Kekesalan Sarah mencuat lagi. Orang itu selalu saja menguntit dirinya dan
membuatnya tak nyaman.
“Tak bisakah kau berhenti menjadi penguntit, Andi?” Tanpa menoleh, Sarah
berteriak kesal.
“Karena aku senang di sampingmu,” jawab seseorang di belakangnya.
“Kenapa kau senang di sampingku?” Kali ini ia berbalik 180 derajat dan
menatap tajam pada seseorang yang tak asing lagi baginya.
“Karena aku merasa nyaman,” ucapnya dengan sorot mata yang tulus, berharap
orang yang menatapnya akan luluh.
“Hentikan atau kepalamu akan kuremuk!!!”
Andi maju beberapa langkah, pelan-pelan
hingga berada tepat di depan Sarah. Sarah sendiri sudah siap menampar pipinya,
tapi ia kalah cepat dengan tangan Andi yang menghalangi. Dengan berbisik, Andi
mengatakan sesuatu. “Jangankan kepala, seluruh tubuhku pun boleh kau remuk.
Asal jangan kau remukkan hatiku yang hanya sekeping.”
“Cut! Akting yang bagus.” Sutradara memberi dua jempol untuk mereka,
pertanda kalau ia puas. Beberapa crew juga memberikan tepuk tangan.
Andi dan Sarah menyudahi akting mereka dan menuju tempat istirahat. Air
mineral yang dilemparkan Andi pada Sarah langsung ditangkap dan diminum.
“Akting yang bagus,” puji Andi.
“Terima kasih. Kau juga,” pujinya dengan senyum, kontras sekali dengan kemarahannya
bak singa lapar.
Andi menyenggol bahu Sarah saat melihat sebuah mobil Mazda CX-5 warna merah
merayap menuju lokasi syuting. Yang disenggol menoleh padanya dengan penuh
tanda tanya. “Hey, lihat siapa yang datang!”
Sarah mengikuti arah pandang Andi dan menemukan sosok pangeran di sana.
Refleks ia berteriak “hay” pada seseorang yang keluar dari mobil itu yang
langsung disambut dengan lambaian tangan. Orang yang berperawakan kekar dan
berpenampilan perlente itu adalah calon suaminya. Ia datang menghampiri Sarah
yang sudah berdiri menunggu.
“Hai, Sayang. Bagaimana syutingmu?”
“Sutradara puas,” jawabnya sedikit manja.
Andi menghampiri mereka berdua dan menjabat tangan calon suami Sarah.
“Selamat ya, kudengar kalian akan menikah tiga hari lagi. Semoga kalian adalah
orang yang tepat bagi satu sama lain.” Andi memberikan ucapan yang disertai
sedikit senyuman.
“Aku dan Hery merasa saling membutuhkan dan kuyakin ia adalah pilihanku.”
Sarah menatap Hery yang sudah menatapnya lebih dulu. Tatapan mereka beradu
sesaat sebelum Hery menawarkan ajakan pulang yang langsung disambut anggukan
kepala Sarah.
@@@
Gaun pengantin putih satin masih menggantung rapi di sudut kamar. Sembari
menyisir rambutnya, ia memandangi dan membayangkan betapa anggun dirinya dalam
balutan gaun itu. Ya, tiga hari lagi ia akan melepaskan gelar single dan
menambahkan nama Susanto di belakang namanya menjadi Sarah Susanto. Ia pun
mengulum senyum bahagia yang menampilkan sederetan gigi putihnya.
Ah, kenapa tiga hari terasa sangat lama? Padahal dulu waktu sekolah, tiga
hari menjelang masuk terasa sangat cepat. Aku membayangkan betapa gagahnya Hery
dalam balutan tuxedo hitam. Pasti ia sukses membuatku ternganga. Lagi-lagi ia tersenyum, menatap dirinya di kaca dan
memilin-milin rambutnya. Kalau begitu aku juga harus tampil cantik di
hadapannya.
Sarah beranjak menuju tempat tidur dan menarik selimutnya. Namun niatnya
batal tatkala melihat sesuatu tergeletak di lantai. Ia segera beranjak dan
memungutnya. Selembar kertas yang dilipat berisi tulisan dengan tinta merah
bercahaya.
“Siapa pun yang menerima surat ini, aku pastikan ia akan mati di hari
pernikahannya, kecuali bila ia membatalkan pernikahannya.”
Deg! Apa-apaan ini? Teror macam apa ini? Siapa yang tega merusak
kebahagianku? Benar-banar tak punya hati.
@@@
Siang ini Sarah datang menemui Hary yang sedang bekerja di kantor dan
mengajak makan siang bareng. Ia akan menunjukan surat teror yang didapatnya
tadi malam. Hery sendiri tak mengerti setelah membaca surat itu. Pasti
seseorang yang membenci pernikahan mereka ada di balik semua ini.
“Kau tak perlu khawatir. Pasti ini ulah orang yang tak suka kita bahagia.
Lagi pula kau harus yakin bahwa hidup dan mati adalah kuasa Tuhan,” hiburnya
pada Sarah yang menangis di sampingnya.
“Jika aku harus mati, setidaknya aku mati setelah kita punya banyak anak
dan cucu yang lucu-lucu.”
“Iya, kita akan punya banyak anak dan cucu yang lucu-lucu. Lebih baik kau
pulang dan jaga dirimu baik-baik. Jangan lupa berdoa untuk kesuksesan
pernikahan kita. Ingat, Tuhan bersama kita dan Dia tahu yang terbaik buat
umatnya.”
Hati Sarah sedikit lega mendengar penuturan Hery. Ia tak boleh percaya
begitu saja pada tipuan kelas teri macam itu. Ia harus yakin pada dirinya bahwa
semuanya akan baik-baik saja.
“Lalu, kita apakan surat ini?”
Hery mengambil kertas itu lalu mengeluarkan batang korek dan membakarnya
hingga habis tak tersisa. “Sekarang tak ada lagi yang akan menteror kita. Lagi
pula kita tak punya waktu untuk hal remeh temeh seperti ini.”
“Terima kasih, Hery. Karnamu aku jadi merasa lebih baik. Kalau begitu aku
pulang dulu.”
“Hati-hati,” pesannya.
“Tentu,” balasnya yang diikuti dengan jejaknya yang hilang dibalik kaca
mobil.
Sebenarnya Hery ingin mengantarnya pulang, tapi dokumen-dokumen penting
sudah menanti sejak ia tinggal makan siang dengan Sarah. Mereka sudah tak sabar
untuk dibelai-belai kembali.
@@@
Beberapa hari ini Sarah tampak pucat.. Ia masih saja memikirkan surat merah
yang datang tak diundang kemarin malam. Meski ia sudah dinasihati Hery, tetap
saja memori mengenai pesan dari surat itu masih tereingat jelas. Sarah jatuh
sakit selama beberapa hari dan hampir saja masuk rumah sakit. Untung saja
keyakinannya untuk sembuh dan bahagia di hari pernikahannya tidak goyah
sehingga ia berangsur-angsur pulih.
Tepat di hari H suasana meriah dan mewah terpancar dari rumah sang mempelai
wanita. “Bagaimana dekorasinya, Pak?” tanya Ayah Sarah pada sang desainer
interior.
“Semua beres, Pak. Beberapa karangan bunga berisi ucapan “Happy Wedding ”
dan sejenisnya tertata rapi di halaman rumah. Mansion rumah sudah ditata dengan
desain interior elegan. Saya yakin, baik tamu maupun mempelai akan puas dan
merasa nyaman.”
“Bagus. Lanjutkan pekerjaanmu. Aku akan kembali ke dalam.”
Di kamar, kecantikan Sarah terpantul dari cermin melebihi kecantikan
Afrodit – dewi yang terkenal cantik dalam mitologi Yunani. Dalam balutan gaun
satin ini, kecantikan dan keanggunannya terpancar. Setelah penataan terakhir
dengan memasang jepit di rambutnya, Sarah siap turun ke bawah untuk
melaksanakan upacara pernikahan.
“Kau pasti akan baik-baik saja. Ibu yakin.” Supportnya dengan
dibalas anggukan pelan Sarah.
Prosesi upacara pernikahan berjalan lancar seperti yang diharapkan. Semua
orang dalam balutan pakaian putih di ruangan itu memberikan ekspresi bahagia.
Mereka ikut merasakan perasaan bahagia kedua mempelai tepat setelah mereka
selesai mengucapkan janji suci.
“Apa aku bilang? Jangan percaya
dengan tipuan. Mati dan hidup adalah milik Tuhan.”
Sarah tersenyum melihat Hery yang nyengir kuda. “Sekarang aku tak takut
bila seandainya malaikat maut akan menjemputku karena aku yakin kau akan
melawannya...”
“Ssstt... jangan lagi ucapkan itu.” Hery menempelkan jarinya di bibir
mungil Sarah. “Atau aku akan...” Yah, kalian pasti akan tahu sendiri apa yang
akan mereka lakukan, apalagi pasangan yang baru saja menikah beberapa menit
lalu.
Belum sempat Hery menjalankan niatnya, seseorang datang menyelonong tanpa
permisi dan berteriak. “Apakah kalian sudah menikah?” pertanyaan bodoh yang
hanya ditanyakan orang tak waras itu pun keluar dari mulutnya.
“Apa maksudmu, Andi?” tanya Sarah
“Seperti yang kau lihat, kami sudah resmi menjadi suami istri,” jawab Andi.
“Sarah, maafkan aku.”
“Untuk apa? Kau tak salah apa-apa. Kenapa minta maaf?”
“Aku yang mengirimkan surat merah padamu beberapa hari lalu agar kau
membatalkan pernikahanmu. Maafkan aku, aku menyesal telah melakukan ini padamu.
Seharusnya aku bisa melihatmu bahagia karena aku mencintaimu...” Beberapa orang
terpekik mendengar pengakuan terlarang dari Andi, tapi Andi cuek saja dan tetap
menyatakan perasaannya. “Aku tahu aku salah. Aku mungkin tak pantas berada di
sini dan mengacaukan pestamu. Namun, ini justru lebih baik daripada aku harus
menyimpan kebohongan ini sendiri. Meski cintaku padamu tak pernah terbalas,
setidaknya engkau sudah tahu dan setelah itu kau boleh mengabaikannya. Aku
pergi. Permisi.”
“Tunggu! Jangan pergi dulu, Andi.” Dengan susah payah Sarah berlari menuju
Andi yang sudah berjalan sampai pintu. Tanpa permisi ia memeluk Andi dan
menangis. “Walau kau telah menjahatiku, kau tetap sahabatku. Aku senang kau mau
jujur. Aku akan tetap menganggapmu sebagai sahabatku sampai kapanpun.”
“Terima kasih, Sarah.”
“Semoga kau segera menemukan separuh jiwamu.”
Kedua sahabat itu berpelukan lagi dan seakan merekalah pengantinnya. Hery
sendiri masih berdiri tanpa mampu melakukan sesuatu, bahkan melarang Sarah. Ia
memang istrinya, tapi bukan berarti ia bisa membatasi hak istrinya.