Monday 25 February 2019

Cerpen: Pojok Sawah Mbah Dirman


“Barangkali, bagi sebagian anak kota, sawah bukanlah hal yang akrab di telinga mereka. Jangankan akrab, pernah melihat secara langsung saja sudah suatu hal yang istimewa. Tidak dipungkiri anak-anak kota kini lebih senang berteman dengan gawai, benda tipis yang menyajikan banyak hal menyenangkan dan tak perlu repot mengoperasikannya selagi masih memiliki dua jempol.”

“Tapi, jika anak desa yang dulu selalu bermain di sawah kini seolah lupa akan tempat mainnya, sungguh aku tidak terima. Betapa gampangnya mereka menganggap ndeso orang-orang yang bekerja di sawah. Padahal, biaya mereka merantau ke kota itu ya dari mutiara sawah yang diolah sedemikan rupa oleh orang tua mereka. Mereka pikir mereka siapa sampai melupakan asal usulnya? Dasar tidak tahu diri. Kalau saja orang tua mereka tak mau dan tak mampu bekerja mati-matian di sawah, gigit jari mereka itu. Tak bisa kuliah, tak bisa merantau, tak bisa menggapai  apa yang seringkali mereka sebut ‘mimpi’.”

Sore itu, aku dan Endro sedang berjalan menyusuri galengan sawah. Celotehan Endro menjadi pemanis di sela-sela jalan-jalan kami. Di bawah kaki kami padi hijau melambai-lambai manja seperti gelombang lautan emas. Tangkai daunnya mengingatkanku pada masa saat dulu aku membantu emak memanen. Sekarang panen sudah tidak seramai dulu karena cukup dengan menggunakan mesin.


Kita berjalan menuju sebuah gubuk yang tak jauh dari rerimbunan pohon bambu. Ya, di desa kami bambu selalu ditanam di pinggiran desa sebagai pembatas antardesa. Biasanya letaknya berada di luar pemukiman penduduk dan berada di pinggiran sawah. Kami lantas duduk di gubuk tersebut. Endro meletakkan kompresan yang berupa tangki ke sisinya. Kami pun berdiam sejenak sembari memandangi matahari yang hampir tenggelam. Lembayung di ufuk barat sungguh indah dalam pandangan, membingkai sepucuk gunung Muria di sisi  barat laut.

Endro nyerocos kembali, “Aku tak tahu apa yang ada di pikiran anak-anak zaman sekarang. Kebanyakan dari mereka telah berubah menjadi angkuh, tak mau menjadi petani seperti aku. Bahkan ada yang merasa tidak level jika harus panas-panasan di sawah. Ya, aku memang tidak mampu seperti mereka yang pergi ke kota dan menelan bulir-bulir ilmu yang nikmat itu seperti dirimu.”

“Sudahlah, En. Cerocosanmu itu sudah kudengar berkali-kali setiap kali aku pulang kampung,” kataku meredam emosinya agar tidak terus menerus menumpahkan kekesalan.

“Lagipula, siapa lagi yang mau mendengarkan keluh kesahku. Cuma kau satu-satunya mahasiswi temanku yang masih mau menengok sawah.” Aku akui kebenaran ucapannya.

“Iya, tapi bukan berarti yang tidak menjenguk itu tidak mau terlibat dengan segala pengolahan sawah. Bisa jadi mereka memang tak punya sawah. Bisa jadi pula orang tua mereka yang melarang.”

“Ahhh, kata terakhirmu mengingatkanku pada pesan emakmu sebelum mengajakmu pergi.”

Emak memang melarangku ikut Endro mengompres padi. Katanya, tak perlu bekerja terlalu keras dan kasar seperti itu. Kalaupun bersikeras ikut, aku hanya boleh menonton saja.

“Hey, In. Kalau satu desa ini pemikirannya seperti emakmu, sudah bisa dipastikan petani tak punya generasi penerus di masa depan.”

“Siapa bilang? Sarjana pertanian banyak sekali. Berjubin!” kilahku.

“Iya sih, tapi kau bisa menghitung sendiri jumlah sarjana pertanian dengan yang bukan pertanian. Bahkan satu desa ini yang sarjana pertanian paling cuma satu dua, kebanyakan memilih jurusan lain yang enak kalau bekerja kelak.”

“Ahh, obrolanmu sudah setingkat mahasiswa saja, En.”

“Lahh, faktanya memang begitu kok. Aku kan cuma mengamati. Orang seperti aku ini kan banyak nganggurnya, jadi ya sering mengamati perilaku orang-orang sekitar. Hahaha...”

“Nganggur apanya, sehari-harimu kau habiskan di sawah katamu. Itu juga suatu pekerjaan meskipun tidak menghasilkan uang. Hasil itu kan tak selamanya berupa uang.”

“Tepat. Tapi di dunia materialistik seperti ini, sukses adalah punya banyak uang, In. Orang-orang tani seperti kami tetap dianggap miskin entah sampai kapan.” Meski cuma lulusan SMA, tapi Endro memiliki pengetahuan dan daya analisis yang tajam. Sayang sekali, temanku yang lulusan terbaik itu tidak diperkenankan kuliah karena harus merawat simbahnya yang renta dan menggantikannya bekerja. Sanak familinya jauh dan hidupnya juga pas-pasan, kedua orang tuanya telah meninggal. Padahal, di zaman sekarang ini, pasti tidak sulit bagi anak secerdas Endro untuk kuliah.

“Jangan salah, En. Kau kira makan nasi tanpa harus membeli beras itu bukan kaya? Orang-orang kota sana makannya juga beras, mereka harus beli terlebih dahulu. Sedangkan kau, petani, tak perlulah membeli.”

“Benar juga sih, tapi kebutuhan hidup kan tidak cuma makan saja, In. Kita perlu uang juga untuk memenuhi kebutuhan lain. Kalau jadi tani, punya uangnya kan cuma saat panen. Itu pun kalau panennya dijual, kalau tidak? Intinya harus punya kerjaan sambilan kan, In?”

“Relatif. Maksudnya tergantung En, dari sudut mana kamu memandang. Kalau kamu merasa sudah cukup segala kebutuhannmu dengan menjadi petani, ya tak perlu kerja sambilan. Tapi kalau kamu merasa kurang atau memang tuntutannya begitu, ya memang harus punya kerjaan sambilan.”

“Iya sih, aku juga punya kerja sambilan yang ku kerjakan disela-sela kesibukanku di sawah. Ahh, betapa beruntungnya dirimu, In. Bisa kuliah jadi punya wawasan yang luas.”

Tidak apa, En. Petani juga pahlawan bagi negeri, meskipun tidak berjuang mengusir penjajah, kalian kan pemasok utama bahan makanan pokok.” Aku tersenyum padanya.

“Seneng sih dengernya, tapi orang-orang sana tidak banyak yang menyadari jasa petani negerinya, In. Coba deh amati, kalau harga bahan makanan mahal mereka protes tapi kalau harga sangat murah kan kita rugi. Belum lagi panen gagal, yang tanggungjawab cuma petani doang, padahal mereka juga ikut makan kan?”

Aku mengangguk-angguk membenarkan ucapannya dan terlintas sekelebat sebuah ide di kepalaku.

“Menurutku, harus ada asuransi panen buat petani, ya nggak? Jadi, petani itu kalau panen berhasil kan hasilnya melimpah ruah ya. Alangkah baiknya jika hasil dari sebagian panen itu dimasukkan di dinas pertanian atau lembaga apapun yang mengurusinya guna menunjang asuransi panen dalam bentuk uang atau modal, maksudku kalau semisal padi ya berupa benih padi. Jadi kalau pun panen gagal, mereka bisa mendapatkan modal kembali dari asuransi panen mereka yang berhasil. Menurutmu gimana, En?”

“Wah, itu ide bagus, In. Mumpung kamu mahasiswa, sana segera lakukan aksi, jangan cuma ditulis di artikel saja. Hahahaha...”

“Eh, tahu aja kamu En kalau aku suka nulis artikel.”

“Lha iyalah, dari SMA dulu juga sudah kebiasaan kok. Nah, nanti kalau kamu mau memperjuangkan nasib kami yang petani ini, aku ikut membantu deh, kan aku petani. Hehehe...”

“Oke siap, komandan!”

Dan kami pun tergelak penuh tawa senja itu di tengah hamparan padi yang menghijau, saksi bisu percakapan kami.

TAMAT

No comments:

Post a Comment

kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)

Followers