Monday 4 April 2016

Aroma Ciu, Benci Tapi Kurindu

Hasil gambar untuk arak dan ciu  wallpaper
Peminum
sumber: http://megastarnews.blogspot.com
“Suamiku adalah seseorang yang sangat tulus mencintaiku dan aku percaya karena ia telah membuktikannya hingga ke jenjang pernikahan. Namun, ada satu hal unik yang tak pernah ku ketahui. Diam-diam ia seorang alkoholik.”

Jika kamu datang ke kota Pati dan melewati Jalan Pemuda, kamu akan menemukan gang Kenanga di sebelah kiri jalan, 500 meter dari arah simpang lima. Di sana terdapat perumahan yang bernama sama. Bila kamu melihat rumah mungil bercat hijau yang agak menjorok ke dalam, di sanalah aku dan suamiku menjalani hidup bersama.
Kami sudah menikah selama hampir satu tahun. Selama itu kami masih saja berdua, belum memiliki momongan. Bukan karena suamiku tidak getol membuatnya, mungkin Tuhan memang belum mengamanatkannya kepada kami. Dengan alasan apa pun, aku dan suamiku percaya bahwa alasan Tuhan pastilah yang terbaik. Kami tetap berusaha, setidaknya dua kali seminggu. Itu pun kadang ia yang memaksaku.
“Selamat pagi, sayang,” ucap suamiku lembut di telingaku lalu ia mendaratkan kecupan di dahi.
“Ayo bangun! Ini sudah siang, lho.”
“Ahh, hari minggu. Kau tak kerja kan? Aku capek karena semalam. Izinkan aku libur membuat sarapan.”
“Hmm, baiklah. Aku mau mandi dulu. Setelah itu membuatkanmu sarapan.”
Sebelum meninggalkan singgasana malam kami, ia mendaratkan kecupan di pipi. Aku tersenyum di balik selimut. Ia memang lelaki yang romantis dan suka memanjakanku. Ia tak pernah memaksakan kehendaknya dan sangat pengertian terhadapku. Aku begitu bersyukur dinikahinya.
Bukan hal yang membuatku mengejutkan saat ia benar-benar membuktikan bahwa ia adalah seorang alkoholik. Saat pacaran dulu, dalam candaannya, ia pernah sekali mengatakan secara tidak segaja bahwa ia senang minum minuman beralkohol. Ketika ku berodong dengan pertanyaan, ia malah tertawa dan mengatakan kalau ia sukses menarik perhatianku.
Jujur saja, aku adalah tipe wanita yang tidak banyak menuntut, menyukai kebebasan, menghargai prinsip seseorang, keras kepala, dan yang terakhir tomboi. Aku tidak terlalu memperdulikan sikap suamiku yang kadang minum ciu. Aku memang  mencintainya. Aku pun sudah berkali-kali mengingatkan padanya bahwa alkohol tidak baik bagi kesehatannya. Tapi, ia tetap tak memperdulikan nasihatku itu.
Sebenarnya, ia hanya minum ciu jika ingin bercinta dan aku tidak mau melayaninya karena bad mood. Aku bukanlah tipe wanita yang mudah terangsang. Aku akan mengatakan tidak sekali saja jika aku memang tak mau diajaknya. Rupanya ia tak pernah memaksa.
Awalnya ia baik-baik saja, namun sejak umur jagung pernikahan kami, kebiasaan buruk waktu mudanya kembali lagi. Ia diam-diam dalam melakukannya, tanpa sepengetahuanku. Jika selama tiga hari aku tidak menuruti kemauannya karena aku sedang capek, ia akan beralih dengan minum ciu. Alasannya agar ia tidak stres, tapi menurutku ia hanya beralasan.
Hingga suatu hari di hari Senin, aku menemukannya tergeletak mengenaskan di bawah kursi kerjanya. Aku yang bangun kesiangan saat itu mengira dirinya sudah berangkat kerja tanpa membangunkanku. Saat aku berniat membersihkan ruangan kerjanya, rupanya ia tergeletak di sana dengan tampilan buruk. Kaos yang acak-acakan, muka semburat, dan mulut bau alkohol. Di meja kerjanya tergeletak dua botol ciu kosong yang tutupnya hilang entah kemana.
Aku panik dan segera menelepon kantornya, mengatakan kalau ia sedang sakit. Susah payah aku membawanya ke kamar. Ku ganti kaosnya yang sudah bau alkohol. Ku bawakan setangkup roti yang telah ku olesi madu dan segelas air putih. Ku dengar setangkup roti dan madu bisa menjadi sumber kalium dan natrium yang mampu melawan alkohol. Untuk air putih mungkin bisa mengatasi dehidrasi akibat miras yang diminumnya.
Pukul sembilan ia baru sadar. Setelah sadar ia langsung muntah di selimut dan kembali berbaring. Aku segera memberinya air putih dan mengganti selimut dengan yang baru.
“Aku kan sudah bilang, Mas. Jangan minum alkohol terus,” cerocosku saat ia setengah sadar.
Aku memijit-mijit kepalanya dan juga beberapa bagian tubuhnya. Ia masih lemas dan nampak memprihatinkan. Aku jadi merasa bersalah telah mengomelinya.
“Apa perlu kupanggilkan dokter?” tanyaku untuk menebus rasa bersalahku tadi.
“Tak usah! Nanti juga sembuh sendiri.”
“Baiklah. Aku juga minta maaf soal semalam. Aku tak menyangka bisa membuatmu hingga seperti ini.”
“Sudahlah. Tak perlu minta maaf. Nanti juga baik-baik saja.”
Aku meninggalkan kecupan hangat di pipinya lalu tersenyum. “Istirahatlah! Jangan lupa rotinya di makan. Sudah ku olesi madu tadi.”
“Iya, Sayang.”
Si pria tampan yang telah menaklukkan hatiku itu bernama Dian. Sudah lima tahun kami pacaran sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menikahiku. Pernah aku iseng bertanya padanya kenapa ia begitu mencintaiku. Sembari bergurau ia berkata kalau ia jatuh cinta pertama kali pada bodiku yang seksi dan selanjutnya karena ia memang telah digariskan oleh Tuhan untuk melindungiku. Dua alasan yang tak begitu kusukai. Tapi, asal ia tidak main mata dengan yang lain, bagiku tak ada masalah.
Hubungan kami sudah membaik sejak saat itu, meski kadang aku tetap menolak jika aku memang benar-benar tidak mood. Ku lihat sekarang ia sudah bisa mengendalikan stresnya jika ku tolak. Ia juga sudah mulai mengontrol keinginannya untuk minum ciu.
Dua minggu setelah kejadian itu, ibu memintaku untuk membantunya karena di rumah ada acara arisan dan pengajian berturut-turut selama seminggu penuh. Ibu juga memintaku untuk menginap saja. Ia bahkan rela memohon-mohon kepada Mas Dian agar aku diizinkan menginap. Karena ibu yang meminta, meski dengan berat hati, tentu saja Mas Dian mengizinkan. Ia mengantarkanku ke sana pada Minggu sore dan ia langsung pulang malamnya.
Sudah tiga hari aku di rumah ibu. Aku cemas memikirkan keadaan Mas Dian. Rupanya ibuku tahu apa yang kurasakan. Ia menghiburku dengan mengatakan bahwa Mas Dian akan baik-baik saja. Aku percaya pada ibu, bagaimana pun perasaan orang tua lebih peka.
Hari keempat aku menelepon Mas Dian lagi. Aku mengatakan padanya kalau ia menginginkan lebih baik datang saja ke rumah ibu dan menginap. Ia menjawab kalau ia baik-baik saja dan tak perlu menginap karena hari ini ia sedang lembur. Aku hanya bisa menahan –lagi-lagi cemas– mendengar kabarnya. Bisa ku bayangkan, tiga hari saja ia sudah mabuk betitu berat, apalagi kalau sampai seminggu. Ku harap ia bisa mengontrol minumnya dan tak sampai mabuk hingga aku pulang.
“Bagamana dengan Dian? Dia masih tak menjawab teleponmu?”
“Entahlah, Bu. Aku sudah berkali-kali menghubunginya, tapi tidak diangkat-angkat juga. Apa jangan-jangan ada apa-apa dengannya?”
“Mungkin dia sedang sibuk kerja? Kalau nanti sore belum juga dijemput, biar ayah yang mengantarmu,” hibur ibu padaku. Beliau tak tahu kalau Mas Dian akhir-akhir ini menjadi alkoholik dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi padanya.
Benar juga. Hingga menjelang malam ia belum datang. Terpaksa ayah yang mengantarku pulang. Sesampainya di rumah, aku mempersilakan ayah masuk. Rupanya rumah tidak dikunci, mungkin Mas Dian sudah pulang dan tadi lupa membawa ponselnya di kantor. Atau ia tadi pulang terlambat dan bersiap-siap menjemputku. Aku menjejali otakku dengan kemungkinan-kemungkinan positif.
Aku memanggil-manggil Mas Dian, tapi tak ada jawaban. Heran. Bukankah ia sudah ada di rumah. Motornya juga ada di rumah. Sepatunya juga sudah tertata rapi di rak sepatu. Aku memanggilnya sekali lagi, tetap tak ada jawaban.
Ketika pintu kamar ku buka, bau ciu yang khas menyeruak. Firasatku mengatakan bahwa Mas Dian pasti habis minum lagi. Benar saja, di singgasana malam kami, ia tergolek lemah dengan muka pucat pasi. Di sekitar selimut terdapat muntahan yang baunya menyengat. Aku segera menghubungi dokter terdekat untuk memeriksanya. Ayah bingung melihatku begitu cemas, ku katakan pada beliau terus terang kalau Mas Dian mabuk berat.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanyaku was-was melihat raut muka dokter yang tidak bahagia.
“Suami Anda rupanya suka minum alkohol. Agaknya sudah lama. Hal ini berdampak pada hatinya dan jika tidak diberhentikan, dia bisa terkena kanker hati.”
“Kanker, Dok?”
Sang dokter mengangguk. “Iya. Sebaiknya Anda merawatnya dengan baik. Jangan sampai ia stres berat dan minum ciu lagi. Efeknya memang tidak seekstrim minuman alkohol lain, tapi jika kebanyakan bisa juga berakibat fatal.” Dokter memberi saran sambil menulis resep obat. Lalu ia memberikan obatnya padaku.  “Ini obat dan resepnya.”
“Terima kasih, Dok!”
Aku dan Ayah mengantarkan dokter keluar dan juga mengucapkan terima kasih. Setelah kepulangan Pak Dokter, aku segera menuju ke kamar.
“Mas? Mas Dian? Sadarlah! Ku mohon...” Aku menagis melihat keadaannya. “Aku mohon ini yang terakhir kali ya? Jangan mabuk lagi. Lebih baik engkau menyuruhku pulang jika kapan-kapan aku harus menginap lagi. Jika tidak, engkau yang datang ya.”
Mas Dian mulai membuka mata sedikit demi sedikit. Ia tersenyum padaku. Ketika tubuhnya mulai pulih, ia bercerita padaku. Ia tak mau menyuruhku pulang karena takut mengecewakan ibu. Sebenarnya ia tak ingin melakukannya lagi, tapi rupanya ia belum bisa mengatasinya dan lagi-lagi ciu itu amat menggoda jika ia tak bisa menyentuhku.
Dua hari lamanya ia tergolek di ranjang, kini keadaannya sudah mulai sehat. Mulai sekarang, aku berjanji pada diriku sendiri, secapek dan setidakbergairahnya aku akan tetap menuruti kemauannya. Apalah artinya pengorbananku jika dibanding dengan penyakitnya yang membuatk miris hanya dengan mendengarnya.
Akan tetapi, badai rupanya belum berlalu. Di saat kami bahagia karena masalh telah usai, aku mendapat telepon dari kakakku bahwa suaminya meninggal. Tentu saja aku dan suamiku datang melayat. Meskipun rumahnya jauh di kota Salatiga, aku tetap datang kesana. Hanya aku satu-satunya saudara yang ia miliki. Tentu aku akan datang dan menemaninya, paling tidak satu minggu.
“Kau yakin akan menginap di sini satu minggu?” tanya Mas Dian lirih di sela-sela keributan kecil tamu yang melayat.
“Ya harus bagaimana lagi, Mas? Hanya aku dan ibu keluarga yang dimilikinya. Masa aku tega?”
“Tapi bagaiman dengan aku?”
Aku diam. Merasa dilema. Tentu tidak mungkin jika ia datang ke sini hanya untuk bercinta, sedangkan sang tuan rumah sedang berduka. Lagipula ia juga harus bekerja. Kalaupun cuti, paling cuma sehari. Jika aku pulang untuk sehari, jarak rumahku jauh. Ini sungguh dilematis.
“Apa Mas benar-benar tak bisa menahannya?”
“Aku tak tahu apakah aku bisa atau tidak.”
“Coba saja Mas menyibukkan diri, atau mungkin pergi jalan-jalan di malam hari, dan coba jangan bayangkan aku selama aku di sini. Yakin, Mas pasti bisa.” Aku meyakinkannya, meski aku sendiri ragu.
“Baiklah. Akan aku coba. Aku pulang dulu ya,” pamitnya lalu mengecupku.
“Hati-hati, meski kita tak bertemu, aku akan slalu merindukanmu.”
Mas Dian tersenyum. “Miss you, too.” Ia kemudian menstarter motor dan lenyap di balik tikungan jalan.
***
Seminggu di rumah Kak Ais akhirnya telah berlalu. Aku senang sekali bisa pulang ke rumah bersama Mas Dian. Di sepanjang jalan, kami kadang bercakap-cakap, kadang juga bercanda. Rupanya Mas Dian sedang mood baik. Mungkin dia sudah bisa mengendalikan stresnya. Syukurlah.
“Selamat datang di rumah tercinta, Sayang!” sambut Mas Dian ketika kami sampai. Ia membukakan pintu dan menyambutku bak pengawal yang menyambut datangnya Cinderella. Aku jadi tersipu.
Aku memandang sekeliling. Rumah nampak bersih dan wangi. Rupanya Mas Dian sekarang sudah berubah, sudah bisa mengendalikan diri. Satu lagi, ia sepertinya menemukan semangat baru. Aku jadi penasaran, apa yang membuat Mas Dian jadi begitu semangat ya.
Keesokan paginya, aku menata dasi dan merapikan kemeja Mas Dian sebelum ia berangkat ke kantor. Ia begitu sumringah dan agak buru-buru. Setelah selesai merapikan kemeja, aku mengantarnya sampai depan rumah. Aku mencium tangannya dan ia balas mengecup keningku.
Aku sedikit janggal ketika masuk rumah kudengar suara dering ponsel Mas Dian berbunyi. Rupanya ia lupa membawa ponselnya dan masih tergeletak di meja sarapan. Aku segera mengambil ponsel itu. sederet nama asing tertera di sana. Hesty. Siapa dia?
Aku tak mau berburuk sangka dulu. Kujawab telepon itu dan membiarkan suara wanita di sebrang sana berbicara. Aku begitu terkejut mendengar suara manja yang memanggil suamiku dengan nama panggilannya. Bahkan dengan santainya ia meminta suamiku untuk menjemputnya dan berangkat bersama ke kantor. Tanpa ku jawab, ku matikan telepon itu seketika.
Belum selesai keterkejutanku, suamiku kembali lagi. Rupanya ia tidak lupa dengan ponselnya dan datang untuk mengambilnya. Aku mencoba tersenyum dan berkata tak apa-apa di hadapannya ketika ia bertanya mengapa mataku berkaca-kaca.
Tubuhku terasa lemas. Aku takut ada apa-apa antara Mas Dian dan wanita bernama Hesty itu. Namun aku coba berpikir positif, siapa tahu mereka memang sedang ada tugas dari atasan untuk suatu proyek sehingga mengharuskan mereka berangkat bersama. Ah, aku tidak boleh terlalu cemburu dan khawatir.
***
Seperti biasa, jika siang dan selesai menyelesaikan pekerjaan rumah, aku akan berbaring sebentar di kamar, sekadar tidur-tiduran. Betapa aku sangat senang karena Mas Dian sudah berubah. Di kamar ini sudah tidak lagi kucium aroma ciu yang menyengat dan menjengkelkan itu. aroma ciu yang dulu sering membuatku khawatir dan merelakan kebebasanku kini sudah menguap bersam embun pagi. Ah senangnya.
Aku duduk di tepi ranjang. Kuraba seprei yang biasa kami porak-porandakan ke sana kemari. Ah, Mas Dian memang hebat, hanya saja aku baru menyadari akhir-akhir ini. Ku raih satu bantal, ada sesuatu yang mengkilat di balik bantal itu. Sebuah anting emas berbentuk bunga kecubung.
Aku tahu anting itu pasti milik wanita lain. Aku tak punya anting berbentuk bunga kecubung, melihat pun tak pernah kecuali saat itu. aku yakin, pasti ada wanita lain di sini. Pantasan saja aku merasa tidak tenang saat berada di rumah kakakku waktu itu. Meskipun secara lahir suamiku baik-baik saja. Rupanya ia menyembunyikan sesuatu di belakangku. Semakin kuat keyakinanku bahwa ada wanita lain di rumah ini, hatiku semakin sakit. Bagaimana mungkin ia yang begitu kucintai dan amat mencintaiku bisa membawa wanita lain di rumah ini. Seks? Apakah hanya gara-gara seks atau ia memang sudah bosan denganku?
 Malam ini aku tak bisa tidur. Mas Dian sepertinya juga belum bisa tidur. Entah kenapa ia begitu gelisah sejak pulang tadi. Ia juga membolak-balik bantal dan tumben-tumbennya merapikan seprei sebelum kami tidur.
“Mas belum tidur?”
“Belum ngantuk. Kamu sendiri kenapa tidak tidur, Sayang?” Mas Dian berbaring ke arahku.
Aku menoleh padanya, memberanikan diri menanyakan sesuatu. “Mas, rekan kantormu ada yang bernama Hesty?”
“Ada. Kenapa memangnya?”
“Kalian kenal akrab?”
“Tidak juga sih. Cuma akhir-akhir ini dia jadi partner untuk suatu proyek.”
“Proyek apa?”
“Emmm, proyek pemasaran ke ranah internasional.”
“Ohhh.” Aku diam mencoba puas, meski sejujurnya aku tahu dia berbohong. Setelah itu kami diam dan mencoba tidur.
Tiba-tiba ponsel Mas Dian berbunyi. Aku yang kebetulan berada di dekat nakes segera mengambil ponsel itu dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata Hesty. Tanpa memperdulikan Mas Dian, aku menjawab teleponnya, mengaktifkan speaker, lalu membiarkan wanita yang tak tahu sopan santun itu nyerosos.
Dian, kamu lihat antingku nggak?” Mas Dian mencoba merebut ponsel dari tanganku.
Antingku hilang sebelah....” Aku bisa mengelak saat dia mencoba meraih ponselnya.
Bentuknya bunga kecubung berwarna keemasan.....” Aku berlari menuju pintu saat Mas Dian mencoba meraih tubuhku.
Tahukah kau itu anting kesayanganku.....” Mas Dian mengejarku. “Kembalikan Ana! Kau jangan salah paham dulu!”
Aku tak bisa memakainya kalau yang satu belum ketemu....” Aku mengelak dan berlari menuju sudut kamar yang lain. “Nggak! Kamu harus jelaskan dulu kenapa ia bertanya padamu, Mas?”
Dian? Apa kau mendengarku?” Mas Dian frustasi, tapi ia masih mencoba berbohong. “Kami tak ada hubungan apa-apa? Dia hanya partner kerja. Ayolah”
Hey Dian?! Kenapa di situ ribut sekali? Apa yang terjadi, Sayang??” Aku makin geram mendengar peekataan Hesty. Aku mengarahkan ponsel itu tepat di mulutku dan kuteriakkan makian padanya, “Diam kau perempuan sundal!” Seketika telepon ditutup.
“Percayalah, Ana sayang. Aku tidak melakukan apa-apa.”
Hatiku menangis, ingin rasanya aku menjerit sekeras-kerasnya. Jika seperti ini rasanya aku lebih rela melihatnya menegak ciu dan mencium aromanya. Aku merinduka aroma ciu yang seperti dulu, yang membuat kesal tapi juga damai karena ia tak main mata dengan wanita lain. Aku merindukan aroma ciu.
“Mas, ku mohon berkatalah jujur! Aku sudah tahu semuanya sekarang. Sejak tadi kau mencari ini kan?” Aku memperlihatkan sebuah anting kecubung keemasan. “Seperti ini kau bilang partner kerja? Kerja apa, Mas? Kerja lomba melenguh di atas singgasana malam? Hah?!! Jawab aku, Mas.”
“Ana, aku khilaf. Aku minta maaf. Ini tak seharusnya terjadi. Aku kehilangan kendali saat itu. Aku belum bisa mengendalikan diriku dan saat aku mabuk aku malah menghubungi Hesty dan menyuruhnya datang kemari. Ku kira ia tak datang, rupanya ia datang meski pukul sebelas malam. Dan setelah itu ...”
“Cukup! Aku tahu apa yang terjadi tanpa kau teruskan.” Aku menangis meraung. Air mataku mengalir deras dan tak ada habisnya, seakan di sana ada samudra air mata. “Mulai sekarang jangan pernah melihatku lagi. lebih baik aku melihatmu mati minum ciu daripada engaku tidur dengan wanita lain.”
“Ana, maafkanlah aku! Kumohon, Ana! Aku mencintaimu. Waktu itu kuteringat kata-katamu bahwa kau tak sanggup melihatku sakit karena alkohol. Aku mengingatnya dengan baik. Aku tak mau melihatmu sedih. Aku senang ketika aku bisa menunjukkan wajah semangat saat kau pulang dan membersihkan rumah ini dari bau ciu yang memabukkan itu.”
Aku merindukan aroma ciu, tapi aku juga membencinya. Aku merindukannya dalam jumlah sedikit saja agar ia tak merusak diri Mas Dian dan bisa membentengi Mas Dian dari seks selama beberapa hari. Aku membencinya karena kehadirannya telah mengundang wanita sundal bernama Hesty yang merusak kerajaan rumah tanggaku.


Semuanya karena ciu, minuman bening yang memabukkan.

No comments:

Post a Comment

kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)

Followers