
Setiap hari, kecuali
Minggu, aku selalu menghabiskan tiga puluh menitku dengan duduk membaca novel
di bangku ini. Novel yang kubaca macam-macam. Kali ini sebuah novel “Ayah” karya
penulis terkenal dari Belitong.
Sebenarnya ada hal lain
yang kulakukan di sini. Bukan cuma membaca novel, tapi juga membaca gerak-gerik
seseorang yang duduk di sebrang taman sana, di balik pohon srikaya. Ia selalu
sendiri dan tak pernah absen duduk di sana, seakan tempat itu sudah ditakdirkan
untuk didudukinya. Lalu seorang teman menedekatinya.
“Hai, Isya, sedang apa
kamu?”
“Ah, seperti biasa.
Mengisi tts siapa tahu dapat hadiah. Hehe...”
“Eh! Dapat hadiah dari
mana? Orang kamu tak pernah ngirim kok.”
“Hehe... bercanda lah.
Lagi pula ini cuma hobi. Mana jajan titipanku tadi?”
“Nih... hampir saja tadi
kehabisan. Kau tahu, anak-anak saling berebut hanya untuk mendapatkan sepotong
bolu kukus buatan bibimu itu. Kurasa bibimu lebih baik menjadi chef saja, Is.”
“Kali lain akan ku coba
katakan padanya.”
Cewek yang sering
dipanggil Isya itu adalah siswi angkatan sepuluh, adik kelasku. Dari segi
penampilan dia biasa saja. Rambutnya panjang terurai, kadang juga diikat. Ia
selalu memakai penjepit rambut berbentuk kupu berwarna ungu di rambut kirinya.
Meskipun jepit rambut itu sudah kelihatan rusak dan warnanya hampir pudar, tak
pernah sekalipun aku tak melihat jepit itu bertengger manis di kepalanya.
Itulah keunikannya.
***
Namaku Isya dan aku bukan
siapa-siapa kecuali seorang siswi kelas sepuluh di SMAN 1 Pati. Aku pun hanya
cewek biasa yang sehari-harinya berangkat sekolah dengan membawa bolu kukus
titipan bibiku. Dari sanalah bibi mendapatkan uang untuk membantu
menyekolahkanku.
Ayahku merantau di
Malaysia, tapi hingga sekarang tak diketahui kabarnya. Ibuku sudah meninggal
sejak aku kelas tiga SMP. Ia meninggal karena kecelakan waktu pulang dari
pasar. Saat itu kutemukan jepit kupu yang aku minta padanya sebelum ia
berangkat ke pasar. Sejak saat itulah aku selalu memakai jepit kupu ini, tak peduli
sudah berubah warna dan perekatnya sudah lepas berkali-kali. Jika memakai jepit
rabut ini, rasanya aku selalu dekat dengan ibu. Hal itu membuatku nyaman dan
berani menghadapi apapun yang akan mengahadang jalanku.
Di depan gerbang sekolah,
suara cowok memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan mendapatinya sedang
berlari ke arahku. Seragamnya sama denganku, tapi aku tak pernah melihatnya.
Entahlah.
“Apakah ini milikmu?”
Cowok itu menunjukkan jepit kupu yang sama dengan milikku.
Aku meraba rambutku. Di sana
sudah tidak ada jepit kupuku. Rupanya jepit itu jatuh dan dipungut cowok yang
sedang berdiri di depanku ini.
“Ya. Terima kasih sudah
menemukannya.”
“Sama-sama,” katanya lalu
bergegas pergi dengan motornya, bersama seorang wanita.
Belakangan aku tahu lelaki
itu bernama Nanda. Ia adalah kakak tingkatku, tepatnya kelas dua belas. Menurut
gosip yang kudengar ia sudah punya pacar, tak lain adalah wanita yang
diboncengkannya waktu itu. Mereka memang serasi dan......ah, kenapa aku harus
merasa resah.
Seperti biasa, aku selalu
mengisi tts majalah sembari duduk santai selama tiga puluh menit waktu
istirahat. Namun, kini aku punya kebiasaan baru. Di sela-sela mengisi tts, aku
melirik-lirik seorang cowok yang duduk di kursi taman. Ia asyik membaca novel.
Cowok itu adalah cowok yang pernah memberikan jepit kupuku.
“Hayooo, siapa yang kau
lirik?” mendadak Riza datang dan menyenggolku.
Ia menoleh ke arah
tempatku melirik tadi. “Apakah dia yang duduk di sana itu?” tanya Riza
kemudian.
“Apaan sih? Aku tidak melirik
siapa-siapa?”
“Yakin? Dia melihat ke
sini lho?”
“Yang bener kamu?” Aku
mengikutinya melihat ke arah seorang cowok tadi. Namun di sana ada orang lain.
“Mana? Dia berbicara dengan cewek gitu kok?”
“Tadi.”
Aku melihat gerak-gerik
mereka dan samar-samar mendengar apa yang mereka bicarakan. Jarak kami tidak
dekat, tidak juga jauh. Kulihat cewek yang disampingnya tampak bawel dan manja.
Sesekali dengan muka kesal ia menoleh ke arah pohon srikaya, tentu saja tidak
melihat kami persis.
“Pokoknya aku nggak mau
tahu!” jerit cewek itu. Lalu cewek itu pergi dan bel berbunyi.
***
Sepulang
sekolah aku sudah duduk di bawah pohon akasia, tempat favorit untuk memandang
Isya sebelum pulang dan membawa bayangan wajahnya. Namun, si pengganggu
tiba-tiba datang.
“Ayo pulang! Kenapa masih
di sini.” Lagi-lagi Dasha ngomel.
“Sebentar ah. Aku masih
menunggu seseorang.”
“Siapa sih?!”
“Udahlah diam. Biasanya
kamu juga pulang telat, tumben cepet.”
“Pokoknya aku pengen
cepet...”
“Ssttt... Diem!” Aku
menyuruh Dasha diam karena ku lihat Isya keluar gerbang menaiki sepedanya.
“Oh, dia. Kamu bla bla
bla......”
Aku tak peduli apa yang
dikatakan Dasha. Yang ada di pikiranku saat ini hanya Isya dan bayangannya yang
masih membekas, walau ia telah hilang di balik tikungan jalan itu. ia nampak
anggung menaiki sepedanya. Tapi sayang, ia tak menoleh kepadaku sejak tadi.
“Jadi dia yang selalu
membuatmu suka membaca di taman? Sejak kapan kau naksir?”
“Sejak dua bulan yang
lalu.”
“Kau yakin dia menyukaimu
juga?” Dasha menyindir.
“Entahlah.... Aku pun tak
tahu.”
***
ilustrasi Nanda yang kagum pada Isya |
Hari ini aku melihatnya
lagi. Rupanya ia suka duduk di bawah pohon akasia sebelum pulang sekolah. Baru
kali ini aku benar-benar memperhatikan. Tadi sebelum keluar gerbang sekolah aku
ingin menyapanya. Tapi gagal karena ku lihat seorang wanita berdiri di
sampingnya, tak lain adalah pacarnya sendiri.
Well, sebenarnya
aku tak perlu terlalu memikirkannya. Lagi pula ia hanya ingin menolongku dengan
mengembalikan jepit rambutku yang jatuh waktu itu. Ingat Isya, mungkin saat itu
jepitmu jatuh lalu dia melihat dan kemudian menyerahkannya padamu. Dia tak ada
maksud apa-apa.
Ah....
Lelaki yang berlari di
depan gerbang sekolah. Kamu selalu membuat malamku resah. Sayang sekali, kau
sudah ada yang memiliki. Mungkin aku hanya pantas menjadi cewek pengagum seni
karya Ilahi.
***
Isya, cewek jepit kupu
yang selalu membuatku rindu. Apa yang sedang kamu lakukan? Apakah kau
memikirkanku? Ah, aku terlalu berharap.
Mungkin jika tadi si Dasha
tidak menggangguku, aku bisa memandangi Isya sepuasnya. Lagi-lagi Dasha, kalau
bukan karena permintaan ibuku dan tante untuk berangkat sekolah dengannya, aku
sih ogah. Anaknya rewel begitu.
Andai Isya tahu, Tuhan,
bahwa aku menyukainya. Andai ia tahu bahwa setiap tiga puluh menitku ku habiskan
untuk mencuri pandang wajahnya. Andai ia tahu pula, aku selalu menunggu di
bawah pohon akasia, hanya untuk melihatnya pulang. Andai ia tahu, Tuhan, bahwa
sebelum tidur, bayangannya lah yang terakhir ada di pikiranku.
Andai saja ia tahu
bagaiamana perasaanku...
TAMAT
No comments:
Post a Comment
kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)