Makalah
disusun oleh :
Siti Nur Aisyah
2611414006
Mata Kuliah
Menulis Karya Ilmiah
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA JAWA
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016/2017
A. Pendahuluan
Pakaian merupakan salah satu indikasi peradaban suatu
budaya masyarakat. Fungsinya kini tak sebatas melindungi tubuh dari panasnya
terik matahari atau dinginnya udara malam. Seiring perkembangan zaman, pakaian
dirancang untuk berbagai tujuan; penanda identitas, status sosial, lifestyle,
pencitraan, dan alat ekspansi budaya.
Sebagai pencitraan dan status sosial, kini kian marak
produk-produk pakaian luar negeri. Siapa pun yang dapat membeli pakaian –yang
telah dipopulerkan oleh suatu serangkaian sistem sehingga menjadi tren–
tersebut dianggap memiliki status sosial yang tinggi, pun dengan tingkat
ekonominya.
Semakin gencarnya pertumbuhan toko fashion, baik
nyata maupun di dunia cyber membuat para konsumen semakin tak terkendali
dalam berbelanja pakaian. Apalagi di akhir tahun banyak toko yang memberikan
diskon secara drastis, seperti Black Friday dan Cybermonday di Amerika (Brodde: 2016). Akibatnya, konsumen membeli
bukan karena tujuan, tapi kesenangan sesaat. Pakaian yang lama akan segera
terganti dengan pakaian yang baru. Jumlah pakaian bekas pun kian bertambah.
Gambar 1. Seseorang membeli pakaian bekas
(foto: images.solopos.com)
Semakin tingginya keinginan untuk tampil sebagai
seseorang yang memiliki status sosial tinggi, banyak konsumen yang membeli
mode-mode pakaian branded buatan luar negeri. Bagi mereka yang tak mampu
membeli, tetap ada pasar yang menjual pakaian bekas branded. Hal inilah
yang dijadikan ajang pelarian bagi mereka yang tak mampu membeli fesyen branded
namun ingin tampil gaya di lingkungannya.
Pakaian bekas yang menumpuk akan menambah jumlah barang
bekas di dunia. Pakaian bekas tersebut
tergolong limbah industri dan dapat mengotori lingkungan. Greenpeace, situs
organisasi peduli lingkungan, mengatakan bahwa tren hari ini merupakan sampah
di kemudian hari. Peretail fesyen telah mempercepat perubahan tren pakaian
sejak tahun 1980an sehingga meningkatkan angka pakaian “pakai-buang”. Laporan
terbaru menunjukkan penduduk Hongkong membuang setidaknya 1400 kaos/menit. 1,5
hingga 2 juta ton pakaian bekas dihasilkan setiap tahun di Uni Eropa dan
sekitar 10 hingga 12 persen dijual kembali. Sisanya didaur ulang dan dibuang ke
negara-negara selatan.
Beberapa negara maju telah menemukan solusi modern dalam
menangani limbah pakaian yang membludak. United Kingdom membentuk suatu lembaga
–LWARB dan CRUK– yang berfungsi untuk
mendaur ulang sampah, tekstil dan karpet. Kemudian Jerman membentuk SOEX Group
yang salah satu programnya mempromosikan daur ulang sampah tekstil. United
States dengan departemen sanitasi dan Jepang dengan Teijin Grup yang menangani
masalah sampah tekstil.
Selain penanganan secara modern, beberapa masyarakat
dunia seperti Jerman dan Finlandia menanamkan sikap menggunakan barang bekas
yang masih layak pakai demi mendukung program daur ulang, melestarikan bumi,
dan menghemat pengeluaran. Di kota Munster, Jerman dan sekitarnya, setiap satu
bulan sekali orang-orang mengeluarkan barang-barang yang tak terpakai di luar
rumah menjelang hari pembuangan. Hari pembuangan adalah hari saat petugas
sampah negara mengambil barang-barang tak terpakai dan mendaur ulangnya. Setiap orang bebas mengambil apa pun yang ada di depan rumah orang tersebut.
Di pusat kota Helsinki, Finlandia terdapat pusat penjualan barang-barang bekas
yang disebut kirppoturi, sedangkan kirppoturi khusus untuk
anak-anak disebut lastenkirppis.
Gambar 2. Tumpukan pakaian bekas (foto: imgs.oomph.co.id)
Perlu perhatian khusus dalam memakai pakaian bekas.
Direktur Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen Kementrian Perdagangan
Widodo melakukan uji laboratorium terhadap pakaian bekas impor yang belakangan
membludak di tanah air. Penelitian dilakukan terhadap 25 baju dan celana bekas
impor di kompleks Pasar Senen. Berdasarkan uji laboratorium, terdapat
setidaknya 216.000 koloni bakteri berbahaya pada tiap gram pakaian bekas.
Bakteri-bakteri tersebut dapat mengganggu kesehatan.
Menanggapi hal di atas, ada solusi yang sehat serta tidak
mencemari lingkungan. Solusi tersebut adalah kearifan lokal budaya nglungsur.
Nglungsur merupakan budaya Jawa yaitu memberikan pakaian bekas yang masih
layak pakai kepada kerabat atau saudara dekat, bahkan tetangga. Budaya ini tak
jelas kapan tepatnya muncul, yang jelas sudah ada jauh sebelum Indonesia
merdeka. Dalam masyarakat Jepang, budaya melungsurkan pakaian disebut osagari.
Nglungsur berasal dari kata dasar lungsur. Arti lungsur,
menurut Kamus Bausastra ialah longsor, mlorod. Dilungsur terhadap
pakaian, menurut kamus Bausastra berarti diepék tumrap penganggo lan
sapanunggalané sing wis dianggo liyan. Maksudnya, pakaian yang sudah bekas
tersebut diambil alih oleh orang lain. Nglungsur dimana ada nasal n-
menandakan tindakan aktif. Jadi, Nglungsur ialah tindakan memberikan
barang atau pakaian bekas kepada orang lain.
Ada banyak nilai yang terkandung di dalam budaya
Nglungsur, yaitu nilai ekonomis, nilai kesehatan, dan nilai kerukunan. Namun,
tampaknya masyarakat kini lebih memilih gengsi sehingga tidak mengindahkan
budaya kearifan lokal tersebut. Beberapa orang memandang hal itu sebagai bentuk
hina diri karena menerima barang “bekas”. Alhasil, tak banyak orang yang mau
melakukan dan menerima lungsuran pakaian.
Sedikitnya pembahasan mengenai budaya Nglungsur ini,
menjadi dasar peneliti untuk mengkaji tuntas budaya Nglungsur dan nilai-nilai
yang terdapat di dalamnya. Pada kesempatan kali ini, peneliti mengambil judul
“Nilai Ekonomis, Kesehatan, dan Kerukunan dalam Budaya Nglungsur Masyarakat
Jawa”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka
dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
- Bagaimana konsep budaya Nglungsur oleh Masyarakat Jawa?
- Nilai-nilai ekonomis, kesehatan, dan kerukunan yang seperti apa yang terdapat dalam budaya Nglungsur?
- Apakah budaya nglungsur pakaian masih relevan di zaman sekarang dan yang akan datang?
Mengenai budaya Nglungsur belum ada yang meneliti. Akan
tetapi, penelitian yang hampir serupa terkait pakaian bekas tertulis di bawah
ini.
Pertama, skripsi berjudul “Tren Mengkonsumsi Pakaian
Bekas di Kalangan Mahasiswi di Yogyakarta” oleh Tambulana (2013). Dalam skripsinya, ditemukan bahwa meskipun
pembelian pakaian bekas dipandang negatif, nyatanya masih digandrungi beberapa
mahasiswi Yogyakarta. Selain alasan ekonomi, alasan lain yaitu mengikuti tren,
penciptaan mode dalam komunitas mereka, serta keunikan dari berbagai jenis dan
merk pakaian tersebut. Penelitian kualitatif ini dilakukan dengan mengacu teori
fashion dari Simmel dan teori masyarakat konsumsi dari Baudrillard.
Kedua, jurnal berjudul “Fenomenologi Gaya Hidup Mahasiswa
UNESA Pengguna Pakaian Bekas” yang ditulis oleh Dwiyantoro dan Harianto (2014).
Dalam jurnalnya, penulis menjelaskan bahwa mahasiswa UNESA memaknai penggunaan
pakaian bekas sebagai gaya hidup dari tren fashion. Mereka memilih pakaian
bekas dikarenakan harga terjangkau, brand ternama, unik, edisi terbatas, bahan
berkualitas, menambah koleksi pakaian, dan terlihat fashionable. Di
dalam penggunaan pakaian bekas, mereka dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan
sosial, adanya toko-toko pakaian bekas, dan media massa. Pakaian bekas menjelma
sebagai objek dari pengguna yang dicari oleh mahasiswa UNESA untuk memenuhi
kebutuhan sandang mereka dan sebagai gaya hidup mereka.
Kedua penelitian tersebut masih terbatas pada bagaimana
masyarakat memperlakukan pakaian bekas. Belum terdapat cara khusus dan unik di
suatu daerah tentang bagaimana merawat pakaian bekas. Berdasarkan uraian
diatas, penulis menimbang bahwa penelitian terkait budaya nglungsur perlu dilakukan.
Konsep Busana Orang Jawa
Ajining dhiri ana ing lathi, ajining raga gumantung
busana adalah pepatah Jawa yang mengajarkan tentang etika berbicara dan berpenampilan.
Pepatah itu memberikan stigma kepada masyarakat Jawa bahwa seseorang dinilai
dari ucapan dan penampilan. Masyarakat Jawa sangat mementingkan pentingnya
beretika dan sopan santun dalam pergaulan. Oleh karenanya, harga diri seseorang
bergantung dari penampilannya, baik berupa perilaku maupun cara berbusana.
Penampilan perilaku ditentukan oleh ucapan/perkataan,
sedangkan penampilan busana dilihat dari pakaian yang dikenakan. Ungkapan di
atas berarti harga diri terletak pada lisan dan harga badan terletak pada
pakaian. Nasihat itu akan menjadikan hidup orang jawa berada dalam jalur
keselarasan apabila dilaksanakan dengan tepat dan wajar. Hal ini memunculkan
kesepakatan sementara akan kebendaan duniawi, bahwa manusia berstatus sosial
tinggi adalah dengan: penampilan berwibawa, pakaian mahal, rapi, sopan,
teratur, sesuai dengan estetika dan etika yang disepakati dalam budaya Jawa. (Suratno
dan Astiyanto, 2003: 25- 26)
Dalam menjalani kehidupan, orang Jawa menganjurkan
berprinsip sewajarnya (samadya), tidak berlebihan. Prinsip yang
merupakan cermin kehidupan sederhana ini tak boleh dilaksanakan dengan
seenaknya. Kita tak boleh berpakaian sesuka hati, akan tetapi haruslah sesuai
dengan situasi dan kondisi yang berlangsung. Meskipun tak ada larangan dalam
berpakaian, namun ia harus memahami dalam “hal” apa ia berpakaian. Apakah
pakaian yang dikenakan sudah sesuai dengan situasi atau belum.
Ketika berpakaian, seseorang hendaknya mampu
menyesuaikan dengan adat dan tradisi dimana ia berada. Tak mungkin seseorang
memakai baju kebaya di acara pengajian atau sebaliknya, memakai baju koko di saat
acara resepsi. Pendek kata, seseorang harus memahami apa itu empan papan (mengerti
situasi dan kondisi). Jika seseorang mengerti empan papan, maka dirinya
mampu berpakaian sesuai dengan tradisi yang ada dan dapat menjunjung harkat dan
martabat dirinya sebagai orang yang beretika.
Empan papan yang berarti sesuai dengan kondisi dan situasi
memiliki penjabaran sebagai berikut. Seseorang yang sudah berumur tentu tidak
memilih pakaian ala anak muda, meskipun pakaian itu sedang ngetrend dan
dipakai di mana-mana. Ketika seseorang memaksa memakaianya –pakaian yang tidak
sesuai dengan usia, gender, dan kegiatan yang berlangsung–, orang tersebut akan
dinilai sebagai orang yang tidak memahami tatacara berpakaian. Akibatnya, orang
menilai ketidakpantasan tersebut dan memandang negatif, sehingga harga diri dan
kehormatan seseorang menurun.
Nilai Ekonomi, Kesehatan, dan Kerukunan
Pengertian nilai menurut para ahli adalah
sebagai berikut. (Sauri dan Firmansyah : 2010: 3-5)
·
Fraenkel: nilai adalah ide atau konsep tentang
apa yang dipikirkan seseorang atau
dianggap penting oleh seseorang.
·
Danandjaja: nilai merupakan
pengertian-pengertian yang dihayati seseorang mengenai apa yang lebih penting
atau kurang penting, yang lebih bsik atau kurang baik, lebih benar atau kurang
benar.
·
Kluckhon: nilai adalah konsepsi (tersurat atau
tersirat,yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa
yang diinginkan, yang memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antar
dan tujuan akhir.
Dari ketiga pendapat tersebut, dapat diambil
kesimpulan bahwa nilai ialah suatu konsep yang dianggap penting individu
sebagai dasar sikap dalam menentukan tujuan.
Hakikat suatu nilai, menurut Kattsoff dalam
Sumargono mengungkapkan bahwa hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam
cara: pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif, bergantung kepada
pengalaman manusia pemberi nilai itu sendiri. Kedua nilai merupakan
kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontology, namun tidak terdapat
dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal. Ketiga, nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang
menyusun kenyataan. Sedangkan menurut Sadulloh mengemukakan tetang hakikat
nilai berdasarkan teori-teori sebagai berikut: menurut teori voluntarisme,
nilai adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan. Menurut kaum
hedonisme, hakikat nilai adalah “pleasure” atau kesenangan, sedangkan menurut
formalisme, nilai adalah sesuatu yang dihubungkan pada akal rasional dan
menurutpragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi kebutuhan dan nilai
instrumental yaitu sebagai alat untuk mencapai tujuan (Sauri dan Firmansyah,
2010: 6)
Pengertian kesehatan menurut World Health
Organisation (WHO) ialah suatu keadaan fisik, sosial, dan mental yang mencapai
titik kesejahteraan, bukan hanya karena ketiadaan penyakit atau kelemahan.
Menurut Piagam Ottawa yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 1968, kesehatan
ialah sumber daya kehidupan sehari-hari, tak hanya sebagai tujuan hidup,
kesehatan juga merupakan konsep positif yang menekankan pada kemampuan fisik,
sumber daya sosial, dan pribadi. Kesehatan menurut undang undang kesehatan
Indonesia no 23 tahun 1992, kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
Ketiga pengertian di atas memiliki arti yang
hampir sama, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kesehatan ialah suatu
keadaan sejahtera seseorang yang meliputi kesejahteraan badan, mental, dan
sosial sehingga dapat hidup produktif.
Di dalam masyarakat Jawa, sikap sosial
ditentukan oleh prinsip kerukunan dan hormat (Suseno, 2003: 168). Kerukunan
dibentuk dengan tujuan agar masyarakat selaras dengan kehidupan yang diharapkan
sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. Rukun berarti “berada dalam keadaan
selaras”, “tenang dan tentram”, tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu
dalam maksud untuk saling membantu”. (Mulder dalam Suseno, 2003: 39)
Keadaan rukun ialah keadaan dimana semua
elemen masyarakat berada dalam keadaan damai satu sama lain, saling bekerja
sama, saling menerima, dalam suasanan tenang dan sepakat. Rukun adalah keadaan
ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial,
keluarga, tetangga, di desa, dan dalam setiap pengelompokan tetap (Mulder dalam
Suseno, 2003:39)
Dalam kerukunan ada dua segi tuntutan.
Tuntutan pertama yaitu kerukunan diciptakan agar setiap elemen masyarakat tidak
bertindak merugikan pihak lain agar tercipta kehidupan yang selaras. Kedua,
kerukunan diciptakan bukan berkaitan dengan kondisi kejiwaan dan batin orang Jawa,
tetapi lebih mengarah pada hubungan-hubungan yang kasat mata. Hubungan itu
diatur sedemikian rupa melalui kesepakatan bersama agar senantiasa tercipta
kedamaian dan ketentraman.
Wujud kerukunan di dalam masyarakat Jawa
beraneka ragam. Wujud itu dapat berupa perilaku dan tutur kata. Wujud perilaku,
misalnya; sikap dermawan, toleransi/tepa slira,saling membantu, dan
saling mengasihi. Wujud tutur kata, misalnya: saling tegur sapa jika kebetulan
berpapasan, memanggil tetangga dengan sebutan kekerabatan –pakdhe, budhe,
paklik, mbakyu, kangmas, adik, mbah–, dan sebagainya.
Kerukunan tak hanya terjadi di lingkup
bermasyarakat. Sebelum mengarah ke masyarakat, kerukunan harus tercipta dulu di
dalam lingkup keluarga. Keluarga merupakan satu-satunya tempat dimana seseorang
tak harus merasa tertekan dengan aturan tata krama sosial yang menuntut
seseorang harus berlaku sesuai dengan ideologi masyarakat. Di dalam keluarga,
seseorang bisa menjadi diri sendiri tanpa terbebani tata krama sosial.
Kerukunan dalam keluarga penting keberadaanya.
Saling membantu dalam melakukan kerukunan
salah satunya adalah dengan memberi kepada tetangga maupun kerabat. Biasanya,
masyarakat Jawa saling memberi bantuan ketika salah satu anggota masyarakat
memiliki hajatan, mengalami kesusahan, dan dalam ekonomi yang kekurangan. Tak
ada aturan tertulis mengenai timbal balik, tapi masyarakat seperti memahami
bahwa kelak suatu saat harus berganti membantu. Bantuan tak melulu berupa uang
sumbangan. Seseorang bisa membantu sesuai dengan kemampuannya, baik dalam bentuk
pemberian jasa maupun barang. Keadaan masyarakat Jawa yang dekat dengan alam
–masyarakat petani maupun nelayan– memudahkan mereka menyumbang dalam bentuk
hasil pertanian, perkebunan, maupun perikanan.
D. Pembahasan
Budaya Nglungsur dalam Masyarakat Jawa
Tradisi lungsur-melungsur dalam masyarakat Jawa tidak
diuraikan secara jelas kapan tepatnya. Pun juga tidak muncul serta merta.
Kebudayaan semacam ini muncul karena pola kebiasaan yang terjadi terus-menerus
sehingga menciptakan suatu budaya baru.
Nglungsur tak hanya sebatas pakaian, bisa juga
barang-barang perkakas rumah tangga, seragam sekolah, buku, atau perlengkapan
lain yang masih layak pakai dan sayang untuk dibuang. Nglungsur dalam hal
pakaian ialah memberikan pakaian bekas yang masih bagus atau setidaknya layak
pakai untuk diberikan kepada saudara, kerabat, maupun tetangga. Motif nglungsur
semata karena si pemilik merasa masih belum rela jika barang miliknya dibuang. Alasan lainnya dikarenakan saudara, kerabat,
atau bahkan tetangga ada yang menghendaki barang tersebut.
Ada rasa saling menguntungkan antara pemberi dan penerima
ketika melakukan nglungsur. Pemberi diuntungkan dengan pakaiannya yang
tidak terbuang sia-sia, sedangkan penerima merasa untung karena mendapat
perlengkapan tambahan dan tak perlu mengeluarkan uang.
Biasanya, budaya ini terjadi di dalam keluarga –seorang
kakak yang memberikan miliknya pada si adik, maupun dari orang tua ke anak–,
sanak saudara, dan tetangga yang memiliki kedekatan. Melungsur tidak serta
merta diberikan kepada saudara yang tidak akrab, apalagi tetangga.
Ketidakakraban ditakutkan bila si penerima merasa direndahkan dengan diberi
pakaian bekas.
Gambar 3. Seorang adik memakai baju kakak
(foto: mommiesdaily.com)
Terkadang, sebelum memberi, calon penerima secara tak
sengaja melihat terlebih dahulu pakaian tersebut tidak terpakai lagi dan
dibiarkan tergeletak. Calon penerima dengan basa-basi menanyakan kegunaan
pakaian tersebut. Kemudian, calon pemberi mengatakan bahwa benda itu, meskipun
masih layak pakai atau masih bagus –terhadap pakaian– sudah tidak diinginkan
lagi. Kemudian calon penerima menyinggung bahwa jikalau diberikan kepadanya, ia
tidak keberatan dan malah senang sekali. Setelah percakapan selingan terjadi,
pada akhirnya pakaian tersebut pun beralih kepemilikan.
Dalam bentuk lain, terkadang calon pemberi menawarkan
pakainnya yang sudah tidak terpakai tapi masih layak pakai kepada calon
penerima. Biasanya dalam hal ini sudah ada keakraban antar pemberi dan penerima
sehingga tidak ada rasa sungkan. Kalaupun calon penerima menolak, biasanya
mereka menolak dengan halus sehingga tidak menyakiti calon pemberi.
Nilai Ekonomis
Rasa menguntungkan di antara kedua belah pihak yang
melaksanakan budaya nglungsur dapat dikategorikan dalam nilai ekonomi. Dalam
hal ini, pemberi diuntungkan karena pakaian bekasnya masih dapat dipergunakan
oleh orang lain. Penerima merasa untung karena tak perlu mengeluarkan banyak
biaya untuk mendapatkan pakaian tersebut. Ada sedikit penghematan bagi
penerima. Meskipun tidak benar-benar baru, setidaknya masih bisa dipergunakan
dalam jangka waktu yang cukup lama.
Nilai Kesehatan
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa kesehatan tak
hanya badan, tetapi juga mental dan sosial. Pelaku nglungsur mendapat beberapa
nilai kesehatan secara jasmani, mental dan sosial. Pakaian bekas layak pakai
yang dilungsurkan dari seorang saudara, kerabat, atau tetangga dekat dapat
diketahui riwayat penyakitnya. Hal ini dapat menjadi acuan penerima dan pemberi
apakah pakaian tersebut layak dilungsurkan atau tidak. Hal ini lebih sehat
daripada membeli pakaian bekas merk luar negeri yang biasa dijual di
pasar-pasar loakan.
Secara mental, antara pemberi dan penerima mendapatkan
rasa senang dan kepuasan masing-masing lantaran tidak ada yang dirugikan.
Secara sosial, si pemberi mendapat julukan sebagai seorang yang peduli dan
senang berbagi.
Ada dua sisi nilai kesehatan secara sosial bagi penerima,
nilai positif dan negatif. Nilai positif yaitu saat penerima merasa tenang-tenang
saja dan bangga ketika ia ditanya orang lain dapat darimana pakaian sebagus
itu. Karena biasanya, yang dilungsurkan tak melulu terlihat kumal dan blawus.
Ada kalanya tersebut baru dipakai beberapa kali dan sudah tidak diperlukan
lagi. Sisi nilai negatif ialah ketika penerima merasa bahwa dirinya adalah
orang yang tak mampu ketika ia mengatakan pada saudara, kerabat, atau tetangga
lain yang melihat pakaian lungsuran tersebut.
Nilai Kerukunan
Ketika nglungsur terjadi, tentu ada pertemuan antara
pemberi dan penerima. Pertemuan-pertemuan yang terjadi seiring intensitas
nglungsur lama-kelamaan akan menimbulkan kerukunan. Dimulai dari pertemuan dan
percakapan yang canggung, jika terjadi terus-menerus, maka kecanggungan itu
akan hilang dengan sendirinya.
Ketika pemberi dan penerima sudah saling akrab, dalam
segi kehidupan lain biasanya juga akrab. Mereka akan semakin sering
berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, memberikan makanan ketika
sedang memiliki hajatan, saling berbagi dalam senang maupun sedih.
Kerukunan yang tercipta akan membangun suasana yang
tentram, damai, dan sejahtera bagi kedua belah pihak. Dan secara tidak
langsung, juga menciptakan kerukunan dalam keluarga/masyarakat tempat mereka
tinggal.
Relevansi Budaya Nglungsur
Semakin bertambahnya penduduk, maka barang-barang
kebutuhan pun semakin bertambah. Penambahan jumlah barang sekali pakai akan
menimbulkan jumlah barang bekas yang banyak pula. Padahal, di depan telah
diterangkan betapa jumlah sampah pakaian bekas sudah sangat banyak, belum lagi
ditambah sampah bekas selain pakaian. Tentu bumi ini akan semakin tidak
produktif dalam menangani penguraiannya.
Meskipun sudah ada pengelolaan daur ulang di beberapa
negara, nyatanya belum dapat mengatasi seluruh masalah sampah di negara lain.
Padahal, jumlah limbah pakaian bekas tidak hanya di negara-negara maju, tetapi
juga di negara-negara berkembang. Selain itu, belum terdapat juga sistem
pengelolaan limbah yang baik di negara-negra berkembang tersebut.
Di era kini, kampanye back to nature sedang ramai
diteriakkan. Beberapa produktor memproduksi bahan-bahan yang dapat dengan cepat
diurai oleh alam. Namun, biar bagaimanapun, bahan pakaian tidaklah mudah
diuraikan oleh bakteri, kecuali dihancurkan oleh mesin khusus daur ulang
tekstil.
Salah satu terobosan yang dapat dijadikan acuan ialah dengan
mengurangi jumlah barang yang diperlukan dan mengurangi jumlah pembuangan
barang yang masih bisa dipakai. Di masyarakat Jawa, budaya nglungsur pakaian
bisa menjadi salah satu jalan keluar. Pemilik tak harus membuang pakaiannya
yang sudah tak terpakai tapi masih layak, melainkan dapat memberikannya kepada
mereka yang mau dan mebutuhkan. Toh, sekalipun sanak saudara, kerabat, dan
tetangga sudah tidak menerima, masih banyak jumlah panti asuhan dan
lembaga-lembaga swadaya yang membutuhkan untuk disalurkan kepada mereka yang
masih membutuhkan.
E. Penutup
Nglungsur merupakan budaya khas Jawa yang sudah ada sejak
lama. Budaya semacam ini tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga di beberapa
negara seperti Finlandia dan Jerman dengan penyebutan dan sistem berbeda.
Nglungsur pakaian sebagai salah satu ajaran budaya Jawa
dengan kearifan lokal, memiliki beberapa manfaat sebagai berikut.
- Menjaga kerukunan antar sesama saudara, kerabat, dan tetangga.
- Kerukunan yang tercipta akan menimbulkan kesejahteraan dan kedamaian di hati para pelaku dan membantu menciptakan kerukunan di masyarakat.
- Sikap saling peduli sesama dan menghargai pemberian orang lain.
- Menanamkan sikap hemat bagi pelaku.
- Mengurangi tingkat barang bekas dan memanfaatkan barang bekas yang masih layak pakai.
- Mengurangi tingkat tertular penyakit dari pakaian impor yang biasa dijual di pasar loak.
- Membantu penyuksesan program peduli lingkungan.
Demikian beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari
budaya nglungsur. Budaya Nglungsur patut dilestarikan dan dilengkapi dengan
modifikasi-modisikasi sehingga tidak hilang oleh pengaruh majunya zaman modern.
Penulis pun menyadari bahwa hasil penelitian ini masih banyak menemui
kekurangan, sehingga diharapkan dapat disempurnakan oleh peneliti lain.
Daftar Pustaka
Dwiyantoro, Arik dan Sugeng Harianto. 2014. “Fenomenologi Gaya Hidup
Mahasiswa UNESA Pengguna Pakaian Bekas”. Paradigma, Vol. 02, No 03.
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/paradigma/article/view/9456, 29 Des. 2016
Poerwadarminta, Hardjasoedarma, Poejasudira.
1939. Kamus Bausastra Jawa. Jakarta: J.B. Wolters’ Uitgevers Maatchappij
N.V. Groningen.
Sauri, Sofyan dan Harlan Firmansyah. 2010. Meretas
Pendidikan Nilai. Bandung: Arfindo Raya.
Suratno, Pardi dan Heniy Astiyanto. 2009. Gusti Ora Sare. Yogyakarya:
Adiwacana.
Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Tambulana, Monita Nur Fitriani. 2013. “Tren
Mengkonsumsi Pakaian Bekas di Kalangan Mahasiswi di Yogyakarta”. Skripsi. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.
http://www.greenpeace.org/international/en/news/Blogs/makingwaves/black-friday-planet-cant-take-it-buy-nothing-day/blog/58077/
[diunduh pada 28/12/2016 pukul 13.32]
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/02/pakaian-bekas-bisa-sebabkan-penyakit-kulit-berikut-ini
[diunduh pada 28/12/2016 pukul 12.06]
http://karambaart.com/post/6001992795/artikel-pakaian-sebagai-manifestasi-budaya/
[diunduh pada 29/12/2016 pukul 14.02]
http://dokter-medis.blogspot.com/2014/01/undang-undang-no-23-tahun-1992-tentang.html/
[diunduh pada 01/01/17 pukul 10.00]
http://sehatisme.com [diunduh 1/1/17 pukul 11.00]
No comments:
Post a Comment
kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)