Monday, 15 May 2017

Nilai Ekonomis, Kesehatan, dan Kerukunan Dalam Budaya Nglungsur Pakaian Masyarakat Jawa

Makalah

disusun oleh :
Siti Nur Aisyah
2611414006
Mata Kuliah
Menulis Karya Ilmiah

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016/2017
A. Pendahuluan
Pakaian merupakan salah satu indikasi peradaban suatu budaya masyarakat. Fungsinya kini tak sebatas melindungi tubuh dari panasnya terik matahari atau dinginnya udara malam. Seiring perkembangan zaman, pakaian dirancang untuk berbagai tujuan; penanda identitas, status sosial, lifestyle, pencitraan, dan alat ekspansi budaya.
Sebagai pencitraan dan status sosial, kini kian marak produk-produk pakaian luar negeri. Siapa pun yang dapat membeli pakaian –yang telah dipopulerkan oleh suatu serangkaian sistem sehingga menjadi tren– tersebut dianggap memiliki status sosial yang tinggi, pun dengan tingkat ekonominya.
Semakin gencarnya pertumbuhan toko fashion, baik nyata maupun di dunia cyber membuat para konsumen semakin tak terkendali dalam berbelanja pakaian. Apalagi di akhir tahun banyak toko yang memberikan diskon secara drastis, seperti Black Friday dan Cybermonday di Amerika (Brodde: 2016).  Akibatnya, konsumen membeli bukan karena tujuan, tapi kesenangan sesaat. Pakaian yang lama akan segera terganti dengan pakaian yang baru. Jumlah pakaian bekas pun kian bertambah.
Gambar 1. Seseorang membeli pakaian bekas (foto: images.solopos.com)

Semakin tingginya keinginan untuk tampil sebagai seseorang yang memiliki status sosial tinggi, banyak konsumen yang membeli mode-mode pakaian branded buatan luar negeri. Bagi mereka yang tak mampu membeli, tetap ada pasar yang menjual pakaian bekas branded. Hal inilah yang dijadikan ajang pelarian bagi mereka yang tak mampu membeli fesyen branded namun ingin tampil gaya di lingkungannya.
Pakaian bekas yang menumpuk akan menambah jumlah barang bekas di dunia.  Pakaian bekas tersebut tergolong limbah industri dan dapat mengotori lingkungan. Greenpeace, situs organisasi peduli lingkungan, mengatakan bahwa tren hari ini merupakan sampah di kemudian hari. Peretail fesyen telah mempercepat perubahan tren pakaian sejak tahun 1980an sehingga meningkatkan angka pakaian “pakai-buang”. Laporan terbaru menunjukkan penduduk Hongkong membuang setidaknya 1400 kaos/menit. 1,5 hingga 2 juta ton pakaian bekas dihasilkan setiap tahun di Uni Eropa dan sekitar 10 hingga 12 persen dijual kembali. Sisanya didaur ulang dan dibuang ke negara-negara selatan.
Beberapa negara maju telah menemukan solusi modern dalam menangani limbah pakaian yang membludak. United Kingdom membentuk suatu lembaga –LWARB dan CRUK– yang  berfungsi untuk mendaur ulang sampah, tekstil dan karpet. Kemudian Jerman membentuk SOEX Group yang salah satu programnya mempromosikan daur ulang sampah tekstil. United States dengan departemen sanitasi dan Jepang dengan Teijin Grup yang menangani masalah sampah tekstil.
Selain penanganan secara modern, beberapa masyarakat dunia seperti Jerman dan Finlandia menanamkan sikap menggunakan barang bekas yang masih layak pakai demi mendukung program daur ulang, melestarikan bumi, dan menghemat pengeluaran. Di kota Munster, Jerman dan sekitarnya, setiap satu bulan sekali orang-orang mengeluarkan barang-barang yang tak terpakai di luar rumah menjelang hari pembuangan. Hari pembuangan adalah hari saat petugas sampah negara mengambil barang-barang tak terpakai dan mendaur ulangnya. Setiap orang bebas mengambil apa pun yang ada di depan rumah orang tersebut. Di pusat kota Helsinki, Finlandia terdapat pusat penjualan barang-barang bekas yang disebut kirppoturi, sedangkan kirppoturi khusus untuk anak-anak disebut lastenkirppis.
Gambar 2. Tumpukan pakaian bekas (foto: imgs.oomph.co.id)

Perlu perhatian khusus dalam memakai pakaian bekas. Direktur Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementrian Perdagangan Widodo melakukan uji laboratorium terhadap pakaian bekas impor yang belakangan membludak di tanah air. Penelitian dilakukan terhadap 25 baju dan celana bekas impor di kompleks Pasar Senen. Berdasarkan uji laboratorium, terdapat setidaknya 216.000 koloni bakteri berbahaya pada tiap gram pakaian bekas. Bakteri-bakteri tersebut dapat mengganggu kesehatan.
Menanggapi hal di atas, ada solusi yang sehat serta tidak mencemari lingkungan. Solusi tersebut adalah kearifan lokal budaya nglungsur. Nglungsur merupakan budaya Jawa yaitu memberikan pakaian bekas yang masih layak pakai kepada kerabat atau saudara dekat, bahkan tetangga. Budaya ini tak jelas kapan tepatnya muncul, yang jelas sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Dalam masyarakat Jepang, budaya melungsurkan pakaian disebut osagari.
Nglungsur berasal dari kata dasar lungsur. Arti lungsur, menurut Kamus Bausastra ialah longsor, mlorod. Dilungsur terhadap pakaian, menurut kamus Bausastra berarti diepék tumrap penganggo lan sapanunggalané sing wis dianggo liyan. Maksudnya, pakaian yang sudah bekas tersebut diambil alih oleh orang lain. Nglungsur dimana ada nasal n- menandakan tindakan aktif. Jadi, Nglungsur ialah tindakan memberikan barang atau pakaian bekas kepada orang lain.
Ada banyak nilai yang terkandung di dalam budaya Nglungsur, yaitu nilai ekonomis, nilai kesehatan, dan nilai kerukunan. Namun, tampaknya masyarakat kini lebih memilih gengsi sehingga tidak mengindahkan budaya kearifan lokal tersebut. Beberapa orang memandang hal itu sebagai bentuk hina diri karena menerima barang “bekas”. Alhasil, tak banyak orang yang mau melakukan dan menerima lungsuran pakaian.
Sedikitnya pembahasan mengenai budaya Nglungsur ini, menjadi dasar peneliti untuk mengkaji tuntas budaya Nglungsur dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Pada kesempatan kali ini, peneliti mengambil judul “Nilai Ekonomis, Kesehatan, dan Kerukunan dalam Budaya Nglungsur Masyarakat Jawa”.        
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
  1.  Bagaimana konsep budaya Nglungsur oleh Masyarakat Jawa?
  2.  Nilai-nilai ekonomis, kesehatan, dan kerukunan yang seperti apa yang terdapat dalam budaya Nglungsur?
  3.  Apakah budaya nglungsur pakaian masih relevan di zaman sekarang dan yang akan datang?

Mengenai budaya Nglungsur belum ada yang meneliti. Akan tetapi, penelitian yang hampir serupa terkait pakaian bekas tertulis di bawah ini.
Pertama, skripsi berjudul “Tren Mengkonsumsi Pakaian Bekas di Kalangan Mahasiswi di Yogyakarta” oleh Tambulana (2013).  Dalam skripsinya, ditemukan bahwa meskipun pembelian pakaian bekas dipandang negatif, nyatanya masih digandrungi beberapa mahasiswi Yogyakarta. Selain alasan ekonomi, alasan lain yaitu mengikuti tren, penciptaan mode dalam komunitas mereka, serta keunikan dari berbagai jenis dan merk pakaian tersebut. Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan mengacu teori fashion dari Simmel dan teori masyarakat konsumsi dari Baudrillard.
Kedua, jurnal berjudul “Fenomenologi Gaya Hidup Mahasiswa UNESA Pengguna Pakaian Bekas” yang ditulis oleh Dwiyantoro dan Harianto (2014). Dalam jurnalnya, penulis menjelaskan bahwa mahasiswa UNESA memaknai penggunaan pakaian bekas sebagai gaya hidup dari tren fashion. Mereka memilih pakaian bekas dikarenakan harga terjangkau, brand ternama, unik, edisi terbatas, bahan berkualitas, menambah koleksi pakaian, dan terlihat fashionable. Di dalam penggunaan pakaian bekas, mereka dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan sosial, adanya toko-toko pakaian bekas, dan media massa. Pakaian bekas menjelma sebagai objek dari pengguna yang dicari oleh mahasiswa UNESA untuk memenuhi kebutuhan sandang mereka dan sebagai gaya hidup mereka.
Kedua penelitian tersebut masih terbatas pada bagaimana masyarakat memperlakukan pakaian bekas. Belum terdapat cara khusus dan unik di suatu daerah tentang bagaimana merawat pakaian bekas. Berdasarkan uraian diatas, penulis menimbang bahwa penelitian terkait budaya  nglungsur perlu dilakukan.
Konsep Busana Orang Jawa
Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga gumantung busana adalah pepatah Jawa yang mengajarkan tentang etika berbicara dan berpenampilan. Pepatah itu memberikan stigma kepada masyarakat Jawa bahwa seseorang dinilai dari ucapan dan penampilan. Masyarakat Jawa sangat mementingkan pentingnya beretika dan sopan santun dalam pergaulan. Oleh karenanya, harga diri seseorang bergantung dari penampilannya, baik berupa perilaku maupun cara berbusana.
Penampilan perilaku ditentukan oleh ucapan/perkataan, sedangkan penampilan busana dilihat dari pakaian yang dikenakan. Ungkapan di atas berarti harga diri terletak pada lisan dan harga badan terletak pada pakaian. Nasihat itu akan menjadikan hidup orang jawa berada dalam jalur keselarasan apabila dilaksanakan dengan tepat dan wajar. Hal ini memunculkan kesepakatan sementara akan kebendaan duniawi, bahwa manusia berstatus sosial tinggi adalah dengan: penampilan berwibawa, pakaian mahal, rapi, sopan, teratur, sesuai dengan estetika dan etika yang disepakati dalam budaya Jawa. (Suratno dan Astiyanto, 2003: 25- 26)
Dalam menjalani kehidupan, orang Jawa menganjurkan berprinsip sewajarnya (samadya), tidak berlebihan. Prinsip yang merupakan cermin kehidupan sederhana ini tak boleh dilaksanakan dengan seenaknya. Kita tak boleh berpakaian sesuka hati, akan tetapi haruslah sesuai dengan situasi dan kondisi yang berlangsung. Meskipun tak ada larangan dalam berpakaian, namun ia harus memahami dalam “hal” apa ia berpakaian. Apakah pakaian yang dikenakan sudah sesuai dengan situasi atau belum.
Ketika berpakaian, seseorang hendaknya mampu menyesuaikan dengan adat dan tradisi dimana ia berada. Tak mungkin seseorang memakai baju kebaya di acara pengajian atau sebaliknya, memakai baju koko di saat acara resepsi. Pendek kata, seseorang harus memahami apa itu empan papan (mengerti situasi dan kondisi). Jika seseorang mengerti empan papan, maka dirinya mampu berpakaian sesuai dengan tradisi yang ada dan dapat menjunjung harkat dan martabat dirinya sebagai orang yang beretika.
Empan papan yang berarti sesuai dengan kondisi dan situasi memiliki penjabaran sebagai berikut. Seseorang yang sudah berumur tentu tidak memilih pakaian ala anak muda, meskipun pakaian itu sedang ngetrend dan dipakai di mana-mana. Ketika seseorang memaksa memakaianya –pakaian yang tidak sesuai dengan usia, gender, dan kegiatan yang berlangsung–, orang tersebut akan dinilai sebagai orang yang tidak memahami tatacara berpakaian. Akibatnya, orang menilai ketidakpantasan tersebut dan memandang negatif, sehingga harga diri dan kehormatan seseorang menurun.
Nilai Ekonomi, Kesehatan, dan Kerukunan
Pengertian nilai menurut para ahli adalah sebagai berikut. (Sauri dan Firmansyah : 2010: 3-5)
·         Fraenkel: nilai adalah ide atau konsep tentang apa yang dipikirkan  seseorang atau dianggap penting oleh seseorang.
·         Danandjaja: nilai merupakan pengertian-pengertian yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting atau kurang penting, yang lebih bsik atau kurang baik, lebih benar atau kurang benar.
·         Kluckhon: nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat,yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antar dan tujuan akhir.
Dari ketiga pendapat tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa nilai ialah suatu konsep yang dianggap penting individu sebagai dasar sikap dalam menentukan tujuan.
Hakikat suatu nilai, menurut Kattsoff dalam Sumargono mengungkapkan bahwa hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara: pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif, bergantung kepada pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontology, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Sedangkan menurut Sadulloh mengemukakan tetang hakikat nilai berdasarkan teori-teori sebagai berikut: menurut teori voluntarisme, nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan. Menurut kaum hedonisme, hakikat nilai adalah “pleasure” atau kesenangan, sedangkan menurut formalisme, nilai adalah sesuatu yang dihubungkan pada akal rasional dan menurutpragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan (Sauri dan Firmansyah, 2010: 6)
Pengertian kesehatan menurut World Health Organisation (WHO) ialah suatu keadaan fisik, sosial, dan mental yang mencapai titik kesejahteraan, bukan hanya karena ketiadaan penyakit atau kelemahan. Menurut Piagam Ottawa yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 1968, kesehatan ialah sumber daya kehidupan sehari-hari, tak hanya sebagai tujuan hidup, kesehatan juga merupakan konsep positif yang menekankan pada kemampuan fisik, sumber daya sosial, dan pribadi. Kesehatan menurut undang undang kesehatan Indonesia no 23 tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Ketiga pengertian di atas memiliki arti yang hampir sama, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kesehatan ialah suatu keadaan sejahtera seseorang yang meliputi kesejahteraan badan, mental, dan sosial sehingga dapat hidup produktif.       
Di dalam masyarakat Jawa, sikap sosial ditentukan oleh prinsip kerukunan dan hormat (Suseno, 2003: 168). Kerukunan dibentuk dengan tujuan agar masyarakat selaras dengan kehidupan yang diharapkan sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tentram”, tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. (Mulder dalam Suseno, 2003: 39)
Keadaan rukun ialah keadaan dimana semua elemen masyarakat berada dalam keadaan damai satu sama lain, saling bekerja sama, saling menerima, dalam suasanan tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, keluarga, tetangga, di desa, dan dalam setiap pengelompokan tetap (Mulder dalam Suseno, 2003:39)
Dalam kerukunan ada dua segi tuntutan. Tuntutan pertama yaitu kerukunan diciptakan agar setiap elemen masyarakat tidak bertindak merugikan pihak lain agar tercipta kehidupan yang selaras. Kedua, kerukunan diciptakan bukan berkaitan dengan kondisi kejiwaan dan batin orang Jawa, tetapi lebih mengarah pada hubungan-hubungan yang kasat mata. Hubungan itu diatur sedemikian rupa melalui kesepakatan bersama agar senantiasa tercipta kedamaian dan ketentraman.
Wujud kerukunan di dalam masyarakat Jawa beraneka ragam. Wujud itu dapat berupa perilaku dan tutur kata. Wujud perilaku, misalnya; sikap dermawan, toleransi/tepa slira,saling membantu, dan saling mengasihi. Wujud tutur kata, misalnya: saling tegur sapa jika kebetulan berpapasan, memanggil tetangga dengan sebutan kekerabatan –pakdhe, budhe, paklik, mbakyu, kangmas, adik, mbah–, dan sebagainya.
Kerukunan tak hanya terjadi di lingkup bermasyarakat. Sebelum mengarah ke masyarakat, kerukunan harus tercipta dulu di dalam lingkup keluarga. Keluarga merupakan satu-satunya tempat dimana seseorang tak harus merasa tertekan dengan aturan tata krama sosial yang menuntut seseorang harus berlaku sesuai dengan ideologi masyarakat. Di dalam keluarga, seseorang bisa menjadi diri sendiri tanpa terbebani tata krama sosial. Kerukunan dalam keluarga penting keberadaanya.
Saling membantu dalam melakukan kerukunan salah satunya adalah dengan memberi kepada tetangga maupun kerabat. Biasanya, masyarakat Jawa saling memberi bantuan ketika salah satu anggota masyarakat memiliki hajatan, mengalami kesusahan, dan dalam ekonomi yang kekurangan. Tak ada aturan tertulis mengenai timbal balik, tapi masyarakat seperti memahami bahwa kelak suatu saat harus berganti membantu. Bantuan tak melulu berupa uang sumbangan. Seseorang bisa membantu sesuai dengan kemampuannya, baik dalam bentuk pemberian jasa maupun barang. Keadaan masyarakat Jawa yang dekat dengan alam –masyarakat petani maupun nelayan– memudahkan mereka menyumbang dalam bentuk hasil pertanian, perkebunan, maupun perikanan.
D. Pembahasan
Budaya Nglungsur dalam Masyarakat Jawa
Tradisi lungsur-melungsur dalam masyarakat Jawa tidak diuraikan secara jelas kapan tepatnya. Pun juga tidak muncul serta merta. Kebudayaan semacam ini muncul karena pola kebiasaan yang terjadi terus-menerus sehingga menciptakan suatu budaya baru.
Nglungsur tak hanya sebatas pakaian, bisa juga barang-barang perkakas rumah tangga, seragam sekolah, buku, atau perlengkapan lain yang masih layak pakai dan sayang untuk dibuang. Nglungsur dalam hal pakaian ialah memberikan pakaian bekas yang masih bagus atau setidaknya layak pakai untuk diberikan kepada saudara, kerabat, maupun tetangga. Motif nglungsur semata karena si pemilik merasa masih belum rela jika barang miliknya dibuang. Alasan lainnya dikarenakan saudara, kerabat, atau bahkan tetangga ada yang menghendaki barang tersebut.
Ada rasa saling menguntungkan antara pemberi dan penerima ketika melakukan nglungsur. Pemberi diuntungkan dengan pakaiannya yang tidak terbuang sia-sia, sedangkan penerima merasa untung karena mendapat perlengkapan tambahan dan tak perlu mengeluarkan uang.
Biasanya, budaya ini terjadi di dalam keluarga –seorang kakak yang memberikan miliknya pada si adik, maupun dari orang tua ke anak–, sanak saudara, dan tetangga yang memiliki kedekatan. Melungsur tidak serta merta diberikan kepada saudara yang tidak akrab, apalagi tetangga. Ketidakakraban ditakutkan bila si penerima merasa direndahkan dengan diberi pakaian bekas.
Gambar 3. Seorang adik memakai baju kakak (foto: mommiesdaily.com)

Terkadang, sebelum memberi, calon penerima secara tak sengaja melihat terlebih dahulu pakaian tersebut tidak terpakai lagi dan dibiarkan tergeletak. Calon penerima dengan basa-basi menanyakan kegunaan pakaian tersebut. Kemudian, calon pemberi mengatakan bahwa benda itu, meskipun masih layak pakai atau masih bagus –terhadap pakaian– sudah tidak diinginkan lagi. Kemudian calon penerima menyinggung bahwa jikalau diberikan kepadanya, ia tidak keberatan dan malah senang sekali. Setelah percakapan selingan terjadi, pada akhirnya pakaian tersebut pun beralih kepemilikan.
Dalam bentuk lain, terkadang calon pemberi menawarkan pakainnya yang sudah tidak terpakai tapi masih layak pakai kepada calon penerima. Biasanya dalam hal ini sudah ada keakraban antar pemberi dan penerima sehingga tidak ada rasa sungkan. Kalaupun calon penerima menolak, biasanya mereka menolak dengan halus sehingga tidak menyakiti calon pemberi.
Nilai Ekonomis
Rasa menguntungkan di antara kedua belah pihak yang melaksanakan budaya nglungsur dapat dikategorikan dalam nilai ekonomi. Dalam hal ini, pemberi diuntungkan karena pakaian bekasnya masih dapat dipergunakan oleh orang lain. Penerima merasa untung karena tak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk mendapatkan pakaian tersebut. Ada sedikit penghematan bagi penerima. Meskipun tidak benar-benar baru, setidaknya masih bisa dipergunakan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Nilai Kesehatan
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa kesehatan tak hanya badan, tetapi juga mental dan sosial. Pelaku nglungsur mendapat beberapa nilai kesehatan secara jasmani, mental dan sosial. Pakaian bekas layak pakai yang dilungsurkan dari seorang saudara, kerabat, atau tetangga dekat dapat diketahui riwayat penyakitnya. Hal ini dapat menjadi acuan penerima dan pemberi apakah pakaian tersebut layak dilungsurkan atau tidak. Hal ini lebih sehat daripada membeli pakaian bekas merk luar negeri yang biasa dijual di pasar-pasar loakan.
Secara mental, antara pemberi dan penerima mendapatkan rasa senang dan kepuasan masing-masing lantaran tidak ada yang dirugikan. Secara sosial, si pemberi mendapat julukan sebagai seorang yang peduli dan senang berbagi.
Ada dua sisi nilai kesehatan secara sosial bagi penerima, nilai positif dan negatif. Nilai positif yaitu saat penerima merasa tenang-tenang saja dan bangga ketika ia ditanya orang lain dapat darimana pakaian sebagus itu. Karena biasanya, yang dilungsurkan tak melulu terlihat kumal dan blawus. Ada kalanya tersebut baru dipakai beberapa kali dan sudah tidak diperlukan lagi. Sisi nilai negatif ialah ketika penerima merasa bahwa dirinya adalah orang yang tak mampu ketika ia mengatakan pada saudara, kerabat, atau tetangga lain yang melihat pakaian lungsuran tersebut.
Nilai Kerukunan
Ketika nglungsur terjadi, tentu ada pertemuan antara pemberi dan penerima. Pertemuan-pertemuan yang terjadi seiring intensitas nglungsur lama-kelamaan akan menimbulkan kerukunan. Dimulai dari pertemuan dan percakapan yang canggung, jika terjadi terus-menerus, maka kecanggungan itu akan hilang dengan sendirinya.
Ketika pemberi dan penerima sudah saling akrab, dalam segi kehidupan lain biasanya juga akrab. Mereka akan semakin sering berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, memberikan makanan ketika sedang memiliki hajatan, saling berbagi dalam senang maupun sedih.
Kerukunan yang tercipta akan membangun suasana yang tentram, damai, dan sejahtera bagi kedua belah pihak. Dan secara tidak langsung, juga menciptakan kerukunan dalam keluarga/masyarakat tempat mereka tinggal.
Relevansi Budaya Nglungsur
Semakin bertambahnya penduduk, maka barang-barang kebutuhan pun semakin bertambah. Penambahan jumlah barang sekali pakai akan menimbulkan jumlah barang bekas yang banyak pula. Padahal, di depan telah diterangkan betapa jumlah sampah pakaian bekas sudah sangat banyak, belum lagi ditambah sampah bekas selain pakaian. Tentu bumi ini akan semakin tidak produktif dalam menangani penguraiannya.
Meskipun sudah ada pengelolaan daur ulang di beberapa negara, nyatanya belum dapat mengatasi seluruh masalah sampah di negara lain. Padahal, jumlah limbah pakaian bekas tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara berkembang. Selain itu, belum terdapat juga sistem pengelolaan limbah yang baik di negara-negra berkembang tersebut.
Di era kini, kampanye back to nature sedang ramai diteriakkan. Beberapa produktor memproduksi bahan-bahan yang dapat dengan cepat diurai oleh alam. Namun, biar bagaimanapun, bahan pakaian tidaklah mudah diuraikan oleh bakteri, kecuali dihancurkan oleh mesin khusus daur ulang tekstil.
Salah satu terobosan yang dapat dijadikan acuan ialah dengan mengurangi jumlah barang yang diperlukan dan mengurangi jumlah pembuangan barang yang masih bisa dipakai. Di masyarakat Jawa, budaya nglungsur pakaian bisa menjadi salah satu jalan keluar. Pemilik tak harus membuang pakaiannya yang sudah tak terpakai tapi masih layak, melainkan dapat memberikannya kepada mereka yang mau dan mebutuhkan. Toh, sekalipun sanak saudara, kerabat, dan tetangga sudah tidak menerima, masih banyak jumlah panti asuhan dan lembaga-lembaga swadaya yang membutuhkan untuk disalurkan kepada mereka yang masih membutuhkan.
E. Penutup
Nglungsur merupakan budaya khas Jawa yang sudah ada sejak lama. Budaya semacam ini tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga di beberapa negara seperti Finlandia dan Jerman dengan penyebutan dan sistem berbeda.
Nglungsur pakaian sebagai salah satu ajaran budaya Jawa dengan kearifan lokal, memiliki beberapa manfaat sebagai berikut.
  1. Menjaga kerukunan antar sesama saudara, kerabat, dan tetangga.
  2. Kerukunan yang tercipta akan menimbulkan kesejahteraan dan kedamaian di hati para pelaku dan membantu menciptakan kerukunan di masyarakat.
  3. Sikap saling peduli sesama dan menghargai pemberian orang lain.
  4. Menanamkan sikap hemat bagi pelaku.
  5. Mengurangi tingkat barang bekas dan memanfaatkan barang bekas yang masih layak pakai.
  6. Mengurangi tingkat tertular penyakit dari pakaian impor yang biasa dijual di pasar loak.
  7. Membantu penyuksesan program peduli lingkungan.

Demikian beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari budaya nglungsur. Budaya Nglungsur patut dilestarikan dan dilengkapi dengan modifikasi-modisikasi sehingga tidak hilang oleh pengaruh majunya zaman modern. Penulis pun menyadari bahwa hasil penelitian ini masih banyak menemui kekurangan, sehingga diharapkan dapat disempurnakan oleh peneliti lain.
Daftar Pustaka
Dwiyantoro, Arik dan Sugeng Harianto. 2014. “Fenomenologi Gaya Hidup Mahasiswa UNESA Pengguna Pakaian Bekas”. Paradigma, Vol. 02, No 03. http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/view/9456, 29 Des. 2016                                                  
Poerwadarminta, Hardjasoedarma, Poejasudira. 1939. Kamus Bausastra Jawa. Jakarta: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatchappij N.V. Groningen.
Sauri, Sofyan dan Harlan Firmansyah. 2010. Meretas Pendidikan Nilai. Bandung: Arfindo Raya.
Suratno, Pardi dan Heniy Astiyanto. 2009. Gusti Ora Sare. Yogyakarya: Adiwacana.
Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tambulana, Monita Nur Fitriani. 2013. “Tren Mengkonsumsi Pakaian Bekas di Kalangan Mahasiswi di Yogyakarta”. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/black-friday-planet-cant-take-it-buy-nothing-day/blog/58077/ [diunduh pada 28/12/2016 pukul 13.32]
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/02/pakaian-bekas-bisa-sebabkan-penyakit-kulit-berikut-ini [diunduh pada 28/12/2016 pukul 12.06]
http://karambaart.com/post/6001992795/artikel-pakaian-sebagai-manifestasi-budaya/ [diunduh pada 29/12/2016 pukul 14.02]
http://dokter-medis.blogspot.com/2014/01/undang-undang-no-23-tahun-1992-tentang.html/ [diunduh pada 01/01/17 pukul 10.00]

http://sehatisme.com [diunduh 1/1/17 pukul 11.00]

No comments:

Post a Comment

kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)

Followers