 |
Peminum
sumber: http://megastarnews.blogspot.com |
“Suamiku adalah seseorang
yang sangat tulus mencintaiku dan aku percaya karena ia telah membuktikannya
hingga ke jenjang pernikahan. Namun, ada satu hal unik yang tak pernah ku
ketahui. Diam-diam ia seorang alkoholik.”
Jika kamu datang ke kota Pati
dan melewati Jalan Pemuda, kamu akan menemukan gang Kenanga di sebelah kiri
jalan, 500 meter dari arah simpang lima. Di sana terdapat perumahan yang
bernama sama. Bila kamu melihat rumah mungil bercat hijau yang agak menjorok ke
dalam, di sanalah aku dan suamiku menjalani hidup bersama.
Kami sudah menikah selama
hampir satu tahun. Selama itu kami masih saja berdua, belum memiliki momongan.
Bukan karena suamiku tidak getol membuatnya, mungkin Tuhan memang belum
mengamanatkannya kepada kami. Dengan alasan apa pun, aku dan suamiku percaya
bahwa alasan Tuhan pastilah yang terbaik. Kami tetap berusaha, setidaknya dua
kali seminggu. Itu pun kadang ia yang memaksaku.
“Selamat pagi, sayang,” ucap
suamiku lembut di telingaku lalu ia mendaratkan kecupan di dahi.
“Ayo bangun! Ini sudah siang,
lho.”
“Ahh, hari minggu. Kau tak
kerja kan? Aku capek karena semalam. Izinkan aku libur membuat sarapan.”
“Hmm, baiklah. Aku mau mandi
dulu. Setelah itu membuatkanmu sarapan.”
Sebelum meninggalkan
singgasana malam kami, ia mendaratkan kecupan di pipi. Aku tersenyum di
balik selimut. Ia memang lelaki yang romantis dan suka memanjakanku. Ia tak
pernah memaksakan kehendaknya dan sangat pengertian terhadapku. Aku begitu
bersyukur dinikahinya.
Bukan hal yang membuatku
mengejutkan saat ia benar-benar membuktikan bahwa ia adalah seorang alkoholik.
Saat pacaran dulu, dalam candaannya, ia pernah sekali mengatakan secara tidak
segaja bahwa ia senang minum minuman beralkohol. Ketika ku berodong dengan
pertanyaan, ia malah tertawa dan mengatakan kalau ia sukses menarik
perhatianku.
Jujur saja, aku adalah tipe
wanita yang tidak banyak menuntut, menyukai kebebasan, menghargai prinsip
seseorang, keras kepala, dan yang terakhir tomboi. Aku tidak terlalu
memperdulikan sikap suamiku yang kadang minum ciu. Aku memang mencintainya. Aku pun sudah berkali-kali
mengingatkan padanya bahwa alkohol tidak baik bagi kesehatannya. Tapi, ia tetap
tak memperdulikan nasihatku itu.
Sebenarnya, ia hanya minum ciu
jika ingin bercinta dan aku tidak mau melayaninya karena bad mood. Aku
bukanlah tipe wanita yang mudah terangsang. Aku akan mengatakan tidak sekali
saja jika aku memang tak mau diajaknya. Rupanya ia tak pernah memaksa.
Awalnya ia baik-baik saja,
namun sejak umur jagung pernikahan kami, kebiasaan buruk waktu mudanya kembali
lagi. Ia diam-diam dalam melakukannya, tanpa sepengetahuanku. Jika selama tiga
hari aku tidak menuruti kemauannya karena aku sedang capek, ia akan beralih
dengan minum ciu. Alasannya agar ia tidak stres, tapi menurutku ia hanya
beralasan.
Hingga suatu hari di hari Senin, aku menemukannya tergeletak mengenaskan di
bawah kursi kerjanya. Aku yang bangun kesiangan saat itu mengira dirinya sudah
berangkat kerja tanpa membangunkanku. Saat aku berniat membersihkan ruangan
kerjanya, rupanya ia tergeletak di sana dengan tampilan buruk. Kaos yang
acak-acakan, muka semburat, dan mulut bau alkohol. Di meja kerjanya tergeletak dua
botol ciu kosong yang tutupnya hilang entah kemana.
Aku panik dan segera menelepon kantornya, mengatakan kalau ia sedang sakit.
Susah payah aku membawanya ke kamar. Ku ganti kaosnya yang sudah bau alkohol. Ku
bawakan setangkup roti yang telah ku olesi madu dan segelas air putih. Ku
dengar setangkup roti dan madu bisa menjadi sumber kalium dan natrium yang
mampu melawan alkohol. Untuk air putih mungkin bisa mengatasi dehidrasi akibat
miras yang diminumnya.
Pukul sembilan ia baru sadar. Setelah sadar ia langsung muntah di selimut
dan kembali berbaring. Aku segera memberinya air putih dan mengganti selimut
dengan yang baru.
“Aku kan sudah bilang, Mas. Jangan minum alkohol terus,” cerocosku saat ia
setengah sadar.
Aku memijit-mijit kepalanya dan juga beberapa bagian tubuhnya. Ia masih
lemas dan nampak memprihatinkan. Aku jadi merasa bersalah telah mengomelinya.
“Apa perlu kupanggilkan dokter?” tanyaku untuk menebus rasa bersalahku
tadi.
“Tak usah! Nanti juga sembuh sendiri.”
“Baiklah. Aku juga minta maaf soal semalam. Aku tak menyangka bisa
membuatmu hingga seperti ini.”
“Sudahlah. Tak perlu minta maaf. Nanti juga baik-baik saja.”
Aku meninggalkan kecupan hangat di pipinya lalu tersenyum. “Istirahatlah!
Jangan lupa rotinya di makan. Sudah ku olesi madu tadi.”
“Iya, Sayang.”
Si pria tampan yang telah menaklukkan hatiku itu bernama Dian. Sudah lima
tahun kami pacaran sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menikahiku. Pernah aku
iseng bertanya padanya kenapa ia begitu mencintaiku. Sembari bergurau ia
berkata kalau ia jatuh cinta pertama kali pada bodiku yang seksi dan
selanjutnya karena ia memang telah digariskan oleh Tuhan untuk melindungiku.
Dua alasan yang tak begitu kusukai. Tapi, asal ia tidak main mata dengan yang
lain, bagiku tak ada masalah.
Hubungan kami sudah membaik sejak saat itu, meski kadang aku tetap menolak
jika aku memang benar-benar tidak mood. Ku lihat sekarang ia sudah bisa
mengendalikan stresnya jika ku tolak. Ia juga sudah mulai mengontrol
keinginannya untuk minum ciu.
Dua minggu setelah kejadian itu, ibu memintaku untuk membantunya karena di
rumah ada acara arisan dan pengajian berturut-turut selama seminggu penuh. Ibu
juga memintaku untuk menginap saja. Ia bahkan rela memohon-mohon kepada Mas
Dian agar aku diizinkan menginap. Karena ibu yang meminta, meski dengan berat
hati, tentu saja Mas Dian mengizinkan. Ia mengantarkanku ke sana pada Minggu
sore dan ia langsung pulang malamnya.
Sudah tiga hari aku di rumah ibu. Aku cemas memikirkan keadaan Mas Dian.
Rupanya ibuku tahu apa yang kurasakan. Ia menghiburku dengan mengatakan bahwa
Mas Dian akan baik-baik saja. Aku percaya pada ibu, bagaimana pun perasaan
orang tua lebih peka.
Hari keempat aku menelepon Mas Dian lagi. Aku mengatakan padanya kalau ia menginginkan
lebih baik datang saja ke rumah ibu dan menginap. Ia menjawab kalau ia
baik-baik saja dan tak perlu menginap karena hari ini ia sedang lembur. Aku
hanya bisa menahan –lagi-lagi cemas– mendengar kabarnya. Bisa ku bayangkan,
tiga hari saja ia sudah mabuk betitu berat, apalagi kalau sampai seminggu. Ku
harap ia bisa mengontrol minumnya dan tak sampai mabuk hingga aku pulang.
“Bagamana dengan Dian? Dia masih tak menjawab teleponmu?”
“Entahlah, Bu. Aku sudah berkali-kali menghubunginya, tapi tidak
diangkat-angkat juga. Apa jangan-jangan ada apa-apa dengannya?”
“Mungkin dia sedang sibuk kerja? Kalau nanti sore belum juga dijemput, biar
ayah yang mengantarmu,” hibur ibu padaku. Beliau tak tahu kalau Mas Dian
akhir-akhir ini menjadi alkoholik dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi
padanya.
Benar juga. Hingga menjelang malam ia belum datang. Terpaksa ayah yang
mengantarku pulang. Sesampainya di rumah, aku mempersilakan ayah masuk. Rupanya
rumah tidak dikunci, mungkin Mas Dian sudah pulang dan tadi lupa membawa ponselnya
di kantor. Atau ia tadi pulang terlambat dan bersiap-siap menjemputku. Aku
menjejali otakku dengan kemungkinan-kemungkinan positif.
Aku memanggil-manggil Mas Dian, tapi tak ada jawaban. Heran. Bukankah ia
sudah ada di rumah. Motornya juga ada di rumah. Sepatunya juga sudah tertata
rapi di rak sepatu. Aku memanggilnya sekali lagi, tetap tak ada jawaban.
Ketika pintu kamar ku buka, bau ciu yang khas menyeruak. Firasatku
mengatakan bahwa Mas Dian pasti habis minum lagi. Benar saja, di singgasana
malam kami, ia tergolek lemah dengan muka pucat pasi. Di sekitar selimut
terdapat muntahan yang baunya menyengat. Aku segera menghubungi dokter terdekat
untuk memeriksanya. Ayah bingung melihatku begitu cemas, ku katakan pada beliau
terus terang kalau Mas Dian mabuk berat.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” tanyaku was-was melihat raut muka dokter yang
tidak bahagia.
“Suami Anda rupanya suka minum alkohol. Agaknya sudah lama. Hal ini
berdampak pada hatinya dan jika tidak diberhentikan, dia bisa terkena kanker
hati.”
“Kanker, Dok?”
Sang dokter mengangguk. “Iya. Sebaiknya Anda merawatnya dengan baik. Jangan
sampai ia stres berat dan minum ciu lagi. Efeknya memang tidak seekstrim
minuman alkohol lain, tapi jika kebanyakan bisa juga berakibat fatal.” Dokter
memberi saran sambil menulis resep obat. Lalu ia memberikan obatnya
padaku. “Ini obat dan resepnya.”
“Terima kasih, Dok!”
Aku dan Ayah mengantarkan dokter keluar dan juga mengucapkan terima kasih.
Setelah kepulangan Pak Dokter, aku segera menuju ke kamar.
“Mas? Mas Dian? Sadarlah! Ku mohon...” Aku menagis melihat keadaannya. “Aku
mohon ini yang terakhir kali ya? Jangan mabuk lagi. Lebih baik engkau
menyuruhku pulang jika kapan-kapan aku harus menginap lagi. Jika tidak, engkau
yang datang ya.”
Mas Dian mulai membuka mata sedikit demi sedikit. Ia tersenyum padaku.
Ketika tubuhnya mulai pulih, ia bercerita padaku. Ia tak mau menyuruhku pulang
karena takut mengecewakan ibu. Sebenarnya ia tak ingin melakukannya lagi, tapi
rupanya ia belum bisa mengatasinya dan lagi-lagi ciu itu amat menggoda jika ia
tak bisa menyentuhku.
Dua hari lamanya ia tergolek di ranjang, kini keadaannya sudah mulai sehat.
Mulai sekarang, aku berjanji pada diriku sendiri, secapek dan setidakbergairahnya
aku akan tetap menuruti kemauannya. Apalah artinya pengorbananku jika dibanding
dengan penyakitnya yang membuatk miris hanya dengan mendengarnya.
Akan tetapi, badai rupanya belum berlalu. Di saat kami bahagia karena
masalh telah usai, aku mendapat telepon dari kakakku bahwa suaminya meninggal.
Tentu saja aku dan suamiku datang melayat. Meskipun rumahnya jauh di kota
Salatiga, aku tetap datang kesana. Hanya aku satu-satunya saudara yang ia
miliki. Tentu aku akan datang dan menemaninya, paling tidak satu minggu.
“Kau yakin akan menginap di sini satu minggu?” tanya Mas Dian lirih di
sela-sela keributan kecil tamu yang melayat.
“Ya harus bagaimana lagi, Mas? Hanya aku dan ibu keluarga yang dimilikinya.
Masa aku tega?”
“Tapi bagaiman dengan aku?”
Aku diam. Merasa dilema. Tentu tidak mungkin jika ia datang ke sini hanya
untuk bercinta, sedangkan sang tuan rumah sedang berduka. Lagipula ia juga
harus bekerja. Kalaupun cuti, paling cuma sehari. Jika aku pulang untuk sehari,
jarak rumahku jauh. Ini sungguh dilematis.
“Apa Mas benar-benar tak bisa menahannya?”
“Aku tak tahu apakah aku bisa atau tidak.”
“Coba saja Mas menyibukkan diri, atau mungkin pergi jalan-jalan di malam
hari, dan coba jangan bayangkan aku selama aku di sini. Yakin, Mas pasti bisa.”
Aku meyakinkannya, meski aku sendiri ragu.
“Baiklah. Akan aku coba. Aku pulang dulu ya,” pamitnya lalu mengecupku.
“Hati-hati, meski kita tak bertemu, aku akan slalu merindukanmu.”
Mas Dian tersenyum. “Miss you, too.” Ia kemudian menstarter motor
dan lenyap di balik tikungan jalan.
***
Seminggu di rumah Kak Ais akhirnya telah berlalu. Aku senang sekali bisa
pulang ke rumah bersama Mas Dian. Di sepanjang jalan, kami kadang
bercakap-cakap, kadang juga bercanda. Rupanya Mas Dian sedang mood baik.
Mungkin dia sudah bisa mengendalikan stresnya. Syukurlah.
“Selamat datang di rumah tercinta, Sayang!” sambut Mas Dian ketika kami
sampai. Ia membukakan pintu dan menyambutku bak pengawal yang menyambut
datangnya Cinderella. Aku jadi tersipu.
Aku memandang sekeliling. Rumah nampak bersih dan wangi. Rupanya Mas Dian
sekarang sudah berubah, sudah bisa mengendalikan diri. Satu lagi, ia sepertinya
menemukan semangat baru. Aku jadi penasaran, apa yang membuat Mas Dian jadi
begitu semangat ya.
Keesokan paginya, aku menata dasi dan merapikan kemeja Mas Dian sebelum ia
berangkat ke kantor. Ia begitu sumringah dan agak buru-buru. Setelah selesai
merapikan kemeja, aku mengantarnya sampai depan rumah. Aku mencium tangannya
dan ia balas mengecup keningku.
Aku sedikit janggal ketika masuk rumah kudengar suara dering ponsel Mas
Dian berbunyi. Rupanya ia lupa membawa ponselnya dan masih tergeletak di meja
sarapan. Aku segera mengambil ponsel itu. sederet nama asing tertera di sana.
Hesty. Siapa dia?
Aku tak mau berburuk sangka dulu. Kujawab telepon itu dan membiarkan suara
wanita di sebrang sana berbicara. Aku begitu terkejut mendengar suara manja
yang memanggil suamiku dengan nama panggilannya. Bahkan dengan santainya ia
meminta suamiku untuk menjemputnya dan berangkat bersama ke kantor. Tanpa ku
jawab, ku matikan telepon itu seketika.
Belum selesai keterkejutanku, suamiku kembali lagi. Rupanya ia tidak lupa
dengan ponselnya dan datang untuk mengambilnya. Aku mencoba tersenyum dan
berkata tak apa-apa di hadapannya ketika ia bertanya mengapa mataku
berkaca-kaca.
Tubuhku terasa lemas. Aku takut ada apa-apa antara Mas Dian dan wanita
bernama Hesty itu. Namun aku coba berpikir positif, siapa tahu mereka memang
sedang ada tugas dari atasan untuk suatu proyek sehingga mengharuskan mereka
berangkat bersama. Ah, aku tidak boleh terlalu cemburu dan khawatir.
***
Seperti biasa, jika siang dan selesai menyelesaikan pekerjaan rumah, aku
akan berbaring sebentar di kamar, sekadar tidur-tiduran. Betapa aku sangat
senang karena Mas Dian sudah berubah. Di kamar ini sudah tidak lagi kucium
aroma ciu yang menyengat dan menjengkelkan itu. aroma ciu yang dulu sering
membuatku khawatir dan merelakan kebebasanku kini sudah menguap bersam embun
pagi. Ah senangnya.
Aku duduk di tepi ranjang. Kuraba seprei yang biasa kami porak-porandakan
ke sana kemari. Ah, Mas Dian memang hebat, hanya saja aku baru menyadari
akhir-akhir ini. Ku raih satu bantal, ada sesuatu yang mengkilat di balik
bantal itu. Sebuah anting emas berbentuk bunga kecubung.
Aku tahu anting itu pasti milik wanita lain. Aku tak punya anting berbentuk
bunga kecubung, melihat pun tak pernah kecuali saat itu. aku yakin, pasti ada
wanita lain di sini. Pantasan saja aku merasa tidak tenang saat berada di rumah
kakakku waktu itu. Meskipun secara lahir suamiku baik-baik saja. Rupanya ia menyembunyikan
sesuatu di belakangku. Semakin kuat keyakinanku bahwa ada wanita lain di rumah
ini, hatiku semakin sakit. Bagaimana mungkin ia yang begitu kucintai dan amat
mencintaiku bisa membawa wanita lain di rumah ini. Seks? Apakah hanya gara-gara
seks atau ia memang sudah bosan denganku?
Malam ini aku tak bisa tidur. Mas
Dian sepertinya juga belum bisa tidur. Entah kenapa ia begitu gelisah sejak
pulang tadi. Ia juga membolak-balik bantal dan tumben-tumbennya merapikan
seprei sebelum kami tidur.
“Mas belum tidur?”
“Belum ngantuk. Kamu sendiri kenapa tidak tidur, Sayang?” Mas Dian
berbaring ke arahku.
Aku menoleh padanya, memberanikan diri menanyakan sesuatu. “Mas, rekan
kantormu ada yang bernama Hesty?”
“Ada. Kenapa memangnya?”
“Kalian kenal akrab?”
“Tidak juga sih. Cuma akhir-akhir ini dia jadi partner untuk suatu
proyek.”
“Proyek apa?”
“Emmm, proyek pemasaran ke ranah internasional.”
“Ohhh.” Aku diam mencoba puas, meski sejujurnya aku tahu dia berbohong.
Setelah itu kami diam dan mencoba tidur.
Tiba-tiba ponsel Mas Dian berbunyi. Aku yang kebetulan berada di dekat
nakes segera mengambil ponsel itu dan melihat siapa yang menelepon. Ternyata
Hesty. Tanpa memperdulikan Mas Dian, aku menjawab teleponnya, mengaktifkan speaker,
lalu membiarkan wanita yang tak tahu sopan santun itu nyerosos.
“Dian, kamu lihat antingku nggak?” Mas Dian mencoba merebut ponsel
dari tanganku.
“Antingku hilang sebelah....” Aku bisa mengelak saat dia mencoba
meraih ponselnya.
“Bentuknya bunga kecubung berwarna keemasan.....” Aku berlari menuju
pintu saat Mas Dian mencoba meraih tubuhku.
“Tahukah kau itu anting kesayanganku.....” Mas Dian mengejarku.
“Kembalikan Ana! Kau jangan salah paham dulu!”
“Aku tak bisa memakainya kalau yang satu belum ketemu....” Aku
mengelak dan berlari menuju sudut kamar yang lain. “Nggak! Kamu harus jelaskan
dulu kenapa ia bertanya padamu, Mas?”
“Dian? Apa kau mendengarku?” Mas Dian frustasi, tapi ia masih
mencoba berbohong. “Kami tak ada hubungan apa-apa? Dia hanya partner kerja.
Ayolah”
“Hey Dian?! Kenapa di situ ribut sekali? Apa yang terjadi, Sayang??” Aku
makin geram mendengar peekataan Hesty. Aku mengarahkan ponsel itu tepat di
mulutku dan kuteriakkan makian padanya, “Diam kau perempuan sundal!” Seketika
telepon ditutup.
“Percayalah, Ana sayang. Aku tidak melakukan apa-apa.”
Hatiku menangis, ingin rasanya aku menjerit sekeras-kerasnya. Jika seperti
ini rasanya aku lebih rela melihatnya menegak ciu dan mencium aromanya. Aku
merinduka aroma ciu yang seperti dulu, yang membuat kesal tapi juga damai karena
ia tak main mata dengan wanita lain. Aku merindukan aroma ciu.
“Mas, ku mohon berkatalah jujur! Aku sudah tahu semuanya sekarang. Sejak
tadi kau mencari ini kan?” Aku memperlihatkan sebuah anting kecubung keemasan.
“Seperti ini kau bilang partner kerja? Kerja apa, Mas? Kerja lomba
melenguh di atas singgasana malam? Hah?!! Jawab aku, Mas.”
“Ana, aku khilaf. Aku minta maaf. Ini tak seharusnya terjadi. Aku
kehilangan kendali saat itu. Aku belum bisa mengendalikan diriku dan saat aku
mabuk aku malah menghubungi Hesty dan menyuruhnya datang kemari. Ku kira ia tak
datang, rupanya ia datang meski pukul sebelas malam. Dan setelah itu ...”
“Cukup! Aku tahu apa yang terjadi tanpa kau teruskan.” Aku menangis meraung.
Air mataku mengalir deras dan tak ada habisnya, seakan di sana ada samudra air
mata. “Mulai sekarang jangan pernah melihatku lagi. lebih baik aku melihatmu
mati minum ciu daripada engaku tidur dengan wanita lain.”
“Ana, maafkanlah aku! Kumohon, Ana! Aku mencintaimu. Waktu itu kuteringat
kata-katamu bahwa kau tak sanggup melihatku sakit karena alkohol. Aku
mengingatnya dengan baik. Aku tak mau melihatmu sedih. Aku senang ketika aku
bisa menunjukkan wajah semangat saat kau pulang dan membersihkan rumah ini dari
bau ciu yang memabukkan itu.”
Aku merindukan aroma ciu, tapi aku juga membencinya. Aku merindukannya
dalam jumlah sedikit saja agar ia tak merusak diri Mas Dian dan bisa
membentengi Mas Dian dari seks selama beberapa hari. Aku membencinya karena
kehadirannya telah mengundang wanita sundal bernama Hesty yang merusak kerajaan
rumah tanggaku.
Semuanya karena ciu, minuman bening yang memabukkan.