang membasmi politikus. Bedanya kalo KPK banyak caranya, kalau dia mah tinggal hap, tikus ditelannya sudah. Hehehe..”
            “Bener juga sih, Buk.” Aku ikut tertawa.




[1] Panggilan untuk Ibu
[2] Terseret air hujan
[3] Panggilan untuk bapak
[4] Menanam padi kembali dengan cara memisahkan rumpun yang rapat ke tanah yang masih lengang/kosong di satu petak sawah. Tujuannya agar padi tumbuh rapi, tidakterlalu rapat/longgar.
[5] Menyuruh tani penggarap untuk melakukan kegiatannya.

Wednesday 24 January 2018

Sang Dewi Perdamaian

airmid goddess of healing | Airmid – Celtic Goddess of Healing and Herbal Lore
Dewi Perdamaian, sumber : pinterest.com

“Namaku Eirene. Aku lahir di tengah kerusuhan Nagasakti, kerusuhan yang telah menewaskan banyak korban. Ribuan. Ayah dan ibu adalah golongan minoritas yang menjadi koban. Mereka dan beberapa teman berlarian ke sana-kemari seperti lebah kehilangan rumah.”
***
Waktu itu adalah waktu kelahiranku. Kandungan ibuku baru menginjak 9 bulan lebih. Pukul 01.00 dini hari, perut ibu berkontraksi. Melilit-lilit dan menekan-nekan seperti ada sesuatu yang hendak keluar. Ayahku segera tanggap. Ia pergi ke dukun bayi. Meminta bantuan agar berkenan membantu persalinan.
Beruntung, Piyem, tidak seperti orang kebanyakan. Walau semua orang, entah karena sebab apa membenci kami, tapi tidak dengan Piyem. Malam itu juga bersama ayah, Piyem menuju rumah kami. Di dalamnya, ibu sudah menanti bersama seorang tetangga yang menemani.
Pukul 02.00 dini hari. Terdengar suara gaduh di luar. Orang-orang bersenjata. Memakai seragam seperti tentara nasional. Membawa tank. Menjarahi apa saja dan menembaki siapa saja yang mereka temui. Mereka adalah sepasukan yang bertugas menjaga keamaan. Namun, bukan keamaan yang mereka wujudkan. Mereka adalah STR, tentara nasional. Namun, oleh kami mereka memiliki julukan tersendiri. Serigala. Kehadirannya hanya memangsa tak lebih dari sekedar serigala kelaparan. Selalu menciptakan rasa takut dan was-was pada kami, golongan minoritas.
Di luar begitu gaduh. Untuk menghindari suara jeritan, mulut ibu disumpal dengan kain agar tidak berteriak saat mengejan. Peluh yang menetes dari dahi dan tenaga yang diloloskan harus tertampung dalam jerit yang tertahan. Ibu sudah mendekati bukaan lima dan sepasukan penjaga keamaanan belum juga sirna.
“Pelan-pelan, Buk. Nah, bagus. Ayo dorong terus...terus... Anda pasti bisa!”
Ibuku mengikuti anjuran Piyem. Walaupun ia mendera sakit yang luar biasa. Sedang ayahku sebentar-sebentar menilik ke luar, memastikan keadaan aman dari sepasukan keamanan.
“Tenangin dirimu, Mar. Sebaiknya kita semua berdoa, memohon keselamatan,” tukas Anzi, salah satu tetangga kami.
Ayahku mengikuti anjuran Anzi. Ia lekas mengatupkan tangan dan membaca doa. Lalu kami semua berdoa dalam hati masing-masing. Dinginnya malam memeluk doa-doa kami, menjadi saksi bisu atas ketegangan kami.
Di luar, Serigala masih terdengar gaduh. Sepertinya mereka sedang memberangus salah satu gedung pertokoan milik tetangga kami. Tiga hari sekali mereka selalu ke sini, katanya mengamankan, tapi nyatanya membuat kami kelabakan dan ketakutan.  Puing-puing gedung yang  ditemukan hangus keesokan hari menjadi saksi bisu pembakaran paksa yang dilakukan oleh mereka. Setiap peristiwa itu terjadi, paginya kami selalu ditinggalkan dalam keadaan batin mendendam.
Pernah suatu ketika salah satu dari kami melakukan perlawanan. Bukannya menang, justru penyiksaan dan kematian hina yang mereka peroleh. Mereka dengan tanpa belas kasihan menyiksa dan memukul bahkan menguliti hidup-hidup siapapun yang berani melawan. Baiklah, kami memang tidak seideologi dengan mereka. Namun atas nama kemanusiaan, tidakkah mereka memiliki rasa belas kasihan?
Pukul 03.17 dini hari. Aku telah lahir. Darah dan plasenta setia menemani diriku datang ke dunia. Aku menangis sekeras-kerasnya, membelah sunyinya malam. Semua orang tersenyum lega dan bahagia. Kehadiranku disambut dengan penuh sukacita. Ayahku bergegas menilik ke luar. Takut kalau-kalau tangisku didengar oleh Serigala. Tak ada apa pun. Keadaan sepi.
“Ku rasa, mereka semua sudah pergi. Puji Tuhan.” Ayahku mengatupkan kedua tangannya.
“Semoga tangis bayimu tidak terdengar oleh mereka,” doa Anzi.
“Semoga kita semua diberi keselamatan.”
Ibu yang saat itu bermandikan peluh sedang memelukku. Tak peduli walau aku masih merah, belum dibersihkan. Aku segera dituntunnya menetek, mencecap saripati kehidupan dari buahnya. Air matanya berlinang, dan dia berucap dalam haru kebahagiaan, “Kau sungguh cantik, putriku.”
Malam sunyi kala itu menjadi saksi kelahiranku. Juga dinding rumah menyambutku dengan kehangatannya, di balik dinginnya malam yang mencekam. Empat pasang mata terfokus padaku, hanya memandangiku, makhluk yang bersemayam dalam kasih sayang rahim selama ini. Kehadiranku membawa secercah kebahagiaan bagi orang tuaku yang selama ini diliputi kesedihan dan kesusahan.
Dan tiba-tiba...
“BRAAKKKK..!!!!!”
Pintu terdobrak. Patah setengah. Terbuka. Lalu sekumpulan orang berseragam, bersenjata api, dan bertopeng memasuki rumah kami. Mereka datang dengan dalih mendengar keributan di rumah kami. Betapa tidak masuk akalnya, tangis seorang bayi, tangis suatu kehidupan, mereka samakan dengan keributan. Betapa bodohnya mereka, namun mereka tak pernah memikirkan hal itu. Mereka adalah yang paling benar di negara ini. Siapapun yang menentang, maka pilihannya hanya satu. Mati.
Kami merasakan ketegangan dan ketakutan. Empat orang harus menghadapi setidaknya lima belas tentara dengan senjata api lengkap. Ayahku maju ke depan, memohon-mohon, bahkan rela mencium satu-persatu sepatu mereka. Dengan rasa jijik mereka memandang ayahku. Lima belas tentara mengacungkan senjata api pada ayahku tanpa sedikitpun merasa tersentuh.
“Ku mohon, selamatkanlah kami. Kami berjanji tidak akan membuat keributan lagi. Kami berjanji. Ku mohon, ku mohon, tuan-tuan. Saya rela melakukan apa pun asal tuan menyelamatkan kami.” Ayahku bersujud dan menyembah-nyembah, seperti budak yang memohon-mohon pada tuannya.
Ketegangan yang menyelimuti kami kini berubah menjadi rasa takut dan was-was. Kami berempat tak bisa berkutik, selain sama-sama bersujud seperti ayah. Sesungguhnya bukan tentara yang kami hadapi, tetapi maut. Ibu dengan sisa-sisa tenaga ikut turun dari ranjang sembari menggendongku, menyembah mereka. Saat itu aku masih merah dan terus menerus menangis, merasakan ketegangan dan ketakutan dalam hati ibu.
“Diam!!!” seru salah seorang tentara.
“Diam atau ku tembak bayimu itu!” seru salah seorang lagi.
Ibu dengan paksa dan perasaan tak tega membekap mulutku dengan putingnya. Walau aku tak mau menetek, ibu memaksaku. Akhirnya, aku pun diam menetek.
Lalu, sekonyong-konyong, seluruh pasukan itu keluar rumah tanpa meninggalkan sedikitpun goresan pada tubuh kami. Meski begitu, tentu mereka meninggalkan rasa takut mendalam. Rasa takut yang begitu amat sangat, sehingga tak akan pernah terlupakan dalam sejarah napas kami. Napas kami yang waktu itu naik turun seperti orang dikejar serigala. Ya, mereka memang serigala. Serigala yang merampas kehidupan kami, kaum minoritas.
Ayah mengira kami terbebas dari ancaman. Ketika kami masih duduk dengan perasaan sedikit lega, tiba-tiba kami merasakan hawa panas. Rasa panas itu tidak datang dari dendam kami seperti ketika mereka mengata-ngatai kami. Rasa panas itu berasal dari sekeliling kami. Lalu tiba-tiba kobaran api mengelilingi kami. Api itu menjilat-jilat semakin tinggi dan semakin mendekati tubuh kami. Ayah, Piyem, dan Anzi segera mencoba mencari air atau apapun yang bisa memadamkan api. Mereka bertiga kelabakan seperti anak-anak ayam yang dikejar musang. Air yang dicari ternyata sudah kering. Tak ada apa pun yang bisa digunakan untuk memadamkan api. Semuanya terbakar. Ayah, Piyem, dan Anzi pun terbakar ketika berusaha menyelamatkan kami. Mereka hangus tepat di depan ibu, setelah sebelumnya menjerit-jerit seperti cacing kepanasan di atas jalan beraspal siang hari.
Aku menangis sekeras-kerasnya. Rasa panas yang menyelimuti tubuhku membuatku kejang-kejang. Ibu tak ingin aku mati secepat itu. Aku baru saja lahir dengan selamat beberapa menit lalu. Tak mungkin ia membiarkan aku meregang nyawa saat ini juga. Maka, ibu dengan sekuat tenaga melindungiku dari rasa panas. Ia membungkusku dengan selembar kain yang digunakan untuk persalinan. Ibu, dengan sisa tenaganya mencoba mencari tempat berlindung agar kami tidak terbakar hidup-hidup. Rasa sakit, pedih, perih, kecewa, dendam, lemah, semua rasa itu ditelannya, dibulatkan menjadi satu tekad untuk menyelamatkan diri walau harapan hidup hanya seujung jari.
“Tuhan, ku mohon selamatkan aku dan putriku. Beri aku kekuatan dan keajaiban, Tuhan. Hukum mereka yang berbuat kejam pada kami yang tak tahu apa-apa ini,” rintih ibuku kala itu.
Ibu merangkak pelan, mencoba mencari celah yang belum terkena api. Di lihatnya suatu lubang di tembok rumah kami yang belum terbakar. Lubang seukuran orang jongkok itulah yang ibu pilih untuk menyelamatkan diri.
Di luar dugaan, para tentara itu masih berjaga di luar. Siap dengan senjata api yang mengarah pada rumah, menembaki kami kalau-kalau kami tidak mati di tempat. Salah satu tentara melihat ibuku keluar rumah dengan aku di gendongan.
“Hei, mau lari ke mana kau?!” seru salah orang dari mereka.
“Kejar dia! Tembak sekalian kalau perlu.”
Lima orang tentara memburu ibu yang lari terbirit-birit. Mereka sesekali menembaki. Ajaibnya tiada satu peluru pun yang mengenai tubuh kami berdua. Lalu di pertigaan jalan, ibuku memilih belok kiri, dan masuk ke kandang ternak milik salah seorang warga. Bersama para ternak itu, ibuku bersembunyi. Untuk sesaat kami aman dari kejaran.
“Kita aman, Nak. Puji Tuhan kita aman dari kejaran mereka. Maafkan ibu, Nak. Kau dilahirkan saat kondisi sedang kacau, saat perang berkecamuk. Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa memberikan kedamaian saat kelahiranmu. Tapi, ibu berjanji, ibu akan memberikan seluruh kasih sayang dan pengorbanan yang dapat ibu berikan. Seumur hidup ibu.”
“Kelak, semoga kamu mampu menjadi orang hebat yang melindungi kaum yang lemah. Kelak, semoga kamu menjadi orang yang menjaga perdamaian. Dan mulai sekarang, kamu ibu beri nama Eirene, sang dewi perdamaian yang terkenal dalam mitologi Yunani.”
***
Kisah di atas adalah sekelumit sejarah asal-usulku yang selalu diceritakan ibu saat aku kecil, ketika hendak tidur. Dan kini, di atas mimbar saat memimpin demo, semangatku kembali berkobar. Lantang aku mengucapkan slogan perjuangan, “Perdamaian harus ditegakkan!”


Followers