“Jikalau aku harus jatuh, aku
ingin jatuh seperti biji
mahoni.”
 |
Pohon Mahoni by treeplantation.com |
Kicauan burung terdengar
bersahut-sahutan di balik pohon mahoni. Suaranya begitu merdu dan bersahabat,
seolah mengajak bernyanyi bersama. Lalu, lima biji mahoni kecoklatan jatuh dari
buahnya, memutar-mutar indah seperti baling-baling helikopter. Disusul beberapa
helai daun mahoni yang telah habis masanya. Jatuh tergeletak di tanah serupa
bayi yang tak diharapkan. “Srek...srek...srek...” Suara seseorang sedang tapen
beras terdengar timbul tenggelam dari arah belakang rumah seseorang. Kadang
terdengar gaduh, kadang terdengar sunyi. Suara-suara tersebut berpadu dengan
desau daun pisang milik Cik Uni yang tertiup angin.
“Sedang tapen beras, Cik?”
“Eh, Darsih. Sejak kapan kau berdiri
di situ?” Cik Uni agak kaget melihat Darsih berdiri tak jauh darinya.
“Ah, Cik saja yang tidak melihat
kehadiranku. Banyak lasnya,
Cik?”
“Tidak juga. Hanya saja ini
kerikilnya banyak.”
"Mau aku bantuin, Cik?” Darsih
menawarkan diri, tangannya terjulur hendak membantu. Cik Uni buru-buru menarik
tampahnya. Darsih merasa bersalah. “Tak usah repot-repot, Sih. Kau urus sajalah
kambing-kambingmu itu.”
“Ahh, iya. Aku baru ingat kalau sedari
tadi aku hendak mencari rumput, Cik. Kalau begitu pamit dulu ya, Cik.”
Darsih kemudian menyangklongkan
karung rumputnya yang baru berisi separuh. Ia pun berbalik dan menembus
rerimbunan pohon mahoni. Telapak kakinya yang telanjang menimbulkan suara
kemresek daun-daun mahoni kering. Ia hilang dibalik rerimbunan mahoni sore itu.
Darsih berhenti di sebidang tanah
yang berumput hijau. Rumput itu tidak benar-benar hijau. Di atasnya terdapat
beberapa helai daun mahoni kering. Ia mendongak ke atas dan lagi-lagi melihat
beberapa biji mahoni yang sedang jatuh. Ia menyibakkan daun-daun kering dan
mulai menyabit rumput-rumput itu. Satu per satu batang rumput terpotong dan
masuk ke dalam karungnya.
Selama menyabit, Darsih diam. Dalam
kediaman dirinya ada suara yang begitu bising. Suara-suara yang tak pernah
berhenti di mana pun ia berada. Bahkan di tempat sunyi sekalipun, suara-suara
itu selalu mengikuti. Tak peduli ketika Darsih sedang menonton lomba panjat
pinang tujuh belasan, menonton ketoprak, ikut bersorak dari kejauhan, atau pun
ketika ia menjelang tidur dan hanya ditemani lampu setolop. Suara-suara itu tak
pernah beranjak pergi.
“Hhhgggfff....” Darsih menghela
napas. Percuma ia mencoba mengusir suara bising itu. Suara-suara itu ada dalam
pikirannya sendiri. Terus menerus berkicau dan berkicau layaknya burung yang
berdendang di balik rimbunnya ranting mahoni. Hanya saja, suara kicauan burung
itu amat mendamaikan, sedangkan suara dalam pikirannya begitu mengganggu
ketenangan. Darsih mencoba mengabaikan dengan fokus memotong rumput, memenuhi
karungnya sesegera mungkin sebelum senja datang.
“Srek..srek...srek...” beberapa
rumput kembali berakhir di sabit Darsih. Ia mencoba mengalihkan suara bising
dalam pikirannya. Dengan keras. Sekuat tenaga. Dan.... cruk. Jemarinya
malah terkena sedikit sabitan. Ia memekik pelan, lalu dengan sigap menyobek
kain selendangnya untuk membalut lukanya. Darah masih terus menetes meskipun
sudah dibalut kain. Ia pun memutuskan untuk pulang. Suara bising dan rasa sakit
di jarinya tak mendukungnya untuk menghabisi beberapa rumput lagi.
"Sih? Kenapa dengan tanganmu?”
seseorang menegurnya langsung. Darsih sedikit kelabakan setelah tahu milik
siapa suara itu.
“Ah, De Pardi. Ku kura siapa. Ini,
barusan tersabit sedikit,” jawab Darsih sedikit gugup.
“Owalah... kok ya ada-ada saja
resiko orang cari rumput. Masih menetes darahnya?” De Pardi segera mendekati
Darsih. Darsih bergidik, kemudian mencoba tenang kembali. Dengan cekatan De
Pardi mencari daun petai cina muda, menguyahnya sebentar. “Buka dulu kainnya,”
pintanya. Darsih membuka lilitan kain, lukanya mengeluarkan darah segar yang
masih berbau besi berkarat.
Pelan-pelan, De Pardi menaruh
kunyahan daun petai cina muda ke luka Darsih. Liur? Tentu saja kunyahan itu
penuh liur De Pardi. Liur itu sedikit berbau tembakau. Mungkin De Pardi barusan
merokok. “Sudah, sekarang kau boleh menutupnya. Nanti selepas mandi, kau obati
dengan bedin ya.”
“Betadine, De.” Darsih mencoba
membenarkan sembari melilitkan kembali kainnya.
“Nah, itu maksudku. Sudah, lebih baik
kau pulang saja. Sudah hampir malam juga.”
“Terima kasih, De.”
“Sama-sama.”
De Pardi kemudian beranjak dengan
arah yang berlawanan. De Pardi adalah tetangga dekat Darsih. Dulu ia adalah
teman akrab ibunya ketika mencari rumput. Ketika mencari rumput, hiburan mereka
hanyalah saling mengobrol dan bersahut-sahutan. Bagi mereka, hal itu sudah
merupakan hiburan penuh kemewahan yang dimiliki hari-hari pencari rumput,
hari-hari kaum petani.
Darsih segera beranjak. Ia
menggendong rumputnya di pinggang dengan kain selendang. Sabitnya ia bawa
dengan tangan kanan, sedang tangan kirinya memegangi selendang di dada agar
rumput tidak mudah lepas. Darsih kembali menembus rimbunan mahoni. Pulang ke
rumah.
***
"Mak...Mak... Mak di mana?” suara
seorang anak kecil memanggil-manggil ibunya. Dia membawa sebuah mainan congklak
di tangan kanan dan seplastik biji srikaya. “Mak, aku pamit dulu ke rumah Sandi
ya. Aku mau main congklak.”
“Di sini, Yun. Iya. Hati-hati kalau main. Jangan pulang sampai magrib ya.”
“Siap, Mak. Assalamu’alaikum...”
Derap langkah Ayun
semakin cepat. Pagi itu ia amat bersemangat. Ia menuruni tangga dan berlari
menuju rumah Sandi. Congklak yang ia bawa hampir saja terjatuh saking semangatnya ia
berlari.
Darsih sendiri sedang
mencuci pakaian. Dan ibunya memilah sayuran.
Tiba-tiba.....
Terdengar suara gemuruh.
Gemuruh yang begitu hebat hingga Darsih tak menyadari suara apa barusan. Dia
tak sempat tahu. Matanya tertutup dan ia merasakan perih di pipinya. Amat
sangat. Lalu sayup-sayup ia mendengar ibunya menjerit. Sekali. Lalu suara jeritan hilang bersamaan dengan kesadarannya yang terbang entah kemana.
Kelopak matanya terbuka.
Setelah mengerjap-ngerjap, ia melihat orang-orang dengan luka-luka di kanan
kiri. Mereka semua merintih, mengaduh.
Dikumpulkannya tenaga,
lalu ia mencoba duduk.
“Dik, siapa namamu?”
seseorang dengan baju tim SAR berjongkok di hadapannya.
"Darsih,” ucapnya lemah. Dirasakannya
perih di pipi kanannya. Dia hampir saja menyentuhnya kalau saja tim SAR itu
tidak melarangnya.
“Jangan disentuh. Luka lecetmu parah.”
"Maksudnya? Boleh aku
meminta cermin?”
"Oh, baiklah. Tunggu
sebentar.” Ia berdiri dan beranjak. Lalu kembali membawa pecahan kaca ukuran
telapak tangan. “Maaf, aku hanya menemukan ini. Setidaknya membantu untuk
bercermin.”
Darsih mencoba menguatkan
diri untuk kondisi terburuk wajahnya. Ia menghela napas pelan dan menghadapkan pecahan
kaca itu ke wajahnya. Di sana, ia melihat seseorang dengan wajah sendu dan pipi
terkelupas yang amat sangat menakutkan. Bahkan tulang pipinya ada yang
kelihatan.
"Tidaaaakkkk...!!!!!” Darsih
histeris. Kaca itu dilemparkannya jauh-jauh. “Siapa monster itu? Siapa dia!?”
Darsih histeris sejadi-jadinya.
“Darsih, kau yang tabah
ya. Ibu dan adikmu sudah pamit lebih dulu.” De Pardi kemudian datang dan menyampaikan
kabar yang rasanya seperti mimpi buruk bagi Darsih.
“Tidak! Ini pasti mimpi.
Kumohon bangunkan aku! Bangunkan aku dari mimpi buruk ini! Kumohon!” Darsih meronta-ronta kepada
De Pardi. Meronta pula pada tim SAR. Lalu meronta pada siapapun. Dia kalut. Takut. Kacau.
Gila.
“Tolong, Pak. Tolong, Buk. Tolonggg...! Tolong bangunkan
aku dari mimpi buruk ini! Tolong, tolong bangunkan aku!” Darsih kembali menjerit hingga suaranya melemah. Napasnya pun tinggal
satu-satu. Ia berlari menuju ke ujung desa.
Darsih bersandar di bawah
pohon asem. Tubuhnya lunglai, kakinya tak sanggup berjalan. Kenyataan ini
terlalu pahit baginya. Ia tak sanggup menanggungnya. Pohon asem tempatnya
bersandar pun tak bergerak sedikitpun, seakan tahu betapa hati seseorang yang
sedang bersandar di bawahnya sedang kacau. Butuh ketenangan. Lalu sebuah asem
yang sudah tua jatuh. Pohon itu seakan memberinya pesan bahwa segalanya akan
jatuh pada masanya, segalanya akan usai pada akhirnya.
Andai waktu itu Darsih
tidak kehilangan kewarasannya, ia pasti sudah menjerit. Ia terduduk di bawah
pohon asem tepat di tengah-tengah kuburan. Dan senja sudah melambaikan tangan
beberapa waktu yang lalu.
Tiga hari kemudian,
perkampungan penuh dengan aroma amis darah kering. Darah-darah kering itu
memenuhi reruntuhan bangunan. Menyeruak ke hidung melalui celah puing-puing. Lihatlah
di ujung jalan sana, gedung lantai 21 itu runtuh. Rata dengan tanah. Padahal
dulu, di suatu masa, gedung itu mencengkeram. Bukan hanya mencengkeram tanah,
namun juga mencengkeram hak-hak rakyat kecil. Ketahuilah, di balik kegagahannya
menyimpan ketegaan yang amat sangat.
Sebuah keranda melewati
kuburan. Lalu bau melati beradu dengan amis darah. Keranda itu ialah ...
“Kau harus tabah, Sih.
Tabahkan dirimu, Nak,” lipur salah seorang tetangga Darsih. Ia sendiri mencengkeram tanah pemakaman yang
hendak memisahkannya dengan jasad ibu dan adiknya. Darsih belum rela ditinggal
dua orang yang amat sangat berarti dan dicintainya selama ini.
"Ibu.... Ibu.... Ibu...
Aku tak sanggup, Bu. Jangan pergi, Bu. Ku mohon Tuhan kembalikan ibuku.
Kembalikan dia, Tuhan... Huuu....huu... Hiks...hiks...”
Ibunya dimakamkan
bersebelahan dengan Ayun. Keduanya pergi dengan damai, sedang Darsih amat
terpukul. Ia begitu iri keduanya bisa bersama, sedang ia sendirian di dunia
yang berbeda. Ingin rasanya ia ikut ke dalam, merelakan diri dikubur
hidup-hidup. Baginya hal itu jauh lebih membahagiakan asal dapat bersama-sama
dengan mereka.
“Nak, barangkali kau masih
mengemban tugas dari-Nya, sehingga Tuhan belum berkenan memanggilmu. Ikhlaslah,
Nak. Cobalah untuk ikhlas agar ibu dan adikmu dapat pergi dengan tenang.”
“Tidak.., Aku tak
sanggup,” rintihnya lirih. Ia mengaku kalah pada kuasa Tuhan. Tanah merah itu
sudah sepenuhnya menutupi jasad ibunya dan Ayun, menenangkan mereka.
Hingga adzan magrib
berkumandang, Darsih masih tertunduk di pemakaman. Rupanya ia enggan pulang.
Lagipula kepada siapa ia harus pulang. Ayahnya tak pernah kembali semenjak ia
selingkuh lagi. Entah sudah berapa wanita yang ditidurinya. Ibunya berjuang
sendiri karena si ayah tak pernah pulang. Dan ia sering melihat betapa air mata
selalu menjadi teman setia ibunya. Di dalam keseharian, di setiap penghujung
malam.
“Sih, ayo pulang. Ini
sudah larut malam.”
De Pardi memanggil. Karena
ia tak jua beranjak, De Pardi pun menyusulnya. Diulurkannya kedua tangannya dan
diajaknya ia berdiri. De Pardi menuntunnya berjalan pelan-pelan. Ia begitu
lemah karena belum makan sedari pagi. Namun ia mencoba kuat, setidaknya sampai
di rumah.
Mereka berjalan menyusuri
jalan setapak menuju rumah. “Sih, mulai sekarang tak perlu sungkan meminta
bantuan padaku. Aku dan ibumu adalah teman yang sangat akrab. Ibumu juga sering
menceritakan perihal dirimu jika kami sedang mencari rumput bersama-sama. Kau
tahu, ibumu begitu bersemangat jika menceritakan dirimu. Dia bangga memiliki
putri sepertimu.”
Darsih hanya diam. Tak
berselera menanggapi. Namun dalam hati ia mengucapkan terima kasih atas niat De
Pardi yang hendak memberi pertolongan.
"Sih, kau mendengarku?
Ahh, aku tahu hatimu sedang bersedih. Tapi jangan khawatir, aku akan selalu
menolongmu. Meskipun kau sudah tak memiliki keluarga, anggap saja aku adalah
keluarga barumu.”
Akhirnya mereka sampai.
“De, terima kasih atas niat membantu yang engkau tawarkan. Aku masuk dulu.”
“Tentu, tentu saja kau
harus masuk. Ini sudah larut malam. Jika ada apa-apa, datang saja. Aku pamit.”
De Pardi begitu baik. Darsih pun masuk ke dalam bersamaan dengan langkah De
Pardi yang semakin jauh dan menghilang di balik pekatnya malam.
Semenjak kedua orang yang
disayanginya pergi, De Pardi sering menyambangi rumah Darsih. Ia kadang sekadar
bertandang, kadang membawa pula jajanan ringan, atau sekadar ubi kukus. Semua
itu diberikan kepadanya. Ia tahu Darsih masih suka mengurung diri di rumah.
Masih terpukul.
“Sih, kau di dalam? Aku
membawakan singkong rebus untukmu. Bukalah pintunya.”
Suara pintu terbuka. Wajah
Darsih menyembul di balik pintu. “Masuklah, De. Terima kasih sudah membawakan
aku makanan.”
“Ahh, ini tak seberapa.
Cuma sekadar singkong. Hehehe....”
Darsih menyuguhkan air
putih, setidaknya itu yang masih ia miliki hingga sekarang. “Kau tak punya
beras? Apa mau kuambilkan?”
"Tidak perlu, De. Besok
rencananya aku hendak ke ladang. Agar ada yang bisa kukerjakan.”
“Sebaiknya memang begitu.
Agar kau tak larut dalam kesedihan panjang.” De Pardi mengambil air putih,
meminumnya. “Ahh, segar sekali. Kalau begitu aku pulang dulu ya Sih, sudah
siang.”
Sudah sekitar seminggu
lebih De Pardi menyambangi rumah Darsih setiap hari. Apa saja yang ia miliki
dibawakannya sebagian pada Darsih. Ia menganggap Darsih sudah seperti putrinya
sendiri.
Kebaikan De Pardi rupanya
membawa masalah baru bagi Darsih. Orang-orang kampung menganggapnya wanita
jalang. Desas-desus mengatakan bahwa apa yang menimpa dirinya dan keluarganya
adalah akibat dari ulah ayahnya. Ia sebatang kara dan menderita adalah buah
karma dari ayahnya yang suka main wanita dan membuat warga tidak nyaman.
“Kemarin, aku melihatnya
sedang bermesraan dengan Pardi. Dasar dia wanita tak tahu malu. Sudah sering
dibawakan makanan malah ngerayu. Apa tidak kasihan dengan Cik Imah, istrinya.”
“Ahh, barangkali Pardi
membawakan makanan atas permintaannya.”
“Ohh, benarkah begitu?
Dasar tak tahu malu.”
Sore itu ibu-ibu sedang
berkumpul. Seperti biasa jika tidak ada kerjaan yang berarti. Awalnya bertiga,
lalu bertambah menjadi empat, lima, hingga enam orang. Entah kenapa, kebiasaan menggunjing
tetangga menjadi hal yang sangat disukai. Ada yang berbicara sambil memotong
sayuran, ada pula yang sembari petan.
Rasanya asyik saja jika sudah membicarakan aib tetangga.
“Eh, Buk. Jangan dikira
Darsih seperti itu. Hal itu belum tentu benar.” Salah satu ibu berkomentar
dengan sedikit benar. Tapi ditanggapi dengan komentar semacam ini,
“Eleh...eleh.... Emang situ tahu Darsih yang sesungguhnya seperti apa? Yang
namanya buah itu jatuh tidak jauh dari pohonnya,” yang menunjukkan bahwa ia rupanya salah
bergabung dengan ibu-ibu gosip sore itu.
"Iya, Yem. Kau benar. Tapi
buah gayam itu kalau jatuh nggak selalu di dekat pohonnya kok,” sahutnya tak
mau kalah.
“Ya iyalah, kan dibawa
kalong,” sahut ibu yang lain. Dan muncul gelak tawa di antara mereka.
“Eh, lagipula sekarang ia
juga lebih sering mengurung diri di rumah. Paling dia malu.”
“Sore, ibu-ibu....”
“Soree..,” jawab ibu-ibu
serentak. Salah satu ibu yang sedang dipetani bertanya, “Eh, Minah... Dari mana?”
“Ini, Buk, barusan beli
telur di warung. Mari, Buk... Saya permisi...”
“Oh, iya iya... Mari...”
Gosip-gosip itu makin
sering terdengar. Bahkan beberapa tetangga yang kebetulan berpapasan dengannya
enggan bertegur sapa. Dulu, sebelum gosip itu tersebar, mereka masih sering
bertanya, bertukar senyum, atau sekedar menyapa. Rupanya kabar burung itu
begitu kuat dan menyiksa batin Darsih. Hingga suatu kali pintu rumah Darsih
diketuk malam-malam, menjelang pukul sepuluh.
“Darsih...., minta tolong
buka pintunya. Sih...? Ini De Pardi.”
"Iya De, kenapa
malam-malam begini ke rumah Darsih?”
“Bukain dulu pintunya,
nanti aku jelaskan. Ini gawat sekali, Sih.”
“Ehh...? Iya, De. Tunggu
sebentar kalau begitu.”
Darsih segera membuka
pintu rumahnya. Ia melihat De Pardi yang begitu kelelahan dan ngos-ngosan.
Keringatnya mengalir deras dari dahi. “Boleh aku masuk? Emm... dan minta air
minum.”
"Ohh, silakan, De. Silakan
masuk.” Darsih kemudian menyilakan De Pardi dan segera mengambilkan air minum.
“Kalau boleh tahu, apa yang terjadi gerangan, De? Kok sampai seperti itu?”
“Istriku sedang marah
denganku. Aku dituduhnya selingkuh dan waktu pulang tadi, aku dipukulinya. Aku
pun tak diperbolehkan tidur di rumah. Padahal kau tahu sendiri hujan sepertinya
mau turun.”
"Ohh....,” Darsih agak
syok mendengarnya. Ia tak menduga ada saja orang yang jahat pada De Pardi. “De
Pardi dikabarkan selingkuh? Dengan siapa?”
De Pardi menelan ludah.
“Tak tahukah kau kabar yang sedang beredar, Sih?”
Darsih mulai murung. “Ohh,
itu. Tentu saja aku tahu. Hanya saja aku tidak mau menanggapi mereka.”
“Tapi, Sih. Nyatanya
mereka tak mau berhenti menggunjing kita meskipun kita tidak melakukannya. Apa
kau tak sakit hati?”
“De, mungkin benar kalau
ini adalah karma dari perbuatan ayahku. Mungkin memang aku yang harus
menanggungnya.”
“Mana bisa begitu? Waktu
kecil tidak pernah dirawat, saat dewasa harus menanggung dosanya. Hidup tidak
semenderita itu, Sih.”
“Lalu aku harus
bagaimana?” sesuatu yang hangat mengalir dari pelupuk matanya.
“Ahhh..... Kita tidak
melakukan dituduh melakukan,” gumam De Pardi. “ Aku ada ide, bagaimana kalau
kita lakukan saja?”
“Maksudnya? Lakukan apa
De?”
Darsih yang memang gadis
polos tak tahu maksud tersembunyi De Pardi. De Pardi pun mendekat, semakin
dekat dengan tubuh Darsih. Ia kemudian memegang tangan Darsih. Sontak Darsih
kaget. Sepolos-polosnya ia, ia tetap tahu etika dan batasan pergaulan laki-laki
perempuan.
Darsih kemudian
menghindar. De Pardi semakin gencar, mengejar. Darsih meronta sekuat tenaga. De
Pardi semakin beringas dan bertenaga. Darsih menjerit ketakutan dan hampir
menyerah. De Pardi semakin ingin dan bergairah. Hingga ....
“BUAKKKK....!!!!”
De Pardi jatuh di hadapan
Darsih. Jidatnya berdarah dan di dekatnya terdapat muntu yang tergeletak.
Rupanya Darsih telah melemparnya dengan muntu, seperti yang dikomandokan
instingnya untuk mempertahankan diri. Ia segera bergegas dan pergi dari rumah
selagi De Pardi masih pingsan.
Semenjak kejadian malam
itu, ia kini tidak lagi seakrab dulu dengan De Pardi. Bahkan ia sekarang takut
jika bertemu De Pardi. Ia tak peduli jika saat itu De Pardi sengaja atau
khilaf, pokoknya sekarang ia enggan berinteraksi dengannya.
Rupanya kejadian memalukan
itu tersebar pula sampai ke telinga masyarakat. Ia pun dituduh berzina, padahal
ia tak melakukan apa-apa. Darsih terguncang kembali. Padahal baru sebulan
kemarin keluarganya meninggalkannya. Baru sebulan kemarin pula tanah merah itu
menutupi jasad ibu dan adiknya. Baginya, semua itu bahkan serasa seperti
kemarin.
Namun, orang-orang seakan
tak peduli. Mereka tak mau tahu soal itu. Mereka tak tahu bagaimana perasannya.
Asal bukan diri mereka, kenapa harus ikut peduli. Mereka adalah potret
masyarakat yang masa bodoh dan suka main sendiri, suka nuduh tanpa ada yang mau
menyelidiki. Memang, suatu ketidakbenaran yang terorganisir mampu mengalahkan
satu kebenaran, membuatnya kocar-kacir.
Darsih telah dikucilkan
oleh sebagian besar masyarakat. Keberadaannya ada namun dianggap tiada, sudah
seperti gula dalam kopi. Jika kopi pahit, gula yang disalahkan dan dicari-cari,
jika manis maka kopi yang dipuji. Namun, baginya hidup memang keras. Akan ada
masanya orang-orang seperti itu lelah sendiri. Ia tetap melakukan
kebaikan-kebaikan yang bisa ia lakukan untuk tetangga dan masyarakat di
sekitarnya.
Ia pun mengingat akan
sikap Cik Uni kepadanya barusan. Cik Uni yang enggan dibantunya. Ia sedikit
sakit hati, tapi mencoba untuk tidak terus-terusan memikirkannya. Sehelai daun
mahoni jatuh di atas sebidang rumput yang hendak ia sabit. Angin sore yang
bertiup menjatuhkan lagi beberapa daun dan biji yang sudah habis masanya. Ia
mendongak. Begitu indahnya biji-biji mahoni yang jatuh berputar-putar.
Ditangkapnya satu yang dekat dengannya. Darsih bergumam pelan..
“Jikalau aku harus jatuh, aku
ingin jatuh seperti
biji mahoni.”
Darsih tersenyum kecut.
TAMAT