Suasana di klub AZ malam itu sangat ramai. Beberapa laki-laki dan perempuan nampak sedang berbincang santai di bar. Ada juga yang ramai-ramai ajojing di dancefloor. Tak jarang yang haha hihi di sofa —nampak seorang pria dikerumuni oleh tiga orang LC (lady companion)— sampai -sampai sudah mengosongkan tiga botol minuman.
Aku sendiri masih duduk dengan ditemani segelas red wine yang sudah tinggal setengah gelas. Mataku liar ke sana ke mari mencari seseorang. Dan kulihat dari arah tangga lantai dua, sosok yang kucari melambaikan tangan. Ia berjalan mendekatiku.
“Hai, lama sekali tidak berkunjung ke sini,” sapanya ramah.
“Ya, begitulah. Lagi banyak urusan.”
“Urusan apa pacar baru?” ledeknya. Ia memesan bir Corona satu gelas.
“Hahaha, tau aja kamu,” balasku, merasa tertangakap basah. “Kamu sendiri? Bagaimana?” lanjutku.
“Ya begini, seperti yang kau lihat.”
“Tak ada yang mengesankan? Atau setidaknya membuatmu betah gitu? Kan sudah dua bulan...”
“Hhhh...,” ia menghela napas, lalu menegak birnya hingga tinggal setengah. Aku pun mengikuti.
“BO gue dong, lagi bete banget nih,” pintanya. Ia bergelayut manja di bahuku.
“Kenapa? Lagi banyak masalah ya?”
“Ya, setidaknya bisa jalan-jalan. Lama nih nggak hirup udara seger.”
“Oke, tunggu sini ya.”
Aku memanggil Mami Wizzi yang kebetulan nongol di antara para tamu. Setelah tawar-menawar seperlunya, aku diizinkan mem-BO —istilah untuk Booking Out, membawa keluar— Vitqa sampai lima jam ke depan. Asyik juga tuh.
Aku dan Vitqa keluar dari klub dan menuju parkiran. Kami belum tahu hendak kemana. Intinya jalan dulu, urusan mau ke mana dipikir sambil jalan aja.
“Aku berani jamin, lagi putus sama pacar ya?” tebak Vitqa tiba-tiba.
Aku tak menanggapi, belum lebih tepatnya. Mobil kami meluncur keluar dari gerbang AZ. Aku masih mendiamkan pertanyaannya. Vitqa memejet tombol radio, sayup-sayup suara musik mengalun dari sana, mengiringi laju mobil kami.
“Kamu sendiri? Katanya lagi bete. Bilang aja kek kenapa?”
“Iya nih. Lagi butuh banyak duit, apalagi bokap nyeraiin nyokap sebulan lalu. Terus nyokap mulai oleng dan masuk RSJ.”
“Hah?” aku syok. “Banyak banget perubahan, padahal baru nggak ketemu dua bulan.”
“Apalah, Ren. Orang hidup mah mana tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Mungkin itu ganjaran dari dosa-dosaku kali ya?”
“Tumben ngomongin dosa, biasanya nggak tuh. Hahaha...” ledekku, tertawa garing.
“Gini-gini aku juga ngerti kali, Ren. Karma itu ada.”
“Terus, gimana? Udah dapet duitnya?”
“Lha itu masalahnya. Gue udah dapet.”
“Kok masalah?” Aku menoleh, alisku naik sebelah.
“Iya, aku dapet tawaran dari orang bule, 50 juta. Bayangin Ren, itu setara ama gaji gue sebulan! Tapi...”
“Tapi apa?”
“Aku harus lepas keperawanan. Aku nggak mau, nggak berani juga, takut.”
Aku diam. Rupanya Vitqa masih menghargai kehormatannya sebagai wanita. Ku kira selama ini dia... Ah, hampir lupa. Vitqa juga manusia, perempuan seperti pada umumnya. Mungkin orang lain memandangnya sebelah mata, tapi rupanya ia punya prinsip.
“Kamu boleh tertawa sepuasnya Ren. Silakan tertawakan aku. Wanita LC yang sehari-harinya diraba-raba, diciumi, bahkan tak jarang mempertontonkan area privatnya... masih perawan.”
“Siapa yang mau ketawa. Aku salut lagi. Hari gini masih ada LC yang punya prinsip.”
“Nggak semua LC itu sama, Ren. Dan nggak semua LC ujung-ujungnya ke seks.”
Musik sudah berganti lagu, kini lagu Kupu-Kupu Malam mengalun.
Kami diam sejenak, menyimak bait demi bait lagu tersebut. Yang pasti, kami tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri.
“Persis,” gumamnya pelan, penuh penekanan.
“Apanya, Vit?” tanyaku heran.
“Banyak yang memuja, banyak pula yang menghina.”
Aku diam. Aku tahu yang dimaksud adalah dirinya. Memang kan, di adat timur seperti Indonesia, wanita seperti Vitqa dipandang hina di masyarakat; tak bermoral, merusak rumah tangga orang, menguras harta, menjadi biang penyebab penyakit seksual, pembawa malapetaka. Toh, siapa sebenarnya yang salah? Mereka hanya bekerja sebagai penghibur lelaki yang kesepian, yang penat dan bosan. Coba kalau wanita semacam Vitqa tak ada, keseimbangan tak kan tercipta bukan? Sudahlah, toh yang ada di dunia ini sudah diatur sedemikian rupa porsinya agar seimbang. Coba saja jika orang-orang sana mau melihat Vitqa dari sudut pandang yang berbeda.
“Hei, ngelamun aja dari tadi.”
Aku tersentak, lalu nyengir.
Lampu merah nyala. Di depan jalan sana, nampak empat remaja putri menyebrang sedang membawa belanjaan barang-barang bermerk, masih berseragam SMA. Duhhh, hari gini anak-anak SMA masih keluyuran.
“Lihatin apa sih, Ren?”
“Nggak kok,” aku mengalihkan pandangan pada sertir mobil. “Adikmu masih sekolah apa kuliah?” tanyaku kemudian.
“Kenapa emang? Mau kenalan?”
“Apa?! Nggak juga kalee.”
“Dia udah kuliah, semester dua ini. Aku bersyukur bisa nguliahin dia. Moga aja dia nggak kayak kakanya, yang cuma lulus SMA dan mudah dibohongi.”
“Dia tahu kalau kamu bekerja di klub malam?”
“Nggak lah. Dia cuma tahu kakaknya ini kerja jadi karyawan di Jakarta.”
“Iya, karyawan di klub. Nggak sepenuhnya bohong,” tambahku.
“Bisa aja kamu. Tapi bener juga sih,” Vitqa tersenyum, dua lesung pipitnya muncul, jadi tambah manis aja. Duhh, mikir apa sih aku.
Vitqa menengok arlojinya, “Kita masih punya 3 jam nih.”
“Ya udah, kamu pengennya kemana tak anterin.”
“Beneran nih?” Mata Vitqa berbinar. Aku jadi sedih, biasanya kalau BO yang nentuin kan yang mem-BO.
“Oke deh, kamu nyetir aja, aku yang nunjukin tempatnya.”
“Siap, Bos!”
“Eh, kamu belum cerita tadi? Kamu beneran putus sama pacarmu?”
“Iya.”
“Kenapa?”
“Dia menghianatiku. Padahal kami berencana menikah bulan depan.”
“Wah, sayang sekali.”
“Iya, dia bilang kalau dia sudah memberikan keperawanannya sama mantan pacarnya. Sayangnya si mantan nggak mau mengakui, malu.”
“Ajegile!! Wah, jahat banget tuh dua-duanya.”
“Aku nggak pernah menyangka. Ku kira dia wanita baik-baik. Secara lah ya dari keluarga baik-baik, eh nggak taunya malah begitu. Akhirnya kami putus dan nggak tahu kabar dia sekarang gimana.”
“Wah, sayang banget ya. Dia nyia-nyiain cowok baik kayak kamu. Kamu yang sabar ya, Ren.” Vitqa mengelus punggung tanganku. “Padahal aku sendiri berharap banget nemuin cowok yang bisa jagain aku.”
“Suatu saat nanti kamu pasti bakal nemuin kok, Vit.”
“Semoga.”
“Ren, aku boleh ngomong?”
“Hahaaha, ngomong aja kalee. Dari tadi juga udah ngomong.”
Vitqa nyengir, kelihatan kalau di malu.
“Gimana kalau kamu aja yang bantu aku, Ren.”
“Emang kamu butuh berapa?”
“Empat puluh juta, buat perawatan nyokap sama biaya semesterannya adikku.” Dia terdiam sebentar, lalu dengan cepat menyambung, “Aku tahu kamu nggak semudah itu ngasih. Buat kamu... nggak papa deh aku lepas keprawanan.”
Aku mengerem mendadak. Syok. Mobil berhenti.
Menyadari suara klakson yang meraung-raung di belakang, aku pun menepikan mobil.
“Kamu gila, Vit! Nggak mungkin aku ngelakuin itu!” Aku memukul-mukul setir, kesal dengan keputusannya.
“A...aku tahu, Ren. Uang itu nggak sedikit. Makanya aku menawarkannya.”
“Bukan masalah uangnya!” Aku semakin kacau.
“Kenapa?! Aku sudah buntu, Ren! Ini jalan terakhir! Atau kamu jijik dengan aku?!” suara Vitqa makin meninggi.
Dan aku tak bergeming.
“Ya, aku tahu kamu jijik. Aku sering diraba-raba, diciumi, bahkan seluruh tubuhku sudah banyak yang melihat. Aku yakin kau pasti jijik terhadapku.”
“Ren, sekali ini saja. Setelah itu kau boleh membenciku.”
Vitqa mendekat, mengecupkan bibirnya di pipiku. Aku memalingkan muka pada jendela, tapi ia meraih wajahku dan mengecup lembut bibirku. Diriku semakin terhanyut oleh sapuan bibirnya. Aku di ambang kesadaran. Samar-samar aku merasa tangannya menuntunku, lalu sesuatu yang kenyal telah berada dalam genggaman.
Vitqa mendesah dan tiba-tiba aku tersentak.
“Tidak! Ini tidak benar.” Aku mulai mendapatkan kesadaranku kembali.
“Kenapa berhenti, Rendi? Mari kita lanjutkan! Ayolahhh...” Vitqa merangsek maju dan berusaha menggapaiku.
Aku memegang kedua bahunya. “Vitqa dengar! Bagaimana mungkin aku menodai seorang wanita, sedang aku sendiri tak rela pacarku ternodai!”
“Apalagi yang kau tunggu?! Dia sudah menghianatimu. Tak ada salahnya kan kau melakukan hal yang sama? Dia bisa, kau juga bisa!”
“Arrrggghhhhhhhh, tapi nggak begini caranya!!!” Aku berteriak dan menjambak rambutku sendiri. Bahkan aku merasa permata hidupku bergerak-gerak di sudut sana gara-gara aku melihat gaun Vitqa yang sedikit terbuka di bagian dada.
Vitqa menangis tersedu-sedu. Aku jadi semakin bingung. Di sisi lain aku ingin menolongnya, tapi tubuhku menginginkannya. Aku harus bagaimana? Apalagi dia menangis seperti itu. Aku paling nggak tahan lihat cewek nangis gara-gara aku.
Lalu airmata langit turun, seakan ikut bersimpati dengan apa yang Vitqa rasakan. “Dulu, dua bulan yang lalu. Aku ingat bagaimana aku bisa bekerja di sana,” Vitqa mulai bercerita, sepertinya ia mendapatkan kesadarannya kembali. “Waktu itu aku baru datang di Jakarta. Aku diusir dari tempatku bekerja karena melakukan kesalahan akibat kebodohanku. Lalu malam-malam begini, ketika hujan turun aku dikejar-kejar lima orang preman. Aku ketakutan setengah mati. Aku berlari dan terus berlari hingga kakiku berdarah-darah...” Vitqa berhenti sejenak, ia masih terisak-isak.
“Aku berlari dan tak memperdulikan kakiku. Yang kupikir saat itu aku harus menyelamatkan diri. Tak peduli apa pun. Tanpa sengaja aku masuk ke klub AZ. Aku bersembunyi di sana. Untungnya preman tadi tak melihatku.”
“Keesokan paginya aku bertemu Mami Wizzi dan sejak saat itu aku menerima pekerjaan yang ditawarkannya. Aku terima karena tak punya tempat tinggal dan bingung harus bagaimana lagi.”
Baru kali ini aku mendengar Vitqa curhat. Aku yakin dia pasti sedang kalut banget. Apalagi orang tipe Vitqa punya prinsip pantang dikasihani. Baginya, apa yang dibayarkan orang lain harus setimpal dengan jasanya.
“Aku turut bersimpati.” Hanya kata itu yang bisa kuucapkan.
“Bagiku, hujan selalu meninggalkan dingin, ketakutan, dan kehampaan.”
“Kau benar. Meski tak selalu meninggalkan pelangi, tapi dia menumbuhkan tunas-tunas baru.” Kataku melengkapi lalu mengimbuhkan, “Senja memang sudah berpamitan dan meninggalkan udara yang menyesakkan, tapi percayalah, pagi selalu datang dengan embun yang menyegarkan.
“Masa lalu boleh kelam, tapi kita masih punya hari esok untuk memperbaiki.” Vitqa mencoba menafsirkan.
Aku mengangguk. “Tepat sekali!” balasku sembari membenarkan atasannya agar menutupi dada.
*Tamat*
No comments:
Post a Comment
kritik dan sarannya semogaa bisa membantu :)