Tuesday 17 October 2017

CERPEN : MAHONI

“Jikalau aku harus jatuh, aku ingin jatuh seperti biji mahoni.”
Hasil gambar untuk mahogany tree
Pohon Mahoni by treeplantation.com

Kicauan burung terdengar bersahut-sahutan di balik pohon mahoni. Suaranya begitu merdu dan bersahabat, seolah mengajak bernyanyi bersama. Lalu, lima biji mahoni kecoklatan jatuh dari buahnya, memutar-mutar indah seperti baling-baling helikopter. Disusul beberapa helai daun mahoni yang telah habis masanya. Jatuh tergeletak di tanah serupa bayi yang tak diharapkan. “Srek...srek...srek...” Suara seseorang sedang tapen[1] beras terdengar timbul tenggelam dari arah belakang rumah seseorang. Kadang terdengar gaduh, kadang terdengar sunyi. Suara-suara tersebut berpadu dengan desau daun pisang milik Cik Uni yang tertiup angin.

“Sedang tapen beras, Cik[2]?”

“Eh, Darsih. Sejak kapan kau berdiri di situ?” Cik Uni agak kaget melihat Darsih berdiri tak jauh darinya.

“Ah, Cik saja yang tidak melihat kehadiranku. Banyak las[3]nya, Cik?”

“Tidak juga. Hanya saja ini kerikilnya banyak.”

"Mau aku bantuin, Cik?” Darsih menawarkan diri, tangannya terjulur hendak membantu. Cik Uni buru-buru menarik tampahnya. Darsih merasa bersalah. “Tak usah repot-repot, Sih. Kau urus sajalah kambing-kambingmu itu.”

“Ahh, iya. Aku baru ingat kalau sedari tadi aku hendak mencari rumput, Cik. Kalau begitu pamit dulu ya, Cik.”

Darsih kemudian menyangklongkan karung rumputnya yang baru berisi separuh. Ia pun berbalik dan menembus rerimbunan pohon mahoni. Telapak kakinya yang telanjang menimbulkan suara kemresek daun-daun mahoni kering. Ia hilang dibalik rerimbunan mahoni sore itu.

Darsih berhenti di sebidang tanah yang berumput hijau. Rumput itu tidak benar-benar hijau. Di atasnya terdapat beberapa helai daun mahoni kering. Ia mendongak ke atas dan lagi-lagi melihat beberapa biji mahoni yang sedang jatuh. Ia menyibakkan daun-daun kering dan mulai menyabit rumput-rumput itu. Satu per satu batang rumput terpotong dan masuk ke dalam karungnya.

Selama menyabit, Darsih diam. Dalam kediaman dirinya ada suara yang begitu bising. Suara-suara yang tak pernah berhenti di mana pun ia berada. Bahkan di tempat sunyi sekalipun, suara-suara itu selalu mengikuti. Tak peduli ketika Darsih sedang menonton lomba panjat pinang tujuh belasan, menonton ketoprak, ikut bersorak dari kejauhan, atau pun ketika ia menjelang tidur dan hanya ditemani lampu setolop. Suara-suara itu tak pernah beranjak pergi.

“Hhhgggfff....” Darsih menghela napas. Percuma ia mencoba mengusir suara bising itu. Suara-suara itu ada dalam pikirannya sendiri. Terus menerus berkicau dan berkicau layaknya burung yang berdendang di balik rimbunnya ranting mahoni. Hanya saja, suara kicauan burung itu amat mendamaikan, sedangkan suara dalam pikirannya begitu mengganggu ketenangan. Darsih mencoba mengabaikan dengan fokus memotong rumput, memenuhi karungnya sesegera mungkin sebelum senja datang.

“Srek..srek...srek...” beberapa rumput kembali berakhir di sabit Darsih. Ia mencoba mengalihkan suara bising dalam pikirannya. Dengan keras. Sekuat tenaga. Dan.... cruk. Jemarinya malah terkena sedikit sabitan. Ia memekik pelan, lalu dengan sigap menyobek kain selendangnya untuk membalut lukanya. Darah masih terus menetes meskipun sudah dibalut kain. Ia pun memutuskan untuk pulang. Suara bising dan rasa sakit di jarinya tak mendukungnya untuk menghabisi beberapa rumput lagi.

"Sih? Kenapa dengan tanganmu?” seseorang menegurnya langsung. Darsih sedikit kelabakan setelah tahu milik siapa suara itu.

“Ah, De Pardi. Ku kura siapa. Ini, barusan tersabit sedikit,” jawab Darsih sedikit gugup.

“Owalah... kok ya ada-ada saja resiko orang cari rumput. Masih menetes darahnya?” De Pardi segera mendekati Darsih. Darsih bergidik, kemudian mencoba tenang kembali. Dengan cekatan De Pardi mencari daun petai cina muda, menguyahnya sebentar. “Buka dulu kainnya,” pintanya. Darsih membuka lilitan kain, lukanya mengeluarkan darah segar yang masih berbau besi berkarat.

Pelan-pelan, De Pardi menaruh kunyahan daun petai cina muda ke luka Darsih. Liur? Tentu saja kunyahan itu penuh liur De Pardi. Liur itu sedikit berbau tembakau. Mungkin De Pardi barusan merokok. “Sudah, sekarang kau boleh menutupnya. Nanti selepas mandi, kau obati dengan bedin ya.”

“Betadine, De.” Darsih mencoba membenarkan sembari melilitkan kembali kainnya.

“Nah, itu maksudku. Sudah, lebih baik kau pulang saja. Sudah hampir malam juga.”

“Terima kasih, De.”

“Sama-sama.”

De Pardi kemudian beranjak dengan arah yang berlawanan. De Pardi adalah tetangga dekat Darsih. Dulu ia adalah teman akrab ibunya ketika mencari rumput. Ketika mencari rumput, hiburan mereka hanyalah saling mengobrol dan bersahut-sahutan. Bagi mereka, hal itu sudah merupakan hiburan penuh kemewahan yang dimiliki hari-hari pencari rumput, hari-hari kaum petani.

Darsih segera beranjak. Ia menggendong rumputnya di pinggang dengan kain selendang. Sabitnya ia bawa dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya memegangi selendang di dada agar rumput tidak mudah lepas. Darsih kembali menembus rimbunan mahoni. Pulang ke rumah.

***

"Mak...Mak... Mak di mana?” suara seorang anak kecil memanggil-manggil ibunya. Dia membawa sebuah mainan congklak di tangan kanan dan seplastik biji srikaya. “Mak, aku pamit dulu ke rumah Sandi ya. Aku mau main congklak.”

“Di sini, Yun.  Iya. Hati-hati kalau main. Jangan pulang sampai magrib ya.”

“Siap, Mak. Assalamu’alaikum...”

Derap langkah Ayun semakin cepat. Pagi itu ia amat bersemangat. Ia menuruni tangga dan berlari menuju rumah Sandi. Congklak yang ia bawa hampir saja terjatuh saking semangatnya ia berlari.

Darsih sendiri sedang mencuci pakaian. Dan ibunya memilah sayuran.

Tiba-tiba.....

Terdengar suara gemuruh. Gemuruh yang begitu hebat hingga Darsih tak menyadari suara apa barusan. Dia tak sempat tahu. Matanya tertutup dan ia merasakan perih di pipinya. Amat sangat. Lalu sayup-sayup ia mendengar ibunya menjerit. Sekali. Lalu suara jeritan hilang bersamaan dengan kesadarannya yang terbang entah kemana.

Kelopak matanya terbuka. Setelah mengerjap-ngerjap, ia melihat orang-orang dengan luka-luka di kanan kiri. Mereka semua merintih, mengaduh.

Dikumpulkannya tenaga, lalu ia mencoba duduk.

“Dik, siapa namamu?” seseorang dengan baju tim SAR berjongkok di hadapannya.

"Darsih,” ucapnya lemah. Dirasakannya perih di pipi kanannya. Dia hampir saja menyentuhnya kalau saja tim SAR itu tidak melarangnya.

“Jangan disentuh. Luka lecetmu parah.”

"Maksudnya? Boleh aku meminta cermin?”

 "Oh, baiklah. Tunggu sebentar.” Ia berdiri dan beranjak. Lalu kembali membawa pecahan kaca ukuran telapak tangan. “Maaf, aku hanya menemukan ini. Setidaknya membantu untuk bercermin.”

Darsih mencoba menguatkan diri untuk kondisi terburuk wajahnya. Ia menghela napas pelan dan menghadapkan pecahan kaca itu ke wajahnya. Di sana, ia melihat seseorang dengan wajah sendu dan pipi terkelupas yang amat sangat menakutkan. Bahkan tulang pipinya ada yang kelihatan.

"Tidaaaakkkk...!!!!!” Darsih histeris. Kaca itu dilemparkannya jauh-jauh. “Siapa monster itu? Siapa dia!?” Darsih histeris sejadi-jadinya.
  
“Darsih, kau yang tabah ya. Ibu dan adikmu sudah pamit lebih dulu.” De Pardi kemudian datang dan menyampaikan kabar yang rasanya seperti mimpi buruk bagi Darsih.

“Tidak! Ini pasti mimpi. Kumohon bangunkan aku! Bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Kumohon!” Darsih meronta-ronta kepada De Pardi. Meronta pula pada tim SAR. Lalu meronta pada siapapun. Dia kalut. Takut. Kacau. Gila.

“Tolong, Pak. Tolong, Buk. Tolonggg...! Tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Tolong, tolong bangunkan aku!” Darsih kembali menjerit hingga suaranya melemah. Napasnya pun tinggal satu-satu. Ia berlari menuju ke ujung desa.

Darsih bersandar di bawah pohon asem. Tubuhnya lunglai, kakinya tak sanggup berjalan. Kenyataan ini terlalu pahit baginya. Ia tak sanggup menanggungnya. Pohon asem tempatnya bersandar pun tak bergerak sedikitpun, seakan tahu betapa hati seseorang yang sedang bersandar di bawahnya sedang kacau. Butuh ketenangan. Lalu sebuah asem yang sudah tua jatuh. Pohon itu seakan memberinya pesan bahwa segalanya akan jatuh pada masanya, segalanya akan usai pada akhirnya.

Andai waktu itu Darsih tidak kehilangan kewarasannya, ia pasti sudah menjerit. Ia terduduk di bawah pohon asem tepat di tengah-tengah kuburan. Dan senja sudah melambaikan tangan beberapa waktu yang lalu.

Tiga hari kemudian, perkampungan penuh dengan aroma amis darah kering. Darah-darah kering itu memenuhi reruntuhan bangunan. Menyeruak ke hidung melalui celah puing-puing. Lihatlah di ujung jalan sana, gedung lantai 21 itu runtuh. Rata dengan tanah. Padahal dulu, di suatu masa, gedung itu mencengkeram. Bukan hanya mencengkeram tanah, namun juga mencengkeram hak-hak rakyat kecil. Ketahuilah, di balik kegagahannya menyimpan ketegaan yang amat sangat.

Sebuah keranda melewati kuburan. Lalu bau melati beradu dengan amis darah. Keranda itu ialah ...

“Kau harus tabah, Sih. Tabahkan dirimu, Nak,” lipur salah seorang tetangga Darsih.  Ia sendiri mencengkeram tanah pemakaman yang hendak memisahkannya dengan jasad ibu dan adiknya. Darsih belum rela ditinggal dua orang yang amat sangat berarti dan dicintainya selama ini.

"Ibu.... Ibu.... Ibu... Aku tak sanggup, Bu. Jangan pergi, Bu. Ku mohon Tuhan kembalikan ibuku. Kembalikan dia, Tuhan... Huuu....huu... Hiks...hiks...”
  
Ibunya dimakamkan bersebelahan dengan Ayun. Keduanya pergi dengan damai, sedang Darsih amat terpukul. Ia begitu iri keduanya bisa bersama, sedang ia sendirian di dunia yang berbeda. Ingin rasanya ia ikut ke dalam, merelakan diri dikubur hidup-hidup. Baginya hal itu jauh lebih membahagiakan asal dapat bersama-sama dengan mereka.

“Nak, barangkali kau masih mengemban tugas dari-Nya, sehingga Tuhan belum berkenan memanggilmu. Ikhlaslah, Nak. Cobalah untuk ikhlas agar ibu dan adikmu dapat pergi dengan tenang.”

“Tidak.., Aku tak sanggup,” rintihnya lirih. Ia mengaku kalah pada kuasa Tuhan. Tanah merah itu sudah sepenuhnya menutupi jasad ibunya dan Ayun, menenangkan mereka.

Hingga adzan magrib berkumandang, Darsih masih tertunduk di pemakaman. Rupanya ia enggan pulang. Lagipula kepada siapa ia harus pulang. Ayahnya tak pernah kembali semenjak ia selingkuh lagi. Entah sudah berapa wanita yang ditidurinya. Ibunya berjuang sendiri karena si ayah tak pernah pulang. Dan ia sering melihat betapa air mata selalu menjadi teman setia ibunya. Di dalam keseharian, di setiap penghujung malam.

“Sih, ayo pulang. Ini sudah larut malam.”

De Pardi memanggil. Karena ia tak jua beranjak, De Pardi pun menyusulnya. Diulurkannya kedua tangannya dan diajaknya ia berdiri. De Pardi menuntunnya berjalan pelan-pelan. Ia begitu lemah karena belum makan sedari pagi. Namun ia mencoba kuat, setidaknya sampai di rumah.

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah. “Sih, mulai sekarang tak perlu sungkan meminta bantuan padaku. Aku dan ibumu adalah teman yang sangat akrab. Ibumu juga sering menceritakan perihal dirimu jika kami sedang mencari rumput bersama-sama. Kau tahu, ibumu begitu bersemangat jika menceritakan dirimu. Dia bangga memiliki putri sepertimu.”

Darsih hanya diam. Tak berselera menanggapi. Namun dalam hati ia mengucapkan terima kasih atas niat De Pardi yang hendak memberi pertolongan.

"Sih, kau mendengarku? Ahh, aku tahu hatimu sedang bersedih. Tapi jangan khawatir, aku akan selalu menolongmu. Meskipun kau sudah tak memiliki keluarga, anggap saja aku adalah keluarga barumu.”

Akhirnya mereka sampai. “De, terima kasih atas niat membantu yang engkau tawarkan. Aku masuk dulu.”

“Tentu, tentu saja kau harus masuk. Ini sudah larut malam. Jika ada apa-apa, datang saja. Aku pamit.” De Pardi begitu baik. Darsih pun masuk ke dalam bersamaan dengan langkah De Pardi yang semakin jauh dan menghilang di balik pekatnya malam.

Semenjak kedua orang yang disayanginya pergi, De Pardi sering menyambangi rumah Darsih. Ia kadang sekadar bertandang, kadang membawa pula jajanan ringan, atau sekadar ubi kukus. Semua itu diberikan kepadanya. Ia tahu Darsih masih suka mengurung diri di rumah. Masih terpukul.

“Sih, kau di dalam? Aku membawakan singkong rebus untukmu. Bukalah pintunya.”

Suara pintu terbuka. Wajah Darsih menyembul di balik pintu. “Masuklah, De. Terima kasih sudah membawakan aku makanan.”

“Ahh, ini tak seberapa. Cuma sekadar singkong. Hehehe....”

Darsih menyuguhkan air putih, setidaknya itu yang masih ia miliki hingga sekarang. “Kau tak punya beras? Apa mau kuambilkan?”

"Tidak perlu, De. Besok rencananya aku hendak ke ladang. Agar ada yang bisa kukerjakan.”

“Sebaiknya memang begitu. Agar kau tak larut dalam kesedihan panjang.” De Pardi mengambil air putih, meminumnya. “Ahh, segar sekali. Kalau begitu aku pulang dulu ya Sih, sudah siang.”

Sudah sekitar seminggu lebih De Pardi menyambangi rumah Darsih setiap hari. Apa saja yang ia miliki dibawakannya sebagian pada Darsih. Ia menganggap Darsih sudah seperti putrinya sendiri.

Kebaikan De Pardi rupanya membawa masalah baru bagi Darsih. Orang-orang kampung menganggapnya wanita jalang. Desas-desus mengatakan bahwa apa yang menimpa dirinya dan keluarganya adalah akibat dari ulah ayahnya. Ia sebatang kara dan menderita adalah buah karma dari ayahnya yang suka main wanita dan membuat warga tidak nyaman.

“Kemarin, aku melihatnya sedang bermesraan dengan Pardi. Dasar dia wanita tak tahu malu. Sudah sering dibawakan makanan malah ngerayu. Apa tidak kasihan dengan Cik Imah, istrinya.”

“Ahh, barangkali Pardi membawakan makanan atas permintaannya.”

“Ohh, benarkah begitu? Dasar tak tahu malu.”

Sore itu ibu-ibu sedang berkumpul. Seperti biasa jika tidak ada kerjaan yang berarti. Awalnya bertiga, lalu bertambah menjadi empat, lima, hingga enam orang. Entah kenapa, kebiasaan menggunjing tetangga menjadi hal yang sangat disukai. Ada yang berbicara sambil memotong sayuran, ada pula yang sembari petan[4]. Rasanya asyik saja jika sudah membicarakan aib tetangga.

“Eh, Buk. Jangan dikira Darsih seperti itu. Hal itu belum tentu benar.” Salah satu ibu berkomentar dengan sedikit benar. Tapi ditanggapi dengan komentar semacam ini, “Eleh...eleh.... Emang situ tahu Darsih yang sesungguhnya seperti apa? Yang namanya buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya,”  yang menunjukkan bahwa ia rupanya salah bergabung dengan ibu-ibu gosip sore itu.

"Iya, Yem. Kau benar. Tapi buah gayam itu kalau jatuh nggak selalu di dekat pohonnya kok,” sahutnya tak mau kalah.

“Ya iyalah, kan dibawa kalong,” sahut ibu yang lain. Dan muncul gelak tawa di antara mereka.

“Eh, lagipula sekarang ia juga lebih sering mengurung diri di rumah. Paling dia malu.”

“Sore, ibu-ibu....”

“Soree..,” jawab ibu-ibu serentak. Salah satu ibu yang sedang dipetani  bertanya, “Eh, Minah...  Dari mana?”

“Ini, Buk, barusan beli telur di warung. Mari, Buk... Saya permisi...”

“Oh, iya iya... Mari...”

Gosip-gosip itu makin sering terdengar. Bahkan beberapa tetangga yang kebetulan berpapasan dengannya enggan bertegur sapa. Dulu, sebelum gosip itu tersebar, mereka masih sering bertanya, bertukar senyum, atau sekedar menyapa. Rupanya kabar burung itu begitu kuat dan menyiksa batin Darsih. Hingga suatu kali pintu rumah Darsih diketuk malam-malam, menjelang pukul sepuluh.

“Darsih...., minta tolong buka pintunya. Sih...? Ini De Pardi.”

"Iya De, kenapa malam-malam begini ke rumah Darsih?”

“Bukain dulu pintunya, nanti aku jelaskan. Ini gawat sekali, Sih.”

“Ehh...? Iya, De. Tunggu sebentar kalau begitu.”

Darsih segera membuka pintu rumahnya. Ia melihat De Pardi yang begitu kelelahan dan ngos-ngosan. Keringatnya mengalir deras dari dahi. “Boleh aku masuk? Emm... dan minta air minum.”

 "Ohh, silakan, De. Silakan masuk.” Darsih kemudian menyilakan De Pardi dan segera mengambilkan air minum. “Kalau boleh tahu, apa yang terjadi gerangan, De? Kok sampai seperti itu?”

 “Istriku sedang marah denganku. Aku dituduhnya selingkuh dan waktu pulang tadi, aku dipukulinya. Aku pun tak diperbolehkan tidur di rumah. Padahal kau tahu sendiri hujan sepertinya mau turun.”

"Ohh....,” Darsih agak syok mendengarnya. Ia tak menduga ada saja orang yang jahat pada De Pardi. “De Pardi dikabarkan selingkuh? Dengan siapa?”

De Pardi menelan ludah. “Tak tahukah kau kabar yang sedang beredar, Sih?”

Darsih mulai murung. “Ohh, itu. Tentu saja aku tahu. Hanya saja aku tidak mau menanggapi mereka.”

“Tapi, Sih. Nyatanya mereka tak mau berhenti menggunjing kita meskipun kita tidak melakukannya. Apa kau tak sakit hati?”

“De, mungkin benar kalau ini adalah karma dari perbuatan ayahku. Mungkin memang aku yang harus menanggungnya.”

“Mana bisa begitu? Waktu kecil tidak pernah dirawat, saat dewasa harus menanggung dosanya. Hidup tidak semenderita itu, Sih.”

“Lalu aku harus bagaimana?” sesuatu yang hangat mengalir dari pelupuk matanya.

“Ahhh..... Kita tidak melakukan dituduh melakukan,” gumam De Pardi. “ Aku ada ide, bagaimana kalau kita lakukan saja?”

“Maksudnya? Lakukan apa De?”

Darsih yang memang gadis polos tak tahu maksud tersembunyi De Pardi. De Pardi pun mendekat, semakin dekat dengan tubuh Darsih. Ia kemudian memegang tangan Darsih. Sontak Darsih kaget. Sepolos-polosnya ia, ia tetap tahu etika dan batasan pergaulan laki-laki perempuan.

Darsih kemudian menghindar. De Pardi semakin gencar, mengejar. Darsih meronta sekuat tenaga. De Pardi semakin beringas dan bertenaga. Darsih menjerit ketakutan dan hampir menyerah. De Pardi semakin ingin dan bergairah. Hingga ....

“BUAKKKK....!!!!”

De Pardi jatuh di hadapan Darsih. Jidatnya berdarah dan di dekatnya terdapat muntu yang tergeletak. Rupanya Darsih telah melemparnya dengan muntu, seperti yang dikomandokan instingnya untuk mempertahankan diri. Ia segera bergegas dan pergi dari rumah selagi De Pardi masih pingsan.

Semenjak kejadian malam itu, ia kini tidak lagi seakrab dulu dengan De Pardi. Bahkan ia sekarang takut jika bertemu De Pardi. Ia tak peduli jika saat itu De Pardi sengaja atau khilaf, pokoknya sekarang ia enggan berinteraksi dengannya.

Rupanya kejadian memalukan itu tersebar pula sampai ke telinga masyarakat. Ia pun dituduh berzina, padahal ia tak melakukan apa-apa. Darsih terguncang kembali. Padahal baru sebulan kemarin keluarganya meninggalkannya. Baru sebulan kemarin pula tanah merah itu menutupi jasad ibu dan adiknya. Baginya, semua itu bahkan serasa seperti kemarin.

Namun, orang-orang seakan tak peduli. Mereka tak mau tahu soal itu. Mereka tak tahu bagaimana perasannya. Asal bukan diri mereka, kenapa harus ikut peduli. Mereka adalah potret masyarakat yang masa bodoh dan suka main sendiri, suka nuduh tanpa ada yang mau menyelidiki. Memang, suatu ketidakbenaran yang terorganisir mampu mengalahkan satu kebenaran, membuatnya kocar-kacir.

Darsih telah dikucilkan oleh sebagian besar masyarakat. Keberadaannya ada namun dianggap tiada, sudah seperti gula dalam kopi. Jika kopi pahit, gula yang disalahkan dan dicari-cari, jika manis maka kopi yang dipuji. Namun, baginya hidup memang keras. Akan ada masanya orang-orang seperti itu lelah sendiri. Ia tetap melakukan kebaikan-kebaikan yang bisa ia lakukan untuk tetangga dan masyarakat di sekitarnya.

Ia pun mengingat akan sikap Cik Uni kepadanya barusan. Cik Uni yang enggan dibantunya. Ia sedikit sakit hati, tapi mencoba untuk tidak terus-terusan memikirkannya. Sehelai daun mahoni jatuh di atas sebidang rumput yang hendak ia sabit. Angin sore yang bertiup menjatuhkan lagi beberapa daun dan biji yang sudah habis masanya. Ia mendongak. Begitu indahnya biji-biji mahoni yang jatuh berputar-putar. Ditangkapnya satu yang dekat dengannya. Darsih bergumam pelan..

“Jikalau aku harus jatuh, aku ingin jatuh seperti biji mahoni.”

Darsih tersenyum kecut.

TAMAT




[1] Membersihkan beras yang sudah digiling sebelum di masak. Tujuannya untuk menghilangkan biji yang masih ada kulitnya dan beberapa kerikil. Cara ini biasanya dilakukan oleh orang-orang desa.
[2] Panggilan untuk Bulik
[3] Biji padi di tengah-tengah beras hasil gilingan.
[4] Mencari kutu rambut

No comments:

Post a Comment

kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)

Followers