Seseorang duduk menunduk memandang lantai dipojok kelas dengan ekspresi hampa. Kadang kala dia tampak sangat takut.Pikirannya kemana-mana meski setiap hari dia tak pernah beranjak dari tempatduduknya, kecuali saat-saat tertentu. Matanya yang polos mengundang rasa ibasemua orang yang melihatnya. Kedua belah bibirnya selalu terkatup menyembunyikan senyum, seakan tak ada orang yang berhak melihatnya tersenyum.Dia memang masih hidup, tapi ketika kau melihatnya dia tak ubahnya mayat hidup.Bibirnya pucat dan kadang dia berkeringat walau tidak panas. Jiwanya sakaratul maut. Hampir mati.
Ini sudah menjadi kebiasaannya sejak beberapa bulan yang lalu. Meski tak ada orang yang tahu kapan tepatnya dia menjadi seperti itu. Tidak oleh teman sebangkunya, tidak pula oleh kedua orang tuanya.
Wajar saja kalau kedua orang tuanya tak tahu, karena dia selalu nampak biasa-biasa saja dirumah. Dia tetap anak baik dan selalu patuh terhadap nasihat orang tuanya.Namun, lain di sekolah. Dia akan menjadi pemurung sepanjang hari. Wajahnya yang selalu muram itu juga telah membuat teman sebangkunya cemas padanya.
Seseorang bertubuh jangkung di atas rata-rata menghampirinya. Ia tak lain adalah Madi, teman sebangkunya. Melihat teman sebangkunya menjalani rutinitas sehari-harinya itu, Madi jadi prihatin.
"Ah,"Madi mendesah. "Mimpi buruk lagi?" tanyanya disusul duduk di dekat temannya itu.
Yang ditanya mengangguk pelan, nyaris tak terlihat karena ia mengangguk sambil menunduk. Menunduk seperti tadi.
"Aku sebetulnya prihatin melihat kondisimu, Ang," tukasnya pada Aang, nama teman sebangkunya itu. "Menurutku, apa yang kamu hadapi ini bukanlah masalah sepele. Makin lama bisa menjadi great disaster bagi dirimu. Bencana besar! Kau tahu itu?" ujarnya tak main-main.
Dia, yang sering dipanggil Aang itu, hanya tertunduk lesu. Dia menganggap semua perkatan Madi hanyalah angin lalu. Karena apa? Karena dia sering mendengar Madi mencemaskannya.
"Sepertinya, masalahmu itu harus segera diatasi. Aku takut kalau masalah itu semakin lama bersemayam dalam otakmu...," dia mengambil jeda sebentar lalu menambahkan,"bisa-bisa kamu jadi GILA!" Dia memelankan suaranya di telinga Aang,takut kalau-kalau ada orang yang mendengarnya.
"Huh...,"Aang mendesah panjang. Dia benar-benar kalut campur takut. Omongan Madi ada benarnya juga, pikirnya.
"Entahlah. Aku sudah tak sanggup. Aku lelah sebenarnya hidup dalam kekangan yang menyiksa seperti ini. Aku sudah kehabisan akal untuk mencari solusi. Mungkin narkoba bisa menjadi solusi yang tepat," katanya lemah, nampak sekali betapa diasudah tak sanggup hidup dalam kekangan mimpi buruknya.
"JANGAN! Jangan pernah kamu melakukan itu! Itu sama saja dengan kamu keluar dari mulut kobra dan masuk lubang neraka! Menyebutnya saja aku enggan, apalagi memakainya.Kumohon, teman. Jangan lakukan itu. Aku akan membantumu mencari solusi,"ujarnya.
"Aku harap begitu," katanya patah semangat.
Madi menepuk-nepuk bahu kanan Aang. "Kita pasti bisa cari solusi yang tepat.Kamu akan segera bebas dari siksaan mimpimu. Aku yakin, kita bisa!" Madi melontarkan kata-kata motivasi untuk membakar semangat Aang.
Semenjak percakapan singkat itu, Aang dan Madi menyibukkan diri untuk mencari solusi. Ekspedisi pencarian solusi mereka lakukan di berbagai tempat. Di kantin, di TU, di ruangguru, di perpustakaan, di tempat parkir, di lapangan sekolah, dan dilaboratorium. Tak jarang mereka melakukan ekspedisi di hutan, sawah, sungai,jalan raya, pasar, dan pantai. Kekonyolan-kekonyolan bertimbulan menghiasi ekspedisi mereka.
Suatu sore di Hari Kamis malam Jum'at Wage, Madi nampak lari tergesa-gesa menuju rumahAang.
Dia akan menyampaikan sesuatu yang amat penting. Sebuah solusi yang bisa disebut "jitu" untuk dicoba. Madi Nampak tidak sabar dan dia mempercepat lajul arinya. Keringatnya bercucuran di dahi dan lehernya.
"Aang...Aang...," serunya. Saking girangnya, di halaman rumah Aang dia berteriak-teriak. "Aku punya solusi jitu. Kamu harus coba. Ini pasti akan berhasil. Aku yakin."
Mendengar suara merdu bak ompengan panci, Aang segera keluar rumah. Dia agak marah karena ulah Madi yang berteriak-teriak. Sedangkan Madi malah cengar cengir dan pasang wajah innocent.
"Pasti solusi konyol lagi. Aku tak mau, ah." wajahnya cemberut. Dia tahu solusi yang ditawarkan Madi pasti solusi yang tak ada gunanya. Berkali-kali sudah dia mengikuti sarannya dan berkali-kali dia gagal.
"Ingin sembuh, tak? Kalau ingin, kau harus coba solusi ini," katanya merayu.
"Ingin,sih, tapi..."
"Ah, tak perlu bimbang. Begini, tadi aku habis dari rumah Tuan Ho. Tuan Ho itu orang sakti mandraguna di sebrang desa sana. Kesaktiannya sudah banyak yang tahu. Aku tadi ke sana dan mengutarakan permasalahanmu padanya. Dia bersedia membantu asal kau bersedia datang ke rumahnya."
Aang diam saja. Madi tahu arti ekspresi wajah temannya itu. Dia buru-buru menambahkan,"Tenang saja kawan, aku akan menemanimu ke sana dan membantumu. Kau pasti bisa!"
Kemudian tanpa basa-basi lagi Madi pulang. Malamnya dia datang lagi ke rumah Aang untuk menemami Aang berobat ke Tuan Ho. Walau sebenarnya ragu, Aang hanya pasrah danikut saja. Dia tak punya akal lagi untuk mencari solusi. Apa salahnya mencoba solusi dari Madi yang kesekian kalinya. Meski dia tak yakin akan kemanjuran solusi itu.
"Jadi kamu yang namanya Aang?" Tuan Ho bertanya dengan penuh wibawa. Dia mengelus-elus alisnya yang sudah putih.
Aang mengangguk cepat.
KemudianTuan Ho menatap lekat-lekat bola mata Aang melalui mata tuanya yang hitam berkilat-kilat.
Tak perlu waktu lama, dia sudah tahu apa yang paling mujarab untuk mengobati Aang.Sejurus kemudian, dia memasukkan tangannya ke dalam kendil yang berisi air kembang rupa-rupa, mengaduk-aduk sebentar seperti mengaduk adonan kue. Setelahmendapat apa yang dia cari, dia mengeluarkan tangannya dari kendil itu. Sebuah benda aneh tergenggam kuat di tangannya. Kemudian dia membungkus benda itu disepotong kain merah dan menyerahkannya pada Aang seraya berpesan, "Letakkan benda itu di bawah pohon asam di kuburan desamu tengah malamini. Dan jangan lupa carilah pohon asam yang paling besar."
"Ba...ba...baik,Tuan Ho," jawab Aang terbata-bata. Dia menerima bungkusan tadi dan menggantinya dengan uang.
Tengah malam menjelang dan dia belum juga ke kuburan. Jangankan menaruh bungkusan itu,melewati kuburannya saja dia tak sanggup. Sangat berat baginya. Akhirnya dia memutuskan untuk tidak menaruh benda keramat itu di kuburan dan terpaksa dia tidak tidur semalaman.
Lama-lama dia penasaran juga dengan benda dalam kain merah itu. Rasa penasaran yang tak bisa dikendalikan membuatnya berani membuka bungkusan keramat itu.
Awalnya dia mengamati sebentar dari berbagai arah: kanan, kiri, atas, bawah, depan, belakang. Lalu dia mulai berani menyibakkan salah satu sisi kain yang menutupinya. Gerakannya pelan-pelan dan penuh waspada, namun jantungnya berpacu cepat laksana benteng mengamuk. Sedikit demi sedikit benda itu mulai terlihat dari balik kain yang transparan. Dan...
ALAMAK....!!???
www.facebook.com/aiysya1?sk=notes
No comments:
Post a Comment
kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)