Wednesday 6 April 2016

Dialog dengan Tukang Ojek


            Seorang pria muda duduk di bangku pedagang kaki lima. Peluh mengucur di kening seorang pria muda yang berdandan rapi itu. Dikibas-kibaskan tangannya untuk sekedar menghilangkan rasa gerah. Debu-debu jalanan menempel di tubuhnya yang berkeringat.
            “Silakan, Pak,” seorang penjual memberinya segelas es degan.
            “Terima kasih.” Es yang diberikan langsung saja ditenggaknya, habis dalam sekejap. Bahkan rasa dingin sudah terkalahkan dengan udara panas metropolitan.
            Setelah membayar dipandanginya map yang terdapat di tangannya. Map berwarna biru itu sedikit lusuh karena dri kemarin di bawanya. Ia menghela napas, kegetiran melanda. Sudah beribu langkah ia lalui hingga siang ini. Namun belum ada satu pun yang berkenan.
            Pemuda itu melangkah lagi, meninggalkan pedagang kaki lima yang masih sibuk melayani penjual yang tak pernah habis. Langkahnya gontai karena kelelahan yang mendera. Di kanannya suara kendaraan tak pernah berhenti membisingkan telinga. Ada juga suara-suara pedagang kaki lima yang berseru menjajakan dagangannya. Tapi, ia merasa semua suara yang bising itu seakan mengejeknya. Mengejek kepahitan nasib yang ia jalani hari ini.
            Di depan sebuah gedung koperasi simpan pinjam, ia berhenti. Merapikan kemeja dan dasinya yang sedikit bergeser kemudian masuk ke dalam.
            “Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” sapa satpam yang menjaga pintu.
            “Siang juga, Pak. Begini, saya ingin melamar kerja di sini. Apakah masih ada lowongan?”
            “Aduh, mohon maaf, Mas. Di sini sudah tidak ada lagi lowongan. Mungkin Anda bisa mencari di tempat lain.”
            “Baiklah, Pak. Terima kasih.” Pemuda itu menjawab pasrah, berbalik lalu melanjutkan langkahnya lagi.    Di belakangnya, pak satpam masih menatapnya. “Sungguh pemuda yang malang,” katanya lirih.
            Sudah puluhan kantor dan gedung ia datangi hari ini, kemarin juga, dua hari yang lalu juga. Kantor dan gedung yang berbeda-beda, tapi jawaban yang hampir sama selalu ia dapatkan.
            Ia duduk di bangku yang ada di bawah pohon beringin, tak jauh dari kantor bank yang ia kunjungi tadi. Ia duduk di pos ojek. Dengan tersenyum ia menggeleng ketika ditawari ojek. Sekitar lima belas menitan ia duduk di situ. Memandangi jauh ke arah kendaraan yang lalu lalang. Lalu salah seorang tukang ojek menghampirinya, melirik map yang ia bawa.
            “Cari kerja ya, Mas?”
            “Iya, Pak.”
            “Bagaimana? Sudah dapat?
            “Belum, Pak. Masih mencoba.” Pemuda itu tersenyum, sekadar untuk membesarkan hatinya.
            “Kenapa tidak mencari lowongan di koran-koran saja? Kan banyak tuh.”
            “Sudah, Pak. Tapi sudah lama juga belum ada panggilan.”
            Pak Ojek mengangguk-angguk tanda mengerti. Lalu bertanya lagi, “Lulusan apa, Mas?”
            “Kesenian, Pak.”
            “Kenapa tidak menciptakan seni atau bergabung dengan kelompok seni?”
            Pemuda itu hanya tersenyum. Ia merasa tersinggung. Bukan ia tak mau, masalahnya bergabung di dunia kesenian untungnya juga tidak banyak. Kadang dapat uang, kadang tidak. Apalagi kalau musim sepi, bisa-bisa tidak makan apaa-apa. Ingin langsung bergabung di kesenian yang sudah tersohor, pasti sulit.
            “Anak saudara jauh saya ambil D3 tapi tidak tahu jurusan apa. Katanya setelah lulus ia langsung dapat kerja di kota kabupatennya.”
            “Mungkin memang belum rezeki saya, Pak.”
            “Kalau boleh tahu asalnya dari mana?”
            “Dari Sulawesi, Pak.”
            “Wah, jauh sekali ya. Segalanya itu emang perlu perjuangan, Mas. Jadi tukang ojek macam saya ini juga tidak enak. Apalagi sekarang orang-orang sudah punya kendaraan sendiri-sendiri. Mau cari kerjaan yang lebih baik paling juga tidak ada yang mau menrima lulusan SD macam saya ini. Tapi ya saya syukuri aja, Mas. Punya pekerjaan, tidak pengangguran. ”
            Untuk kedua kalinya pemuda itu merasa tersinggung. Ia sarjana tapi belum dapat pekerjaan dengan kata lain masih pengangguran. Ingin ia membela diri, tapi kata-kata Pak Ojek memang benar.
            “Pak, bisa mengantar saya di Jalan Kapur Sirih?” seorang wanita menyeru kepada Pak Ojek.
            “Bisa, Mbak. Selamat berjuang ya, Mas. Saya mau ngojek dulu,” Pak Ojek
            “Iya, Pak. Silakan.”
            Hari sudah menjelang sore. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan. Tapi malah rasa tersinggung dari kata-kata pak ojek tadi. Ia coba merenunginya dan ia sadar, untuk mendapat pekerjaan tidak harus menggantungkan diri kepada orang lain.

            Keputusan telah diambil. Besok ia akan bekerja dengan caranya sendiri.

No comments:

Post a Comment

kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)

Followers