Disandra Gendruwo???
"Kamu tunggu di sini sebentar, ya."
"Eh, tapi..."
"Sebentar aja kok."
"Tapi kamu mau kemana?"
"Cuma mau beli minuman. Aku haus."
"Tapi, aku ta..."
Sebelum menyelesaikan kata-katanya, Alfre sudah pergi. Kini Ninda
sendirian di taman. Duduk termenung memandangi rembulan sambil
menyilangkan tangannya di dada.
"Al, jangan lama-lama ya. Aku takut di sini," gumam Ninda lirih.
# 30 menit kemudian #
"Al, kamu kemana sih? Kok belum datang juga. Katanya tadi sebentar, tapi aku sudah 30 menit menunggumu."
Ninda mulai resah karena Al belum muncul juga. Ninda melirik jam tangannya dan jarumnya menunjuk angka sembilan dan tiga.
"Al, kamu tau gak sih kalau aku takut sendirian di malam hari. Aku
memang berani kalau disuruh melawan para preman sekolah, tapi bukan
berarti aku juga berani sendirian di malam hari seperti ini."
"Al, kamu dengar gak sih panggilan hatiku? Atau jangan-jangan kamu kenapa-kenapa lagi di jalan? Ah kayaknya nggak mungkin."
Kemudian terdengar suara burung hantu yang mengerikan dan angin
malam menerpa pepohonan membuat suasana menjadi tambah menakutkan.
"Ups.. Suara apa itu? Jangan-jangan setan datang lagi."
"Taman ini membuatku ngeri. Pokoknya kalau sampai jam setengah sepuluh kamu gak datang, aku terpaksa pulang Al."
Akhirnya Ninda pulang juga karena tak betah sendirian di taman.
# Pulang Sekolah #
"Sis, kamu tau gak Ninda dimana?" tanya Al pada Siska, teman Ninda.
"Ngapain kamu nanyain dia? Bukannya kamu sudah gak peduli?"
"Si...siapa bilang aku gak peduli?"
"Emang sih kamu gak bilang, tapi meninggalkan pacarnya sendirian di taman malam itu namanya peduli?"
"Tau darimana kamu?"
"Itu gak penting. Yang perlu kamu tahu, Ninda itu takut sama kegelapan."
"Jadi semalam dia ketakutan?"
"Heh...!! Menurut lo..?!"
"Duh bego banget sih aku." Alfre menepuk-nepuk jidatnya sendiri.
"Trus sekarang dia di mana?"
"Cari aja sendiri..!!"
Siska langsung ngeloyor pergi dan Al masih berdiri di tempatnya. Namun akhirnya ia beranjak juga dari situ.
"SREEKK..."
Sebuah benda mengenai kaki Al. Eh salah, maksudnya kaki Al mengenai benda itu. Ia merunduk dan memungut benda itu.
Sebuah buku....??
Buku diary...??
Milik Ninda...??
Al menaikkan sebelah alisnya lalu membuka lembar demi lembar diary
Ninda. Ketika sampai di diary terakhir Ninda, ia berhenti dan
membacanya.
" Tega kamu Al ninggalin aku sendirian di taman. Kamu gak tau ya
kalau aku takut sendirian di kegelapan. Kamu mana tau, aku kan gak
pernah cerita. Kepalamu itu berisi apa, sih? Aku kan cewek wajar dong
kalau aku takut. Masa kamu gak takut sih kalau pacarmu yang manis ini
disandera gendruwo, atau digodain pocong, atau dimintai uang tuyul yang
tertawa memamerkan gigi mereka yang menjijikkan. Ah sudahlah, cowok
kayak kamu mana tau."
"Ya, Tuhan! Jadi bener apa yang dikatakan Siska. Kalau sampai nanti
Ninda tak memaafkanku, aku juga tak akan memaafkan diriku sendiri."
Al bergegas lagi mencari Ninda. Setelah mencari kesana kemari, ia
akhirnya menemukan Ninda duduk di bawah pohon. Ninda sedang
mengorek-ngorek tasnya mencari sesuatu.
" Kamu mencari ini?" tanya Al sembari menyodorkan diary Ninda.
Ninda menengadah dan melihat Al membawa diarynya kemudian mengambilnya dari tangan Al.
"Terima kasih," kata Ninda acuh tak acuh.
"Kamu marah?" tanya Al lirih.
Ninda diam saja.
Sejurus kemudian Al sudah berjongkok di depan Ninda.
"Hei, kamu menangis?"
"Tidak."
"Tapi kenapa matamu sembab begitu?"
"I...ini...ini hanya kurang tidur semalam."
"Aku tau kamu berbohong. Tadi aku membaca diarymu dan aku benar-benar menyesal. Maukah kamu memaafkanku?" tanya Al penuh harap.
"Maaf, aku harus pergi."
Ninda langsung beranjak pergi, namun langkahnya tehenti ketika Al meraih lengannya.
"Tunggu Ninda! Apakah kamu memaafkanku?"
Ninda terdiam.
"Aku berjanji, aku tak akan mengulanginya lagi. Sungguh," lanjutnya.
"Sekali lagi maafkan aku. A...aku...aku tidak bisa menolak permintaan maafmu."
"Serius..??! Kamu memaafkanku...?!"
"Kamu pikir apa lagi?" tanya Ninda kesal.
"Oh, terima kasih Tuhan. Aku benar-benar menyayangimu."
Spontan Al memeluk tubuh Ninda erat-erat.
"Hei, pelan dong! Aku tak bisa bernapas."
"Oh, maaf. Baiklah kalau begitu aku akan mengantarmu pulang dan kamu bebas memilih tumpangan yang kamu suka."
"Yakin dengan tawaranmu itu?"
"Tentu saja."
"Baiklah. Aku memilih naik ke punggungmu."
Ninda langsung menaiki punggung Alfre tanpa persetujuan dari Alfre.
"Hei, kamu gila..?! Masa aku harus menggedongmu sampai rumah?"
"Udahlah. Anggap saja ini impas karena kamu meninggalkanku di taman tadi malam."
"Baiklah."
Mereka pun kembali lagi seperti biasanya. Tawa, tangis, sakit hati,
cemburu dan rindu adalah teman mereka sehari-hari. Namun semua itu tak
membuatnya bertengkar, malahan jadi semakin sayang. Semoga kita juga
seperti mereka berdua.
*THE END*
No comments:
Post a Comment
kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)