Friday 12 May 2017

Air Susu dari Bangsa-Bangsa

Hasil gambar untuk anak semua bangsa
sumber http://pertamina.com
Hello sahabat Musafir Al Ilmu :D
Semangat pagi!!!
            Sudah pernah membaca novel Anak Semua Bangsa karya kakek Pram? Hmmm, kalau kamu orang Indonesia, saya anjurkan baca nih. Mengapa? Karena novel ini berisi sejarah Indonesia di masa kolonial. Memang tidak sama persis, tapi hampir serupa.
           Novel Anak Semua Bangsa merupakan novel kedua dari tetralogi Buru –Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Novel ini ditulis pada tahun 1980 saat Pram masih dalam proses tahanan Pulau Buru. Betapa besar semangat dan jiwa kepenulisannya. Bahkan, dalam masanya, novel ini sempat pula menjadi kontroversi karena dianggap tidak sejalan dengan pemerintahan kolonial waktu itu dan pernah dilarang oleh Jaksa Gung (1981). Novel ini telah diterjemahkan pula ke dalam 22 Bahasa Asing. Tuh kan, negara lain aja baca, masa kita nggak mau baca karya dalam negeri sendiri?
            Tokoh utama dalam novel ini masih sama dengan novel Bumi Manusia, Minke dan Nyai Ontosorah. Beberapa hanya menjadi tokoh pelengkap sebagai pemanis cerita, namun kehadirannya penting. Di dalam novel ini menceritakan kehidupan Minke dan Nyai Ontosorah selepas meninggalnya Annelis, istri sekaligus putri. Lalu seperti apa sih isinya? Sampai-sampai saya menyarankan untuk dibaca. Yuk simak sinopsisnya berikut.
Sinopsis
    Kematian Annelis di negeri Belanda tentu saja meninggalkan duka bagi yang tinggal di Boerderij Buitenzorg itu. Meskipun begitu, Nyai berusaha nampak tegar ketika mendengar kematian putrinya. Ia menyadari bahwa hidup ini harus tetap berlanjut meskipun putri terkasihnya telah meninggal dengan sengsara di sana.
   Lalu cerita beralih ke kehidupan Minke. Ia yang awalnya kehilangan semangat menulis kini sedikit demi sedikit mulai bangkit atas saran Jean Marais dan Krommer. Ia bahkan dianjurkan menulis dalam bahasa Melayu, bukan melulu bahasa Belanda. Toh apa guna memberitakan kepada Belanda sedang Belanda tak memberikan pengaruh apa pun terhadap tulisannya. Sedangkan jika menulis Melayu, tentu saja semua penduduk Melayu yang memiliki nasib sama akan merasa terbela dan bangkit mendukung, melakukan perlawanan.          Awalnya Minke tak sudi. Ia, pengagung dan pengagum Eropa merasa tidak sepatutnya menulis bahasa yang belum jelas, katanya. Namun, setelah pertemuannya dengan Kow Ah Soe dan Nijman serta dukungan Nyai, ia mencoba mulai menulis Melayu. Di sini, ia telah belajar kepada Kow Ah Soe, relawan dari China yang mengembara demi memajukan bangsanya.
 Sedikit cerita tentang Kow Ah Soe didapatnya ketika ia melakukan wawancara dengannya atas perintah Nijman –redaktur salah satu koran di Surabaya. Dari keterangan Kow Ah Soe, ia belajar bahwa rupanya China tak jauh beda dengan Jawa. Bangsa Tiongkok yang besar itu masih menganggap bahwa negerinyalah yang patut dijadikan pusat peradaban. Padahal, menurut Kow Ah Soe, di luar sana ada negara yang jauh lebih maju, Jepang misalnya. Negara yang dulunya hanya peniru China itu kini telah menguasai sebagian wilayah dunia, hampir sejajar dengan Eropa.
 Kow Ah Soe akhirnya mati terbunuh lantaran keberadaannya dianggap membahayakan Hindia. Meskipun ia sendiri, namun rupanya ia datang berkelompok dan terpisah di seluruh wilayah Hindia. Tujuannya ialah untuk membuktikan kepada bangsanya bahwa China sudah seharusnya berubah. Di dalam novel tersebut, Pram dalam salah satu tokonya mengibaratkan tabiat China yang seperti Jawa. Masyarakat Jawa menganggap bahwa kaumnyalah yang paling beradap di sini. Mengagung-agungkan budayanya tanpa mau melihat bahwa jauh di luar sana negara sudah muali berontak dan berubah begitu cepat.
  Untuk mencoba melupakan duka lara, Nyai mengajak Minke pergi bertandang ke rumah kakaknya, Sastro Kassier di Tulangan. Daerah ini merupakan tempat dimana roda perekonomian terpusat pada gula. Di sinilah Minke bertemu dengan petani yang berusaha melindungi tanahnya dari kuasa pemilik perusahaan tebu. Ia mati-matian melindungi tanah dan sawahnya, meskipun kanan dan kirinya sudah jadi tebu. Namanya Trunodongso dan Minke memutuskan tinggal barang 2 malam di rumahnya. Hal itu dilakukan karena ia diejek oleh Krommer tak mengenal bangsa sendiri, hanya tahu tentang Eropa padahal ia lahir dan hidup di Hindia.
 Di Tulangan, Minke mendapatkan setidaknya dua bahan tulisan. Yang pertama mengenai kisah Surati yang dijadikan gundik dengan terpaksa oleh ayahnya. Lalu kisah Trunodongso dan kehidupannya dalam mempertahankan tanahnya dari perkebunan tebu. Ia tulis cerita tersebut dengan bahasa Melayu, namun gagal terbit lantaran tak ada bukti yang jelas dan Nijman merupakan koran yang mendapat subsidi modal dari perusahaan tebu.
   Ada pula cerita melalui surat terkait kisah Robert Mellema, putra sulung Nyai Ontosorah yang memutuskan pergi dan berkelana keliling dunia, menjadi pelaut. Dikisahkan ia menyesali perbuatannya dan meminta maaf. Ia juga mengatakan bahwa ia telah meninggalkan benih di perut Minem –salah satu karyawan di bagian peternakan, yang sekarang sudah berwujud bayi. Robert meminta untuk mengakui anaknya tersebut sebagai cucunya dan memohon agar Minem diizinkan tinggal di rumah bersamanya.
  Minke memutuskan untuk pergi dari Wonokromo ketika di rumahnya datang Trunodongso dan keluarganya yang rupa-rupanya sudah tak sanggup lagi memepertahankan tanahnya. Ia pergi atas dukungan Nyai demi menggapai cita-cita menjadi dokter. Dalam pelayaran, ia bertemu dengan Tan Haar dan mendapat banyak pengetahuan darinya tentang banyak hal, terutama kebebasan kehidupan berbangsa. Belum sempat menuju ke Batavia, ia sudah dijemput kembali oleh sekaut dan dibawa puang ke Wonokromo. Rupa-rupanya ada masalah besar yang terjadi di rumah Nyai, terkait warisan yang akan jatuh ke tangan Maurits Mellema.
    Kedunya sudah mencoba melawan melaui pengadilan, namun rupanya hasilnya sia-sia. Nyai merasa tidak adil karena putrinya sudah direnggut dan kini perusahaan yang ia kembangkan harus dimintanya juga. Namun, Nyai tak lekas diam. Bersama Minke, Jean Marais, Krommer, bahkan darsam, ia pun melakukan adu mulut dengan Maurits Mellema ketika datang ke rumahnya dan hendak mengambil alih. Baginya, peristiwa tersebut memang tidak dapat menyelamatkan hartanya, namun setidaknya ia akan terus dihantui oleh bayang-bayang kenangan peristiwa hari itu yang tak akan dilupakannya seumur hidup.

No comments:

Post a Comment

kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)

Followers