Irlandia. Siapa yang tak mengenalnya? Negara uni eropa yang
berada di sebelah barat Britania Raya dengan bendera tiga warna; hijau, putih,
dan jingga. Merupakan salah satu negara yang pernah dijajah Inggris selama
delapan abad. Dibagi menjadi dua wilayah; Irlandia Utara dan Irlandia Selatan, yang mana Irlandia Utara
adalah bagian dari Britania Raya. Republik Irlandia berbatasan dengan Laut
Keltik di sebelah selatan, Samudra Atlantik di sebelah barat, dan Laut Irlandia
di sebelah timur.
Di negara inilah aku menetap sebagai pedatang dari
Indonesia. Tiga bulan sudah aku di sini sejak musim panas. Tidak
termasuk lama bila dibandingkan dengan penduduk sini yang sudah menetap
bertahun-tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun.
Keberuntungan menyapaku sejak aku menginjakkan kaki di tanah
dingin ini. Aku langsung mendapat tempat tinggal sederhana yang indah di sebuah
desa di lereng gunung. Bekas rumah seorang gadis penjual bunga yang kesepian
dan kini telah menemukan cintanya. Rumah ini mungkin dibangun leluhurnya sejak
masa penjajahan. Hal itu ku ketahui dari konstruksinya yang mirip dengan
rumah-rumah orang British di abad delapan belas.
Sayangnya di sini aku tinggal
sendirian, tanpa teman. Melakukan rutinitas yang lama-kelamaan menjadi sesuatu
yang menyebalkan; minum kopi di pagi hari, menjadi mahasiswa di salah satu
Universitas di Irlandia, pulang sore atau menonton sinema hingga malam,
mengerjakan tugas kuliah, tidur hingga kembali pagi. Begitu seterusnya selama
tiga bulan ini. Tak ada yang lain dan hampir membuatku mati karena bosan.
Selama tiga
bulan ini aku telah mengenal seluruh tetanggaku, tapi ada satu yang belum ku
ketahui bagaimana kehidupannya. Dan anehnya mereka justru tepat berada di
sebelah utara rumahku. Jaraknya hanya dua meter dari tembokku sebelah utara.
Asap putih bersih mengepul-ngepul di
hadapanku. Meliuk-liuk seakan menggodaku. Timbul dari cairan lalu menghilang
berbaur dengan udara. Cairan panas itu berada dalam cawan cantik warna biru
kristal, tak lain adalah kopi hangat. Minuman wajib di pagi hari. Ditemani
secangkir kopi hangat dan roti tawar dengan selai nanas, aku biasa menikmati
suasana pagiku. Berdiri santai di balkon sambil menikmati pemandangan. Jauh di
sebelah barat laut sana, arah jarum jam dua, sebuah gunung cantik bertengger.
Gunung itulah pemandangan sekaligus background kotaku. Walau tidak termasuk
gunung yang terkenal, tapi pemandangannya nampak indah dilihat dari kejauhan.
Mentari masih tersenyum malu-malu di
balik semburat awan jingga. Udara dingin serasa menembus kulitku, menjalar di
setiap aliran darahku, menusuk-nusuk tulangku. Temperatur di
sini sekitar 13 derajat celcius. Aku menegak kopiku untuk menguangi hawa dingin.
Satu dua teguk cukup menghangatkan kerongkongan. Aku mengalihkan perhatian ke
jendela tetanggaku yang berada tepat di depanku. Jendela kayu dengan ukiran bunga anyelir itu seperti
menyimpan rahasia. Gorden hitam dengan titik merah marun itu tak pernah tersibak,
apalagi terbuka. Tak pernah sekali pun aku melihat
si empunya membuka jendela itu. Bahkan hanya menyibakkan gorden juga tak apa.
Setidaknya aku tahu siapa seseorang di balik jendela itu.
Memang membuat penasaran bila punya tetangga dekat rumah,
tapi tak pernah melihat orangnya. Jangankan orangnya, sesenti wajahnya pun aku
tak pernah melihat. Hanya suara-suara dengan nada menghardik dan mengibalah
yang selalu menjadi themesong-nya. Seperti tak pernah bahagia.
Begitulah hipotesaku atau anggapan sementara terhadap mereka. Percekcokan
mereka tak pernah mengenal waktu, tak peduli pagi, siang, sore, dan malam,
mereka selalu beradu mulut. Suara bariton dari seseorang selalu
bernada menghardik dan mencela, sedangkan suara sopran -dari lawan bicaranya-
hanya bisa memelas dan merintih. Aku sungguh terharu mendengarnya
Di kala aku
sedang sendiri, aku sering mengira-ngira hubungan antara dua orang tetanggaku
itu. Mungkin mereka pasutri, anak dengan bapak, istri simpanan, atau mungkin
majikan dengan pembantu. Yah, walau ku tahu anggapan di atas mungkin tak ada
kaitannya sama sekali dengan mereka. Akan tetapi, begitulah.
Suatu ketika di pagi buta, aku melihat
samar-samar seseorang keluar dari rumah tetanggaku itu. Ia memakai jaket hoody yang tebal untuk melindungi
dirinya dari dinginnya salju yang turun. Aku tak tahu apakah ia pria atau
wanita. Dan sehari itu aku tak mendengar lagi percekcokan yang menakutkan.
Jangankan teriakan, suara berdehem atau batuk pun aku tak mendengarnya. Benar-benar
keajaiban, bukan?
Esoknya suasana sepi masih menyelimuti rumah itu. Aku tak
ambil pusing. Lagi pula aku bisa merasa sedikit tenang tanpa pertengkaran
mereka. Dan suasana seperti ini baru ku rasakan sejak aku pertama kali
menginjakkan kaki di sini. Kini aku tahu kenapa gadis penjual bunga itu begitu
ingin cepat pergi ketika aku menanyakan rumahnya. Alasannya jelas, ia tak betah
tinggal di rumahnya sendiri dan bertetangga dengan mereka.
Seminggu
berlalu dan rumah itu masih tetap sepi. Rumah kuno bergaya klasik dan bercat
seperti buah manggis itu menambah kesuraman suasana. Aku jadi semakin curiga. Jangan-jangan orang yang keluar
rumah di pagi buta itu telah membunuh lawan bicaranya.
Hari itu turun salju sangat lebat dan aku mengambil cuti sehari dari kuliahku.
Sehari, tak apalah. Asal tidak sampai seminggu. Aku, yang memang belum pernah
merasakan bagaimana dinginnya salju, nekat ke beranda untuk melihat dan
merasakannya. Pasti akan sangat dingin, batinku.
Seolah melihat permata yang bertengger di singgasana, mataku terbelalak dan
tenggorokanku tercekat. Tak kusangka ia muncul di balik jendela ukiran bunga
anyelir itu! Meremas-remas gorden jendela. Pemandangan ini ku anggap sebagai
anugerah emas dari Tuhan. Akhirnya aku bisa melihatnya setelah merasa menjadi
manusia paling penasaran di muka bumi selama tiga bulan.
Aku rasa dialah wanita yang mempunyai suara sopran memilukan itu. Sekarang
aku tahu apa penyebab pertengkaran mereka. Pasti karena si wanita itu berkulit
putih bak salju dan berpupil agak kemerahan, serta bibir tipis dengan warna
semerah darah. Ya, itulah mengapa seseorang dengan suara bariton itu selalu
menyebutnya "ANAK SETAN".
Ia terkejut melihatku sedang
mengamatinya, dan aku akui aku terpesona olehnya. Buru-buru ia menutup gorden
dan jendelanya. Ku rasa jendela itu adalah jendela kamarnya.
Aku
mengumpulkan semua pengetahuan yang ku punya. Lalu ku kaitkan antara dirinya
yang begitu berbeda dengan orang-orang sekitar dan dirinya tak pernah keluar
rumah. Itu terbukti ketika ia hanya membuka jendela di musim salju dan tak
pernah membuka jendela ketika musim gugur tiga bulan lalu. Apakah ia termasuk pengindap.....
Apa ya? Kok aku lupa.
"Sedang membaca apa?" Tanya seseorang yang kemudian
duduk bersebrangan dariku.
"Buku," jawabku indifferent.
"Ya. Aku tahu. Maksudku tentang
apa?" Ia
bertanya lagi.
Ia diam sebentar menunggu jawabanku. Beberapa detik kemudian
akhirnya ia menyerah karena aku tak menanggapi pertanyaannya. Ia membalik buku
yang ku baca untuk melihat sampulnya.
"Aku tak mengerti, kau membaca
tentang fobia? Bukankah kau mengambil S2
astronomi?"
"Itu bukan urusanmu," jawabku
ketus dan meliriknya sepintas.
"Baiklah. Aku pergi."
Ah, akhirnya ia pergi juga, batinku.
Wanita Swiss itu membuatku kesal. Ia selalu ingin
tahu apa pun tentang diriku. Di matanya seakan aku tak punya privasi.
Setelah selesai membaca buku tentang
fobia, aku mendapat jawaban yang bisa mendukung hipotesaku. Menurut buku yang
ku baca di perpustakaan tadi, aku menduga ia -tetanggaku- mengindap Heliophobia, yaitu fobia atau takut berlebihan terhadap
matahari. Pantas saja ia tampak kurang sehat. Ia tak pernah kena sinar matahari
langsung.
Pagi ini masih seperti pagi seminggu
yang lalu. Sepi. Dan aku telah siap siaga berdiri di balkonku sejak setengah
jam tadi. Tak lain
hanya untuk melihatnya membuka tirai yang berada tepat di depanku itu. Aku
ingin sekali melihatnya untuk yang kedua kalinya. Kali ini aku akan menunjukkan
wajah ramahku, bukan wajah terpesonaku saat pertama melihatnya. Tujuanku tak
lain hanyalah agar aku terkesan ramah baginya sehingga aku mudah mengenalnya.
Setelah itu, aku bisa menguji hipotesaku.
Namun satu jam hampir berlalu dan tak ada tanda-tanda
kemunculannya. Aku dilanda putus asa. Mungkin hari ini aku tidak menjumpainya,
tapi tidak untuk lain kali. Dan... Apa pun yang terjadi, aku akan menunggu!
Kali ini aku lebih pagi dari kemarin. Ku harap, sangat
berharap ia muncul dari balik jendela anyelir itu. Sesekali aku memandang ke
arah jendelanya di sela-sela hilir mudikku. Aku semakin tak sabar dan ingin
segera melihatnya.
Seperempat jam lagi aku akan telat
kuliah kalau tetap menunggunya. Jadi, ku putuskan untuk menyerah saja. Lagi
pula pagi ini tidak turun salju, hanya mendung. Dan....bukankah ia dulu muncul
ketika salju turun?, pikirku. Mungkin saja ia mengagumi keindahan turunnya
salju, bukan panasnya sinar mentari. Ya! Pasti begitu.
Yang menjadi masalah ialah kenapa salju
tak kunjung turun. Sudah tiga hari dari hari terakhir turunnya salju. Semua
orang tahu kalau tiga hari bukanlah waktu yang lama, tapi bagi orang-orang yang
menunggu rasanya sangat lama. Ya, dan aku termasuk salah satu orang-orang yang
menunggu. Ku rasa ia juga tak sabar.
Akhirnya butiran-butiran putih yang
selalu ku nantikan turun juga. Tak ambil tempo, aku segera menuju ke balkon
hanya dengan kaos tipis dan celana pendek yang tadi ku pakai tidur. Aku tak
peduli dengan dinginnya salju. Aku tak peduli ini pukul dua malam. Dan aku tak
peduli dengan tindakan gilaku ini.
Otakku hanya dipenuhi satu pikiran,
satu perasaan, dan satu harapan. Hanya gadis itu yang kupikirkan. Hanya perasaan tak sabar
yang membuat jantung berdebar. Dan hanya harapan ia segera muncul dibalik jendela
anyelir itu.
Senyum terkembang di kedua sudut bibirku. Yah! Akhirnya ia
muncul di balik jendela kamarnya. Matanya menerawang ke atas dan mengagumi
turunnya butiran-butiran putih nan indah itu. Sekilas ku lihat seberkas senyum
di sudut bibirnya yang semerah darah. Akhh!!! Ia benar-benar mempesona.
Kehadiranku tak terlalu
mempengaruhinya. Buktinya ia tetap berdiri di sana tanpa merasa terganggu. Ia
terlalu asyik mengagumi salju sehingga ia tak peduli pada apa pun, bahkan pada
diriku yang tengah berdiri di depannya dengan jarak beberapa meter saja tanpa
bidang batas seinci pun. Sungguh pecinta salju. Si Heliophobia yang jatuh cinta pada salju.
@ The End @