![]() |
Petani sumber pinterest.com |
“Lir
ilir....lir ilir tandure wus sumilir
Tak
ijo royo-royo
Tak
sengguh temanten anyar..”
Lagu
Ilir-Ilir itu bukan sekedar lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak di sekolah,
dulu. Lebih dari itu, memiliki makna yang dalam bagi Buke[1],
seorang petani keturunan. Sejak kecil, Buke sudah berkawan karib dengan
sawah. Buke tumbuh dalam asuhan sawah dan kini beliau ganti mengasuhnya.
Dalam asuhannya, sawah kami telah melahirkan jutaan bulir padi.
“Nduk..”
panggilnya kala itu, “jika nanti kau jadi orang penting, pejabat, atau pemegang
kuasa sekalipun, jangan pernah lupakan petani,” ingatnya kemudian.
Aku
tidak segera menanggapi, masih mencerna maksudnya sembari mengikutinya jalan di
pematang.
“Kami
hanya orang kecil, Nduk. Orang yang kadang dipandang rendah profesinya. Banyak
yang tidak mau mengakui jerih payah kami. Banyak pula yang tidak mau menjadi
seperti kami. Padahal, nasi yang mereka makan itu dari anak-anak kami, yang
kami besarkan setulus hati.”
Aku
masih setia mendengarkan. Biarlah Buke menumpahkan segala apa yang
dirasakan. Aku tahu beliau ingin curhat padaku. Lalu kami berhenti sebentar. Buke
melihat beberapa batang padi yang mulai “meteng” –istilah di mana padi hendak
berbunga.
“Alhamdulillah,
padinya hendak berbunga, wis do meteng, Nduk. Betapa Buke ingat
perjuangan dari menyemai benih hingga sejauh ini. Meski Buke tahu ini
belum purna, durung rampung.” Buke mengusak-asik secara perlahan
untuk memperhatikan padi-padi yang hendak berbunga itu. Lalu matanya menyapu ke
seluruh sawah kami.
“Kau
pasti tidak tahu, Nduk. Lha wong kamu jarang pulang, kuliah di Semarang.
Dulu, waktu sebelum tandur, hujan jarang turun. Sawah mengering kurang air. Akhirnya benih
padi disebar. Giliran sudah disebar, malamnya hujan. Owalah tobat, kentir[2]
semua benih padinya, Nduk. Belum sempat bertunas pula.”
“Mau
tak mau aku dan Pake[3]
harus menyebar ulang. Setelah menyebar yang kedua kalinya, alhamdulillah tidak
turun hujan lagi. Padi tumbuh dan Buke tinggal menyulam[4].
Baiknya, Pake kadang sepulang dari kerja mampir sebentar ke sawah,
membantu. Ya tahu sendirilah, lha wong Buke tidak mocokke[5]
petani penggarap, nggak ada uang. Lebih baik dikerjakan sendiri,
sedikit-sedikit tak apalah.”
Aku
mulai terharu mendengar cerita Buke. Betapa susah proses menanam padi.
Sedangkan di sana, di luar sana, aku masih sering menemukan orang membuang nasi
seenaknya. Bahkan, aku sendiri pun kadang melakukannya. Tanpa merasa berdosa.
“Buk,
duduk di sana aja, yuh. Sepertinya agak nyaman sambil makan singkong goreng,”
ajakku beristirahat sejenak sehabis membatunya menyulam padi.
“Boleh, ayuh. Nanti kalau sudah
capek kita pulang.”
“Ahh, capek apanya? Ini juga baru
jam sembilan,” kilahku menenangkan. Masa iya aku baru segini aja nyerah.
Kami berdua pun menuju tempat yang
aku maksud tadi. Di pinggir pematang yang agak lebar, kami duduk di atas jerami
dan mulai menikmati bekal seadanya. Tak apa, justru yang seadanya ini malah
enak rasanya.
Beberapa tetangga sawah menegur kami
yang sedang istirahat sejenak. Katanya, putrinya kok ya mau-maunya diajak ke
sawah. Bagaimana kalau nanti hitam? Kasar tangannya? Toh dia tidak biasa.
Begitu seloroh mereka, tentunya dengan bercanda. Dan dengan santai ibukku
menanggapi,
“Lho, justru karena itu biar dia
tahu bagaimana kerasnya hidup. Toh orang tua begini untuk membiayai kuliahnya.
Yaa, biar tidak nerima enaknya saja, Budhe,” jawab Buke santai yang
langsung disetujui si penanya. Aku hanya tersenyum saja.
“Jadi petani itu nggak gampang,”
ucap Buke di sela-sela waktunya mengunyah, “rasanya aku nggak ikhlas
kalau lihat orang seenaknya buang nasi. Nggak tahu apa, untuk jadi nasi
perjuangannya begitu panjang.”
“Memang benar sih, Buk. Orang kalau
nggak lihat langsung mana tahu perjuangan para petani. Mereka mah punya banyak
duit, bisa beli. Lha coba kalau yang dibeli nggak ada gara-gara petani mogok
tani, mau makan apa mereka. Tiwul? Gaplek? Jagung? Mana doyan mereka,”
tambahku, membelanya.
“Lha ya. Mulai dari menyemai benih,
menanamnya, merawat dan menyiangi, memanen, menjemur, menggilingkan, hingga
ditanak jadi nasi butuh proses yang sangat panjang.”
Aku kemudian teringat suatu memori
dimana aku membantu menjemur padi. Ada suatu masa dimana cuaca panas sekali,
lalu mendadak mendung dan hujan. Mau tak mau kami harus balapan dengan hujan
agar padi yang dijemur tidak basah.Terkadang kami pun main petak umpet dengan
ayam-ayam peliharaan tetangga atau milik sendiri. Kalau kita di luar ayam
sembunyi di balik semak, giliran kami masuk rumah, eh mereka datang menyerbu.
Belum lagi hasil kais-kaisan ayam di padi yang dijemur kadang tercecer ke
mana-mana, hal yang paling menyebalkan.
“Yang penting itu punya sawah, aman.
Kalau misal nanti krisis makanan pokok, setidaknya para petani masih bisa makan
hasil panennya sendiri.”
“Betul itu, Buk. Kalau kaya bagusnya
investasi sawah aja ya. Hehehe...”
“Memang, kalau dilihat kerjanya
nggak kelihatan. Nggak daapt duit pula. Soalnya kerja petani ya begini ini,
musiman dan tidak ketara. Paling sibuk kalau waktu menanam dan panen, selain
itu ya cuma bolak-balik ke sawah. Memupuk, memastikan terhindar hama, menata
saluran irigasi.”
Di sela-sela santai kami yang
bermandikan mentari pagi, aku melihat benda berkilat di pinggir pematang.
Sontak aku kaget, rupanya itu seekor ular sawah.
“Biarin aja,” kata Buke.
“Kehadiran mereka sangat mulia di sini, membasmi para tikus. Seperti KPK yang
membasmi politikus. Bedanya kalo KPK banyak caranya, kalau dia mah tinggal hap,
tikus ditelannya sudah. Hehehe..”
“Bener juga sih, Buk.” Aku ikut
tertawa.
[1] Panggilan untuk Ibu
[2] Terseret air hujan
[3] Panggilan untuk bapak
[4] Menanam padi kembali dengan cara
memisahkan rumpun yang rapat ke tanah yang masih lengang/kosong di satu petak
sawah. Tujuannya agar padi tumbuh rapi, tidakterlalu rapat/longgar.
[5] Menyuruh tani penggarap untuk
melakukan kegiatannya.
No comments:
Post a Comment
kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)