“Barangkali, bagi sebagian anak kota,
sawah bukanlah hal yang akrab di telinga mereka. Jangankan akrab, pernah
melihat secara langsung saja sudah suatu hal yang istimewa. Tidak dipungkiri
anak-anak kota kini lebih senang berteman dengan gawai, benda tipis yang
menyajikan banyak hal menyenangkan dan tak perlu repot mengoperasikannya selagi
masih memiliki dua jempol.”
“Tapi, jika anak desa yang dulu selalu
bermain di sawah kini seolah lupa akan tempat mainnya, sungguh aku tidak terima.
Betapa gampangnya mereka menganggap ndeso orang-orang yang bekerja di
sawah. Padahal, biaya mereka merantau ke kota itu ya dari mutiara sawah yang
diolah sedemikan rupa oleh orang tua mereka. Mereka pikir mereka siapa sampai
melupakan asal usulnya? Dasar tidak tahu diri. Kalau saja orang tua mereka tak
mau dan tak mampu bekerja mati-matian di sawah, gigit jari mereka itu. Tak bisa
kuliah, tak bisa merantau, tak bisa menggapai
apa yang seringkali mereka sebut ‘mimpi’.”
Sore itu, aku dan Endro sedang berjalan
menyusuri galengan sawah. Celotehan Endro menjadi pemanis di
sela-sela jalan-jalan kami. Di bawah kaki kami padi hijau melambai-lambai manja
seperti gelombang lautan emas. Tangkai daunnya mengingatkanku pada masa saat
dulu aku membantu emak memanen. Sekarang panen sudah tidak seramai dulu
karena cukup dengan menggunakan mesin.
Kita berjalan menuju sebuah gubuk yang tak
jauh dari rerimbunan pohon bambu. Ya, di desa kami bambu selalu ditanam di
pinggiran desa sebagai pembatas antardesa. Biasanya letaknya berada di luar
pemukiman penduduk dan berada di pinggiran sawah. Kami lantas duduk di gubuk
tersebut. Endro meletakkan kompresan yang berupa tangki ke sisinya. Kami
pun berdiam sejenak sembari memandangi matahari yang hampir tenggelam.
Lembayung di ufuk barat sungguh indah dalam pandangan, membingkai sepucuk
gunung Muria di sisi barat laut.
Endro nyerocos kembali, “Aku tak tahu apa
yang ada di pikiran anak-anak zaman sekarang. Kebanyakan dari mereka telah
berubah menjadi angkuh, tak mau menjadi petani seperti aku. Bahkan ada yang
merasa tidak level jika harus panas-panasan di sawah. Ya, aku memang tidak
mampu seperti mereka yang pergi ke kota dan menelan bulir-bulir ilmu yang
nikmat itu seperti dirimu.”
“Sudahlah, En. Cerocosanmu itu sudah
kudengar berkali-kali setiap kali aku pulang kampung,” kataku meredam emosinya
agar tidak terus menerus menumpahkan kekesalan.
“Lagipula, siapa lagi yang mau
mendengarkan keluh kesahku. Cuma kau satu-satunya mahasiswi temanku yang masih
mau menengok sawah.” Aku akui kebenaran ucapannya.
“Iya, tapi bukan berarti yang tidak
menjenguk itu tidak mau terlibat dengan segala pengolahan sawah. Bisa jadi
mereka memang tak punya sawah. Bisa jadi pula orang tua mereka yang melarang.”
“Ahhh, kata terakhirmu mengingatkanku pada
pesan emakmu sebelum mengajakmu pergi.”
Emak memang melarangku ikut Endro mengompres padi.
Katanya, tak perlu bekerja terlalu keras dan kasar seperti itu. Kalaupun
bersikeras ikut, aku hanya boleh menonton saja.
“Hey, In. Kalau satu desa ini pemikirannya
seperti emakmu, sudah bisa dipastikan petani tak punya generasi penerus di masa
depan.”
“Siapa bilang? Sarjana pertanian banyak
sekali. Berjubin!” kilahku.
“Iya sih, tapi kau bisa menghitung sendiri
jumlah sarjana pertanian dengan yang bukan pertanian. Bahkan satu desa ini yang
sarjana pertanian paling cuma satu dua, kebanyakan memilih jurusan lain yang
enak kalau bekerja kelak.”
“Ahh, obrolanmu sudah setingkat mahasiswa
saja, En.”
“Lahh, faktanya memang begitu kok. Aku kan
cuma mengamati. Orang seperti aku ini kan banyak nganggurnya, jadi ya sering
mengamati perilaku orang-orang sekitar. Hahaha...”
“Nganggur apanya, sehari-harimu kau
habiskan di sawah katamu. Itu juga suatu pekerjaan meskipun tidak menghasilkan
uang. Hasil itu kan tak selamanya berupa uang.”
“Tepat. Tapi di dunia materialistik
seperti ini, sukses adalah punya banyak uang, In. Orang-orang tani seperti kami
tetap dianggap miskin entah sampai kapan.” Meski cuma lulusan SMA, tapi Endro
memiliki pengetahuan dan daya analisis yang tajam. Sayang sekali, temanku yang
lulusan terbaik itu tidak diperkenankan kuliah karena harus merawat simbahnya
yang renta dan menggantikannya bekerja. Sanak familinya jauh dan hidupnya juga
pas-pasan, kedua orang tuanya telah meninggal. Padahal, di zaman sekarang ini,
pasti tidak sulit bagi anak secerdas Endro untuk kuliah.
“Jangan salah, En. Kau kira makan nasi
tanpa harus membeli beras itu bukan kaya? Orang-orang kota sana makannya juga
beras, mereka harus beli terlebih dahulu. Sedangkan kau, petani, tak perlulah
membeli.”
“Benar juga sih, tapi kebutuhan hidup kan
tidak cuma makan saja, In. Kita perlu uang juga untuk memenuhi kebutuhan lain.
Kalau jadi tani, punya uangnya kan cuma saat panen. Itu pun kalau panennya dijual,
kalau tidak? Intinya harus punya kerjaan sambilan kan, In?”
“Relatif. Maksudnya tergantung En, dari
sudut mana kamu memandang. Kalau kamu merasa sudah cukup segala kebutuhannmu
dengan menjadi petani, ya tak perlu kerja sambilan. Tapi kalau kamu merasa
kurang atau memang tuntutannya begitu, ya memang harus punya kerjaan sambilan.”
“Iya sih, aku juga punya kerja sambilan
yang ku kerjakan disela-sela kesibukanku di sawah. Ahh, betapa beruntungnya
dirimu, In. Bisa kuliah jadi punya wawasan yang luas.”
Tidak apa, En. Petani juga pahlawan bagi
negeri, meskipun tidak berjuang mengusir penjajah, kalian kan pemasok utama
bahan makanan pokok.” Aku tersenyum padanya.
“Seneng sih dengernya, tapi orang-orang
sana tidak banyak yang menyadari jasa petani negerinya, In. Coba deh amati,
kalau harga bahan makanan mahal mereka protes tapi kalau harga sangat murah kan
kita rugi. Belum lagi panen gagal, yang tanggungjawab cuma petani doang,
padahal mereka juga ikut makan kan?”
Aku mengangguk-angguk membenarkan
ucapannya dan terlintas sekelebat sebuah ide di kepalaku.
“Menurutku, harus ada asuransi panen buat
petani, ya nggak? Jadi, petani itu kalau panen berhasil kan hasilnya melimpah
ruah ya. Alangkah baiknya jika hasil dari sebagian panen itu dimasukkan di
dinas pertanian atau lembaga apapun yang mengurusinya guna menunjang asuransi
panen dalam bentuk uang atau modal, maksudku kalau semisal padi ya berupa benih
padi. Jadi kalau pun panen gagal, mereka bisa mendapatkan modal kembali dari
asuransi panen mereka yang berhasil. Menurutmu gimana, En?”
“Wah, itu ide bagus, In. Mumpung kamu
mahasiswa, sana segera lakukan aksi, jangan cuma ditulis di artikel saja.
Hahahaha...”
“Eh, tahu aja kamu En kalau aku suka nulis
artikel.”
“Lha iyalah, dari SMA dulu juga sudah
kebiasaan kok. Nah, nanti kalau kamu mau memperjuangkan nasib kami yang petani
ini, aku ikut membantu deh, kan aku petani. Hehehe...”
“Oke siap, komandan!”
Dan kami pun tergelak penuh tawa senja itu
di tengah hamparan padi yang menghijau, saksi bisu percakapan kami.
TAMAT