Wednesday 18 February 2015

Hilang part 1 : Perpisahan

    “Bang, dua porsi nasi plus lauknya ayam bakar, ya,” teriak Wanda pada Bang Soim ketika kami sampai di warung makan langganan kami.
            Aku sedikit bingung dan refleks melotot ke arahnya. Tumben-tumbennya ia pesan makanan di atas sepuluh ribu itu. Belum sempat aku bertanya, ia dengan senyum menjelaskan. “Tenang aja, hari ini gue dapat banyak. Ntar sekalian gue traktir. Makan enak, Man!
            Aku tersenyum lega mendengarnya. Kepada Bang Soim aku menambahkan, “minumnya seperti biasa, Bang.”
            Wanda menoleh cepat ke arahku, kemudian berteriak pada Bang Soim. “Jangan, Bang! Masa air putih mulu, bosan gue. Gue pesen jus apel,” kemudian ia bertanya padaku, “eh, lu mo pesen apa? Tenang aja, ntar gue yang bayar.”
            “Jus Anggur.”
            “Nah, gitu dong! Sekali-kali kek kita makan makanan yang bergizi. Jangan mie mulu.”
            Bang Soim tertawa mendengar gurauan kami. Sebenarnya aku ingin tertawa juga, tapi itu justru akan menyulut masalah baru. Wanda bukanlah tipe orang yang suka ditertawakan, apalagi kalau ia sedang berkata serius.
            Setelah menunggu beberapa saat, pesanan pun datang. Tanpa banyak cing-cong, Wanda langsung melahap makanannya.ia makan cepat sekali seperti orang kelaparan. Aku sampai geleng-geleng kepala melihatnya. Maklumlah, ia kan jarang makan makanan seperti ini.
            Enak juga ternyata rasa ayam bakar. Ku kira membosankan. Aku meminum jus anggurku dan menikmatinya. Sesekali aku memperhatikan keramaian di rumah makan selingkuh dan tak mau mengakuiyang berdiri megah tepat di depan kami duduk sekarang. Rumah makan itu mewah dan modern, kontras sekali dengan warung makan Bang Soim yang berada di sebrangnya. Kecil, tak terawat, dan agak reyot dimakan usia. Tragis sekali!
            Kemudian sebuah mobil Mercedes Bens berhenti di depan rumah makan itu. Ternyata isinya adalah sebuah keluarga. Terdiri dari ayah, ibu, dan dua orang anak laki-laki dan perempuan yang sepertinya kakak beradik. Mereka nampak bahagia. Lalu dengan langkah ciri khas orang kaya, mereka masuk ke dalam pintu kaca dan lenyap.
            Melihat mereka tadi, aku jadi teringat keluargaku dulu. Andai saja waktu itu mamah dan papah tidak bercerai, mungkin aku tidak seperti ini.dan mungkin saja aku akan memiliki adik yang imut dan lucu.
‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍‍>>>><<<<
            “ Kring..kring...kring.....”
Aku meraba alarmku ini nih dan mematikan tombolnya. Hari ini kuharap akan lebih baik dari hari hari kemarin. Setelah tubuh puas karena jatah tidur sebanyak delapan jam,aku segera bangun dan mandi. Berpakaian rapi dan tak lupa memakai parfum.. lalu terakhir memakai sepatu.
            Rasa-rasanya dari tadi kok sepi. Mamah papah kemana sih? Atau jangan-jangan mereka bikin kejutan. Hari ini aku kan ulang tahun. Ah... apa iya? Mereka kan tak pernah ingat hari ulang tahunku, kecuali bila aku mengingatkan.
            Aku menuju ke meja makan dan tak ada makanan pun di sana. Sekarang aku yakin kalau mamah papah memberiku kejutan. Eh, tapi apa tuh di atas meja? Kok seperti kertas? Aku memungut kertas itu dan membaliknya. Di sana tertulis serangkaian kata.
            Ardi, semalam mamah dan papah bertengkar. Papahmu selingkuh dan tak pernah mau mengakui, sedangkan mamah sudah tak kuat lagi dibohongi.hari ini juga kami memutuskan untuk bercerai. Sekarang kamu pilih papah atau mamah. Jika kamu pilih mamah, maka segera kemasi barang-barangmu dan kita pergi.            Aku shock selama beberapa detik, kemudian tertawa. Mamah dan papah ternyata pandai membuat cerita. Mereka pasti mengira aku akan tertekan, lalu setelah aku benar-benar dalam mood buruk, mereka akan mengejutkanku dengan ucapan Happy Birthday. Ah, betapa menyenangkannya.
            Sepulang sekolah aku melihat mamah dan papah duduk bersebrangan di ruang tamu. Raut muka mereka seperti tak sabar menunggu sesuatu kemudian agak cerah ketika melihatku pulang. Mamah menyuruhku duduk. Ia ingin membicarakan hal penting.
            “Jadi, apakah kamu sudah membaca pesan mamah di meja makan?”
            “Sudah, Mah. Aku sudah membacanya,” jawabku datar.
            “Lalu siapa di antara kami yang kamu pilih?” tanyanya lagi.
            “Aku pilih kalian berdua,” ujarku yakin.
            “Ini bukan main-main, Ardi! Jawab yang benar! Mamah atau papah?!” Mamah memandang tajam ke arahku, menandakan bahwa beliau tidak main-main dengan ucapannya.
            Aku terdiam, tak mampu menjawab. Aku tidak mengerti dengan keputusan impulsifnya itu. Jika ini adalah mimpi buruk, ku harap aku segera bangun. Namun tetap saja ini nyata, bukan mimpi. Aku menoleh pada papah, memeinta penjelasan darinya, tapi aku tak dapatkan apa pun kecuali raut muka papah yang frustasi. Terang sudah semuanya. Hari ini, hari ulang tahun terburuk sepanjang sejarah hidupku. Tak ada kejutan, tak ada hadiah, tak ada ucapan selamat ulang tahun. Mereka, kedua orang tuaku sudah tak peduli denganku. Mereka egois.
            “Cepat jawab, Ardi! Mamah ingin segera angkat kaki dari sini!” teriak mamah kesal karena aku belum juga menjawab pertanyaannya.
            “Pah, Mah,” kataku seraya menoleh ke papah dan mamah secara bergantian. “Tidakkah kalian ingin aku bahagia? Ku mohon, jangan pergi! Aku hanya punya kalian berdua. Pah, Mah...aku butuh kalian berdua.”
            “Terlambat, Ardi. Papah dan mamah sudah tidak bisa berdua lagi. Sebagai anak, papah berharap kamu bisa menentukan pilihan terbaik di antara kami. Dan papah yakin kamu bisa memilih yang terbaik untuk dirimu sendiri.”
            “Tidak, Pah! Aku tetap pada pilihan pertama. Jika papah mamah tidak bisa bersama, maka aku tidak akan memilih salah satu. Aku memilih ini karemna menurutku ini keputusan yang adil. Aku akan memilih tinggal di apartemen.”
            “Baiklah kalau itu kemauanmu. Kembalilah pada papah kapan pun kau mau, nak.” Papahmengusap-usap bahuku.
            “Mamah juga, Ardi. Mamah akan menyambutmu dengan senag hati jika nanti kamu ingin bersamaku,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
            “Sebelum Ardi pergi, Ardi ingin mengucaokan terima kasih atas kejutan yang luar biasa yang papah mamah berikan di hari ulang tahun Ardi. Sungguh, ini adalah kejutan sekaligus hadiah ulang tahun yang tak akan Ardi lupakan. Ardi benar-benar terkejut seperti yang papah mamah harapkan. Sekali lagi terima kasih,” ucapku dengan senyum yang kupaksakan. Hati ini begitu terluka sehingga aku ingin cepat-cepat segera pergi untuk melupakan semua ini, walau aku tahu itu tak mungkin. Ya...kecuali aku amnesia.
            Setelah itu aku beranjak ke kamar dan bersiap pergi dari rumah. Sebenarnya tujuanku tinggal di apartemen ialah memberikan kebebasan pada mamah atau papah untuk menjengukku, bukan berarti aku tidak mau tinggal dengan salah satu dari mereka.
>>>><<<<
            Sudah sekitar satu bulan aku tinggal sendiri di apartemen. Waktuku sebagian besar ku gunakan untuk menunggu agar papah dan mamah berkenan menjengukku. Namu hanya kesia-siaan yang ku dapat. Mamah papah tak pernah mengunjungiku semenjak aku angkat kaki dari rumah. Alasan mereka sama, sibuk. Yang masih rutin mengunjungiku hanyalah uang mingguan dari mereka.
            Dua bulan berlalu. Sedetik pun aku belum bertemu mamah papah. Apakah mereka tidak rindu denganku? Ataukah mereka sudah tak menganggapku? Yang kubutuhkan saat ini hanyalah perhatian dari mereka, bukan uang mingguan. Berjuta-juta uang yang mereka kirim tak juga membuatku bahagia.
            Tak terasa aku sudah menjalani hidupku tanpa orang tua hampir satu tahun. Dua bulan lagi ku ada UN, tapi aku ragu apakah aku bisa mengikuti UN. Uang mingguan dulu kini jadi uang bulanan, dulu mamah aktif mengirimiku uang, tapi semenjak ia menikah lagi, uang itu bahkan tak ada. Hanya papah yang sesekali ingat padaku. Dan satu-satunya hal yang bisa membuatku bertahan adalah “aku pasti bisa menjalani ini semua.”
            Dan hari ini aku benar-benar kesal. Aku terpaksa keluar dari apartemen karena tak mampu lagi membayar. Mau bayar dengan apa kalau papah kirim uangnya pas-pasan hanya untuk biaya sekolah. Hari ini juga aku memutuskan berhenti sekolah dan menggunakan uang dari papah untuk biaya hidup sementara.
            “Papah...!! Mamah...!!! Terima kasih karena kalian berdua telah menjadi orang tua yang sangat baik, saking baiknya sampai kalian tak bisa memberiku sepijak tanah pun untuk kutinggali.” Aku berteriak keras sekali di pinggir danau dan aku merasa lega.

Bersambung  di part 2

No comments:

Post a Comment

kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)

Followers