Wednesday 6 April 2016

Jepit Kupu Ungu

         Hasil gambar untuk jepit kupu illustration

             Hari yang begitu panas, sangat panas malahan. Beberapa anak terlihat membawa es di plastik, beberapa lagi duduk bercengkrama di bawah pohon. Mereka nampak merasa kepanasan, tapi sudah bisa berdamai dengan panas. Sedangkan aku, sendirian di bangku taman tak jauh dari mereka.
            Setiap hari, kecuali Minggu, aku selalu menghabiskan tiga puluh menitku dengan duduk membaca novel di bangku ini. Novel yang kubaca macam-macam. Kali ini sebuah novel “Ayah” karya penulis terkenal dari Belitong.
            Sebenarnya ada hal lain yang kulakukan di sini. Bukan cuma membaca novel, tapi juga membaca gerak-gerik seseorang yang duduk di sebrang taman sana, di balik pohon srikaya. Ia selalu sendiri dan tak pernah absen duduk di sana, seakan tempat itu sudah ditakdirkan untuk didudukinya. Lalu seorang teman menedekatinya.
            “Hai, Isya, sedang apa kamu?”
            “Ah, seperti biasa. Mengisi tts siapa tahu dapat hadiah. Hehe...”
            “Eh! Dapat hadiah dari mana? Orang kamu tak pernah ngirim kok.”
            “Hehe... bercanda lah. Lagi pula ini cuma hobi. Mana jajan titipanku tadi?”
            “Nih... hampir saja tadi kehabisan. Kau tahu, anak-anak saling berebut hanya untuk mendapatkan sepotong bolu kukus buatan bibimu itu. Kurasa bibimu lebih baik menjadi chef saja, Is.”
            “Kali lain akan ku coba katakan padanya.”
            Cewek yang sering dipanggil Isya itu adalah siswi angkatan sepuluh, adik kelasku. Dari segi penampilan dia biasa saja. Rambutnya panjang terurai, kadang juga diikat. Ia selalu memakai penjepit rambut berbentuk kupu berwarna ungu di rambut kirinya. Meskipun jepit rambut itu sudah kelihatan rusak dan warnanya hampir pudar, tak pernah sekalipun aku tak melihat jepit itu bertengger manis di kepalanya. Itulah keunikannya.
            ***
            Namaku Isya dan aku bukan siapa-siapa kecuali seorang siswi kelas sepuluh di SMAN 1 Pati. Aku pun hanya cewek biasa yang sehari-harinya berangkat sekolah dengan membawa bolu kukus titipan bibiku. Dari sanalah bibi mendapatkan uang untuk membantu menyekolahkanku.
            Ayahku merantau di Malaysia, tapi hingga sekarang tak diketahui kabarnya. Ibuku sudah meninggal sejak aku kelas tiga SMP. Ia meninggal karena kecelakan waktu pulang dari pasar. Saat itu kutemukan jepit kupu yang aku minta padanya sebelum ia berangkat ke pasar. Sejak saat itulah aku selalu memakai jepit kupu ini, tak peduli sudah berubah warna dan perekatnya sudah lepas berkali-kali. Jika memakai jepit rabut ini, rasanya aku selalu dekat dengan ibu. Hal itu membuatku nyaman dan berani menghadapi apapun yang akan mengahadang jalanku.
            Di depan gerbang sekolah, suara cowok memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan mendapatinya sedang berlari ke arahku. Seragamnya sama denganku, tapi aku tak pernah melihatnya. Entahlah.
            “Apakah ini milikmu?” Cowok itu menunjukkan jepit kupu yang sama dengan milikku.
            Aku meraba rambutku. Di sana sudah tidak ada jepit kupuku. Rupanya jepit itu jatuh dan dipungut cowok yang sedang berdiri di depanku ini.
            “Ya. Terima kasih sudah menemukannya.”
            “Sama-sama,” katanya lalu bergegas pergi dengan motornya, bersama seorang wanita.
            Belakangan aku tahu lelaki itu bernama Nanda. Ia adalah kakak tingkatku, tepatnya kelas dua belas. Menurut gosip yang kudengar ia sudah punya pacar, tak lain adalah wanita yang diboncengkannya waktu itu. Mereka memang serasi dan......ah, kenapa aku harus merasa resah.
            Seperti biasa, aku selalu mengisi tts majalah sembari duduk santai selama tiga puluh menit waktu istirahat. Namun, kini aku punya kebiasaan baru. Di sela-sela mengisi tts, aku melirik-lirik seorang cowok yang duduk di kursi taman. Ia asyik membaca novel. Cowok itu adalah cowok yang pernah memberikan jepit kupuku.
            “Hayooo, siapa yang kau lirik?” mendadak Riza datang dan menyenggolku.
            Ia menoleh ke arah tempatku melirik tadi. “Apakah dia yang duduk di sana itu?” tanya Riza kemudian.
            “Apaan sih? Aku tidak melirik siapa-siapa?”
            “Yakin? Dia melihat ke sini lho?”
            “Yang bener kamu?” Aku mengikutinya melihat ke arah seorang cowok tadi. Namun di sana ada orang lain. “Mana? Dia berbicara dengan cewek gitu kok?”
            “Tadi.”
            Aku melihat gerak-gerik mereka dan samar-samar mendengar apa yang mereka bicarakan. Jarak kami tidak dekat, tidak juga jauh. Kulihat cewek yang disampingnya tampak bawel dan manja. Sesekali dengan muka kesal ia menoleh ke arah pohon srikaya, tentu saja tidak melihat kami persis.
            “Pokoknya aku nggak mau tahu!” jerit cewek itu. Lalu cewek itu pergi dan bel berbunyi.
            ***
            Sepulang sekolah aku sudah duduk di bawah pohon akasia, tempat favorit untuk memandang Isya sebelum pulang dan membawa bayangan wajahnya. Namun, si pengganggu tiba-tiba datang.
            “Ayo pulang! Kenapa masih di sini.” Lagi-lagi Dasha ngomel.
            “Sebentar ah. Aku masih menunggu seseorang.”
            “Siapa sih?!”
            “Udahlah diam. Biasanya kamu juga pulang telat, tumben cepet.”
            “Pokoknya aku pengen cepet...”
            “Ssttt... Diem!” Aku menyuruh Dasha diam karena ku lihat Isya keluar gerbang menaiki sepedanya.
            “Oh, dia. Kamu bla bla bla......”
            Aku tak peduli apa yang dikatakan Dasha. Yang ada di pikiranku saat ini hanya Isya dan bayangannya yang masih membekas, walau ia telah hilang di balik tikungan jalan itu. ia nampak anggung menaiki sepedanya. Tapi sayang, ia tak menoleh kepadaku sejak tadi.
            “Jadi dia yang selalu membuatmu suka membaca di taman? Sejak kapan kau naksir?”
            “Sejak dua bulan yang lalu.”
            “Kau yakin dia menyukaimu juga?” Dasha menyindir.
            “Entahlah.... Aku pun tak tahu.”
            ***
Hasil gambar untuk secret admirer illustration
ilustrasi Nanda yang kagum pada Isya
            Hari ini aku melihatnya lagi. Rupanya ia suka duduk di bawah pohon akasia sebelum pulang sekolah. Baru kali ini aku benar-benar memperhatikan. Tadi sebelum keluar gerbang sekolah aku ingin menyapanya. Tapi gagal karena ku lihat seorang wanita berdiri di sampingnya, tak lain adalah pacarnya sendiri.
            Well, sebenarnya aku tak perlu terlalu memikirkannya. Lagi pula ia hanya ingin menolongku dengan mengembalikan jepit rambutku yang jatuh waktu itu. Ingat Isya, mungkin saat itu jepitmu jatuh lalu dia melihat dan kemudian menyerahkannya padamu. Dia tak ada maksud apa-apa.
            Ah....
            Lelaki yang berlari di depan gerbang sekolah. Kamu selalu membuat malamku resah. Sayang sekali, kau sudah ada yang memiliki. Mungkin aku hanya pantas menjadi cewek pengagum seni karya Ilahi.
            ***
            Isya, cewek jepit kupu yang selalu membuatku rindu. Apa yang sedang kamu lakukan? Apakah kau memikirkanku? Ah, aku terlalu berharap.
            Mungkin jika tadi si Dasha tidak menggangguku, aku bisa memandangi Isya sepuasnya. Lagi-lagi Dasha, kalau bukan karena permintaan ibuku dan tante untuk berangkat sekolah dengannya, aku sih ogah. Anaknya rewel begitu.
            Andai Isya tahu, Tuhan, bahwa aku menyukainya. Andai ia tahu bahwa setiap tiga puluh menitku ku habiskan untuk mencuri pandang wajahnya. Andai ia tahu pula, aku selalu menunggu di bawah pohon akasia, hanya untuk melihatnya pulang. Andai ia tahu, Tuhan, bahwa sebelum tidur, bayangannya lah yang terakhir ada di pikiranku.
            Andai saja ia tahu bagaiamana perasaanku...


TAMAT

No comments:

Post a Comment

kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)

Followers