Wednesday 2 March 2022

PENGALAMAN DITINGGAL IBU BERPULANG



Well, kenalin nama aku Aisyah. Usia 25 tahun, berjenis kelamin perempuan sejak lahir sampai sekarang. Yeah aku tahu kalian tidak perlu identitasku tapi apa salahnya aku memperkenalkan diri. Ini kan blogku! Hehe, canda bestie..

Emmm, di sini aku ingin sekedar berbagi pengalaman bagaimana rasanya ditinggal orang tua, terutama ibu.

Kalo ada yang mengatakan ibu adalah malaikat tanpa sayap, aku acungin 4 jempol (2 tangan 2 kaki). 

Ibuku bener bener seorang ibu yang sangat sangat sangat mengutamakan keluarga daripada dirinya. Seringkali beliau tersenyum walau sebenernya sangat lelah. Tetap sabar menghadapi setiap masalah. Gigih, percaya diri walau hanya tamatan SMP. Dan punya motivasi tinggi. Dih, kan jadi nangis akunya keinget. Tapi gapapa bestie, penulisan ini harus selesai. Kalo nggak selesai, ya bikin aja part II.

Sejak kepergiannya pada 17 Juni 2021 kemarin karena santernya wabah corona, varian delta, kini aku tinggal bersama ayah, adik perempuan (17) dan adik laki-laki (10). Saat menulis ini pun sebenarnya sedang dalam kondisi tidak enak badan karena sedang gencar-gencarnya omicron (corona varian baru setelah delta).

 Kau tahu bestie, bagaimana rasanya tidak punya ibu sedang dirimu adalah anak pertama? Of course kamu adalah pengganti ibu bagi adik adikmu. Yeah, bersyukurnya aku udah punya tunangan yang siap support meskipun aku kadang suka stress sendiri karena rutinitas.

Rutinitas yang tentu saja bagi perempuan usia 25 tahun seperti aku itu hal yang lumrah. Toh mereka yang sudah menikah dan ikut mertua juga tidak bisa sering-sering mendatangi ibu mereka. Tapi tetep beda besti, mereka hanya jauh dari ibu, bukan ditinggal ibu untuk selama lamanya.

Kadang aku masih ingat dengan jelas bagaimana beliau meninggalkanku waktu kutunggui di ruang isolasi rumah sakit, pukul 3 dini hari. Inginku mendemo pada para sutradara televisi yang menampilkan adegan keajaiban dimana pasien yang mati lantas hidup kembali. Hey, kenapa itu tidak terjadi pada ibuku??

Bagaikan langit runtuh, aku ditinggal untuk selama-lamanya. Tabah sih aku waktu itu, seminggu kemudian bahkan hingga sekarang kalo teringat masih suka nangis sendiri.

Bukan aku nggak ikhlas ya, kangen sih sebenernya. Biasanya kalo ada masalah asal nemplok ke beliau rasanya ademmmmmmm bangett. Kaya loss semua beban itu hilang seketika. Dan beliau adalah healing terbaik yang pernah kumiliki. Terima kasih Ya Tuhan setidaknya aku bisa membersamainya hingga usia 24 tahun.

Tapi, yang selalu ku tanamkan dalam pikiranku, biar bagaimanapun, berat atau tidak berat, mampu atau tidak mampu, saat ini atau esok yang ku tahu hidup harus tetap berjalan dengan positif. Mungkin aku sudah kehilangan sosok ibu, tapi senyumnya nasihatnya semua kenangannya masih tersimpan di kalbu.

Selamat malam ibu, semoga engkau damai di surgaNya.

Dan buat kalian yang masih punya ibu, meski mereka bawel, cerewet, suka komen, suka ngomel, norak, menjengkelkan, sebenarnya mereka sayang pada kalian. Maka sayangilah sebelum Tuhan menyayanginya dan mengambilnya darimu.

DIA YANG BERNAMA WAKTU

 

Sumber : Bukalapak.com

Haruskah aku berkejar-kejaran dengan waktu? Yang rasanya begitu cepat berlalu. Tak terasa tahun demi tahun kulalui hingga usiaku sudah seperempat abad. Bulan demi bulan berganti, hari demi hari terlewati.

Stagnan. Aku merasa stagnan. Tidak ada perubahan pribadi yang begitu dahsyat. Apa yang salah? Apakah kondisiku yang di level zona nyaman? Ataukah memang dasarnya aku pemalas untuk upgrade ilmu, pengetahuan, relasi, dan sebagainya yang mendorong kemajuan. Tunggu dulu, apakah kemajuan selalu dikaitkan dengan sukses dan stagnan berarti tidak sukses? Kalo iya, maka orang yang sudah berlomba lomba mencapai start lebih dulu adalah yang sukses? Lantas yang terakhir yang sedang sedang saja adalah tidak sukses? Apakah yang sedang-sedang saja, yang cenderung stangnan itu tidak berusaha?

Salah besar! Tentu saja yang stagnan juga berusaha, mungkin dia hanya belum menemukan formula yang tepat. Atau balik lagi, semua ini karena waktu. Timingnya memang begitu. Seseorang timingnya memang begitu : kuliah 5 tahun, padahal dia juga sudah mengusahakan cepat, ada yang telat jodohnya, ada yang pacaran lama ternyata tunangan sama yang lain.

Well, apakah timing selalu berbanding lurus dengan usaha? Nyatanya banyak yang berusaha keras tapi tetep saja belum mencapai target tujuan dalam kurun waktu yang ditargetkan. Banyak juga yang santai santai tapi diberikan keinginannya pas waktunya. Apakah waktu = takdir? Atau bukan begitu cara kerjanya?

Dih pusing aku!!

Katanya waktu yang akan mengubah, ya kalo seseorang itu berusaha. Kalo nggak? Apakah waktu tetep akan menyembuhkan luka lama jika dia memang ingin menyimpan luka itu? Karena itu adalah satu satunya kenangan yang dimiliki? Walau pahit. 

Atau waktu yang akan mengubah hanya berlaku bagi mereka yang berusaha? (Tidak termasuk benda yang lapuk karena dimankan usia). Mereka yang selalu berusaha walau hasilnya masih itu itu saja. Mereka yang tidak pantang menyerah, tahan banting, fighter meskipun dedel duwel (hancur).

 Apa tidak capek? Apa tidak ada pikiran untuk menyerah lalu mengakhiri? Tentu saja ada pasti! Namanya juga manusia, selalu berubah ubah, sesuai waktu.

Dia yang bernama waktu, rupanya begitu dashyat pengaruhnya. Tak kentara tapi efeknya luar biasa. Sering diabaikan manusia, ternyata manusia yang diabaikan waktu. Tampak lamban padahal gerskannya begitu cepat, ritmis, tak kenal lelah, terus menerus konsisten sehingga dalam ketenangan ritmisnya,  waktu mampu merubah segalanya.

Kesimpulannya konsisten, seperti waktu! 

Monday 19 July 2021

Its Okay Noy To Be Okay (2)



Menjadi tabah, kuat, dan baik-baik saja melelahkan. Bersyukur, aku masih mempunyai 2 adik yang lucu2, konyol, gemoy, emesh, dan ceria. Yeah, meski aku tak tahu mungkin di balik keceriaan mereka juga menyimpan kesedihannya masing-masing.

Well, but life must go on. Apapun itu, apapun yang terjadi, kuat atau tidak, selama hal itu sudah terjadi dalam hidupmu, mau tak mau kamu harus siap menerima. Tidak ada kesempurnaan terhadap luka yang baru tergores. Tidak terpuruk saja sudah Alhamdulillah. Masih tetep tegar berdiri dan melangkah sudah syukur.

Cuman, aku lelah Gusti Allah. Selamat jalan ibuk, pokok jenengan masih sering terngiang-ngiang di ingatanku.

Wednesday 16 September 2020

Its Okay To be Not Okay



Aku benci pada diriku sendiri dimana aku harus RINDU disaat aku butuh. Sungguh menjijikkan perasaan egois ini 😭

Terkadang kita dipertemukan bukan untuk saling melengkapi, tapi tak lebih untuk saling belajar bahwa

Perjumpaan sangat dekat dengan perpisahan
Kebersamaan sangat dekat dengan kehilangan

Yang mana mau tak mau ketika perpisahan datang kita harus sama-sama memulihkan diri untuk memadamkan rindu yang menggebu

Memadamkan api asmara yang entah sudah terpecik atau bahkan berkobar untuk benar-benar padam, sepadam-padamnya

Namun nyatanya, memadamkan tak semudah menyalakan, bahkan memadamkan lebih sulit.
Apalagi api itu sudah lama berkobar, apapun bahkan sulit memadamkannya.

Wednesday 3 June 2020

Bagaimana Kita Seharusnya Menilai Sesuatu?

Thinking

sumbergambar : thinking

Manusia itu diciptakan tidak lain hanya untuk berbuat kebaikan di dunia. Nah, kalau pada kenyataannya ada yang jahat, itu lain cerita. Jahat dalam suduit pandangmu belum tentu jahat dari sudut pandangnya. Katakanlah seorang maling yang mencuri perhiasan dari seorang wanita kaya raya. Dalam sudut pandang wanita kaya raya, maling tersebut adalah orang jahat karena telah merampas hak orang lain. Tapi bagi sudut pandang maling, dia tidak jahat karena dia mengambil perhiasan dari orang kaya raya yang pelit dan akan digunakan untuk biaya operasi anaknya yang sakit. Perbuatannya dinilai dari seberapa cepat ia mampu mencari dana untuk anaknya yang sedang berada pada kondisi kritis antara hidup dan mati di rumah sakit.

 

Itu kalau dinilai dari jahat tidaknya orang tersebut. Tetapi kalau dinilai dari perbuatannya, jelas orang tersebut tidak benar perbuatannya. Karena kebenaran umum yang dianut oleh hokum dimana ia tinggal, mengambil/merampas hak orang lain merupakan tindakan tidak benar dan masuk tindak kejahatan sehingga harus dihukum.

 

Sayangnya, di dunia abu-abu yang kita anut ini, kebenaran dan kemutlakan hukum bisa dibeli bahkan dibungkam oleh orang-orang yang berkuasa.

 


Sunday 17 March 2019

Resensi : Ku Peluk Rasa Sakit Hingga Tak Ada yang Sanggup Menyakitiku



Judul novel : Tentang Kamu
Penerbit : Republika Press
Tahun Terbit : 2016
Penulis : Tere Liye
Genre : Novel

Benar kata pepatah, dont judge a book by the cover. Awalnya, ku pikir novel berjudul “Tentang Kamu” karangan penulis kenamaan Tere Liye ini bercerita tentang kisah cinta yang muluk-muluk, hampir seperti “Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah”. Nyatanya, novel ini justru mengangkat semacam biografi seseorang yang berjuang keras dalam memperoleh cita-citanya. Berhati bersih, penyabar, dan selalu menerima apa pun yang menimpa dirinya, semenyakitkan apa pun.

Novel ini diterbitkan oleh Republika pada Oktober 2016 dengan jumlah halaman vi + 524 halaman. Butuh sekitar tiga hari untuk menyelesaikannya. Sebelum ke analisis isi novel, alangkah baiknya bila kita mengetahui terlebih dahulu sinopsisnya.

Adalah Zaman Zulkarnaen dari Thomson & Co. yang bertugas sebagai seorang pengacara harta warisan senilai 19 triliun poundsterling setelah si pemilik meninggal dengan damai di panti asuhan. Pemilik tersebut bernama Sri Ningsih. Demi menemukan siapa pewaris harta warisan tersebut tersebut, Zaman harus menelusuri kisah hidup Sri satu persatu mulai dari tanah kelahirannya hingga kematiannya.

Tidak mudah memang. Berbekal buku diary yang diberikan oleh pengurus panti jompo, ia memulai pencarian di Pulau Bungin, tempat di mana Sri lahir, berpuluh tahun yang lalu. Menanyai semua orang di salah satu pulau terpadat tersebut demi mengetahui bagaimana masa lalu Sri. Berhari-hari ia mencari hingga diambang keputusasaannya, ia menemukan seseorang yang mampu menjelaskan detailnya dari lahir hingga pindah dari pulau tersebut.

Sri kecil adalah perempuan yang tangguh. Ia tidak pernah melihat rupa ibunya sejak lahir. Hidupnya berkecukupan bersama sang ayah hingga sang ayah menikah lagi. Namun sayang, ayahnya meninggal ketika melaut, padahal ayahnya sudah berjanji akan membawakannya sepatu baru, hadiah ultah Sri yang ke sembilan. Sungguh malang, hadiah tersebut tak pernah datang. Semenjak kepergian sang ayah, Sri kecil menjadi tulang punggung keluarga atas perlakuan ibu tiri yang sangat membencinya selama lima tahun.

Sri remaja kemudian pindah ke Surakarta bersama sang adik setelah mengalami musibah kebakaran rumah. Ibu tirinya meninggal. Ia kemudian belajar di salah satu pesantren di sana hingga menjadi guru. Ia juga bersahabat dengan putri bungsu Kyai dan Lastri, salah satu santriwati kesayangan Kyai yang juga menjadi sahabat putrinya. Pada episode kali ini setidaknya kehidupan Sri lebih baik.

Penghianatan terjadi di antara ketiga sahabat tersebut. Hingga peristiwa yang menyakitkan tersebut menyebabkan keluarga Kyai hancur dan tinggal sahabat Sri dan suaminya yang hidup. Lastri sendiri dipenjara atas perilakunya tersebut.

Sri Ningsih memutuskan merantau ke Jakarta untuk menghilangkan luka tersebut. Ia sudah tidak memiliki siapa-siapa. Adiknya meninggal dalam kekejaman pembantaian yang dilakukan Lastri beserta kumpulannya.

Di Jakarta ia mencoba mengadu nasib. Perlu penolakan ratusan kali dan pencarian kerja selama tiga bulan hingga akhirnya ia menemukan pekerjaan pertamanya di sana. Pekerjaan itu justru berada tak jauh dari tempatnya tinggal. Hidup ini kadang memang selucu itu, kita sibuk mencari hingga jauh padahal sebenarnya apa yang kita cari ada di sekitar kita. Ya begitulah, nikmati saja prosesnya. Dan Sri selalu mampu menanggapinya dengan syukur, tak pernah mengeluh, dan pantang menyerah.

Pekerjaannya kemudian berangsur membaik, mulai dari guru dan kuli kasar toko, penjual nasi goreng, rental mobil, karyawan pabrik hingga ia mampu mendirikan pabrik sendiri. Semua itu bertahap dan ia selalu mampu belajar dari jelinya pengamatan dan pengalaman. Meskipun ia tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi, namun ia sangat cerdas.

Singkat cerita, Sri kemudian menjual perusahaannya kepada pesaing dan ditukarkan dengan saham senilai 1% dari keseluruhan perusahaan multinasional. Ia kemudian melarikan diri ke London dan di ujung kisahnya ke Paris. Setelah ditelusuri, kepergian Sri yang selalu tiba-tiba tersebut rupanya disebabkan oleh pengejaran yang dilakukan Lastri. Lastri mengancamnya akan menyakiti siapa saja yang dicintainya dan membuatnya hancur. Ia sangat dendam kepada Sri atas perbuatan Sri yang mengungkapkan kebenaran saat Lastri diadili kala peristiwa di Surakarta.

Sosok Sri adalah perempuan yang luar biasa sabar. Ia bahkan memiliki hati yang pemaaf, mudah menerima, dan selalu positif dalam menghadapi segala hal yang terjadi di hidupnya. Ia memaafkan kesalahan Lastri terhadap dirinya, bahkan ia masih tetap menganggap Lastri sebagai sahabat meskipun Lastri telah membuatnya kehilangan sang adik. Ia juga menerima apapun yang telah menjadi garis hidupnya; kehilangan ibu, ayah, adik, bayi-bayinya, dan orang yang amat dicintainya. Di setiap kejadian, ia mampu menerimanya dan berdamai dengan keadaan yang membuat orang-orang di sekelilingnya kagum akan kekuatan hatinya.

Sebagian kisah hidup yang dituturkan oleh pengarang berisi perjuangan dan kerja keras yang tak pernah padam. Ia mampu menjadi orang dengan harta warisan sebesar 19 triliun puondsterling tentu bukanlah hal yang serta merta. Ada peluh, rasa sakit, keberanian, dan terobosan yang membuatnya mampu menjadi seperti itu. Tentu tidak mudah, namun Sri tak pernah menyerah walau selangkah.

Ia juga tetap sederhana meskipun telah memiliki kekayaan sebesar itu. Ketika ia melarikan diri ke London, ia justru meninggalkan perusahaan dan semua kekayaannya. Pilihan terakhirnya jatuh pada pekerjaan sebagai tukang bersih-bersih bus kota London. Meskipun pada akhirnya, atas keahlian yang dimiliki ia pun diangkat sebagai sopir bus. Di London ia pun tinggal di pemukiman sederhana yang dikenal dengan sebutan Little India. Di sana ia menemukan keluarga angkat yang sangat menyayanginya hingga menjadi saksi bagaimana kisah cinta dan kehidupan rumah tangganya.

Wanita bertubuh pendek, coklat, dan gempal ini adalah wanita yang tangguh dan kuat hati. Rumah tangga Sri bisa dibilang kurang bahagia. Meskipun ia memiliki Hakan, pemuda Turki yang amat mencintainya. Ia harus kehilangan dua bayinya; pertama karena lahir prematur, kedua karena adanya kelainan sehingga bayinya meninggal 6 jam setelah dilahirkan. Namun, Sri beberapa bulan kemudian tetap tabah dan menjalani rutinitas sebagai sopir bus. Semua itu berjalan hingga Hakan pergi mendahuluinya karena sakit.

Zaman kemudian menelusuri kisah hidup Sri melalui petugas panti jompo, Aimme. Wanita Paris itu rupanya sesuai dugaan Zaman –menyimpan beberapa kenangan Sri dan foto kegiatan panti–  sehingga dari sana Zaman mampu mengorek kisah Sri selama di panti. Ia pun akhirnya menemukan di mana Sri menulis siapa-siapa yang berhak menerima harta warisannya. Surat keterangan tersebut justru yang telah di bawanya ketika ia sampai di rumah Nuraini. Amat sangat dekat. Sayang sekali, ketika perkara hampir selesai, justru pihak hukum lain mengklaim bahwa seseorang telah menemukan saudara kandung Sri, Tilamuta.

Nah, untuk mengetahui akhirnya bagaimana harta warisan Sri dapat diselesaikan, alangkah baiknya jika kalian membaca sendiri. Tulisan ini hanyalah secuil pendapat dan bukan berarti telah mencakup seluruh isi yang ada di dalamnya. Novel ini sangat bagus dibaca oleh wanita di semua kalangan, terutama yang memiliki cita-cita tinggi agar selalu termotivasi.

Resensi: Aku Menyayangimu, Mama



Judul Buku : Hendrick
Penerbit : Bukune
Tahun terbit : 2016
Penulis : Risa Saraswati
Genre : Novel

Namanya Hendrick, salah seorang sahabat Risa yang menjadi tokoh utama dalam novel berjudul sama yang diterbitkan oleh Bukune pada 2016. Masih tentang hantu, novel ini mengupas kehidupan Hendrick Konnings semasa hidupnya. Ia hidup pada perkiraan tahun 1880an, sebelum Nippon datang menyerang seperti yang terjadi pada beberapa sahabat hantu Risa. Namun, kisah hidupnya tak kalah seru dan karena itulah saya berkeinginan untuk menceritakan kembali secara sederhana versi saya.

Ayahnya bernama Jeremy Konnings dan ibunya adalah Nina Konnings. Ayahnya adalah seorang jenius berkebangsaan Netherland, sedangkan ibunya berkebangsaan Perancis. Sebagai keturunan pengusaha dan pemilik perkebunan anggur, keduanya bisa dibilang bukan orang sembarangan. Mereka termasuk orang terhormat yang berada di Hindia Belanda untuk tujuan penelitian pohon kina. Di Hindia Belanda  pula Hendrick lahir. Jadi, meskipun ia merupakan bangsa Netherland, ia tak pernah sekalipun menghirup udara tanah airnya hingga kematian menjemput.

Hendrick tidak memiliki masalah dengan teman sekolah maupun orang-orang disekelilingnya. Bahkan bisa dibilang kehidupannya sangatlah ceria. Ia memiliki seorang sahabat bernama Hans yang ia temukan saat memanjat benteng belakang rumah. Saat itu Hendrick sedang kecewa dengan ibunya yang jahil atas leluconnya yang berlebihan. Sifat inilah yang menurun kepada Hendrick. Hans merupakan sahabat sekaligus teman bermain sehari-hari Hendrick.

Semuanya berjalan baik-baik saja hingga pada suatu hari Jeremy meninggal secara dadakan ketika sedang asyik-asyiknya berlibur di pekebunan bersama keluarga dan Hans. Nyonya Nina Konnings mendadak depresi berat setelah kematian suaminya. Ia justru menyalahkan Hendrick secara berlebihan atas peristiwa tersebut. Dirinya bahkan membencinya dan tidak menganggapnya sebagai anak lagi. Hendrick yang frustasi kemudian meminta Helena untuk menghibur ibunya. Helena adalah perempuan sebayanya yangtidak sengaja menabraknya ketika berangkat sekolah bersama Hans. Sejak saat itu Helena menjadi akrab beberap saat, sebelum akhirnya memilih untuk pergi lantaran tidak ingin merebut perhatian Nina dari Hendrick. Helena datang dan di saat itulah Nyonya Konnings menjadi-jadi dalam membenci Hendrick. Ia menganggap Helena sebagai putri pertamanya yang meninggal bernama Angeline. Semenjak itu, Helena selalu di sampingnya dan Hendrick terlupakan.

Meskipun ia tidak dianggap sebagai seornag anak oleh ibu kandungnya sendiri, ia tetap senang karena setidaknya Helena telah mengembalikan semangat baru untuk ibunya. Ibunya tidak lagi murung dan menangis di pusara ayahnya berhari-hari. Meskipun yang membuat bahagia ibunya bukan dirinya, melainkan Helena.

Terkadang, ada rasa kehilangan ketika ia tidak pernah diperhatikan. Beruntungnya Hans dan Omanya selalu berbaik hati. Oma dan Hans selalu menghiburnya saat ia sedang bersedih lantaran ibunya seringkali membentak jika ia melihatnya sedang berdekatan dengan Helena. Biar bagaimanapun Hendrick masih anak-anak.

Puncaknya ialah ketika Hendrick sakit keras dan ibunya tetap tak peduli. Ia bahkan menderita sakit yang tidak diketahui penyebabnya dan semakin hari semakin memburuk. Seringkali dokter hanya mampu memberinya obat bius hanya untuk meredakan sakit yang dideranya. Dalam ketidaksadarannya, Hendrick seringkali memanggil ibunya, meminta dipeluk dan disayang seperti halnya dulu. Bahkan ketika di bawa ke rumah sakit, Nina Konnings tak juga ikut serta. Nina Konnings benar-benar telah mengalami depresi akut.

Jeremy sang ayah tidak tinggal diam. Ia mendatangi Nina Konning dalam mimpinya ketika ia habis menangis seharian karena Helena mengatakan dengan tegas bahwa ia bukan Angeline dan memutuskan pergi. Dalam mimpi tersebut ia tersadar kembali akan Hendrick. Malang sekali, di saat ia sadar waktu Hendrick sudah tidak lama lagi. Hendrick pun meninggal dalam pelukan ibunya. Dan tak lama setelah itu, Nina Konnings memilih bunuh diri.

Kisah ini bisa dibilang cukup menyedihkan, menurutku. Seorang ibu yang begitu depresi malah menyalahkan anaknya sendiri, seseorang yang seharusnya diperhatikan dan disayang karena tinggal dirinyalah satu-satunya anggota keluarga. Kita memang tidak bisa menyalahkan Nina Konnings sebagai ibu lantaran apa yang dialaminya ialah murni kesalahan mental. Ia bahkan tidak menyadari bahwa ketika ia depresi akut, ia telah melakukan banyak hal yang menyakiti buah hatinya hingga jatuh sakit.

Betapa kita amat beruntung jika dikaruniai keluarga yang lengkap dan saling menyayangi satu sama lain, meskipun kadang masih dalam kekurangan secara material. Perlu diingat, bahwa jauh di luar sana masih ada orang-orang bergelimang harta, memiliki kasta yang tinggi, dan selalu dihormati namun tidak pernah merasakan indahnya kehangatan keluarga.



Monday 25 February 2019

Cerpen: Pojok Sawah Mbah Dirman


“Barangkali, bagi sebagian anak kota, sawah bukanlah hal yang akrab di telinga mereka. Jangankan akrab, pernah melihat secara langsung saja sudah suatu hal yang istimewa. Tidak dipungkiri anak-anak kota kini lebih senang berteman dengan gawai, benda tipis yang menyajikan banyak hal menyenangkan dan tak perlu repot mengoperasikannya selagi masih memiliki dua jempol.”

“Tapi, jika anak desa yang dulu selalu bermain di sawah kini seolah lupa akan tempat mainnya, sungguh aku tidak terima. Betapa gampangnya mereka menganggap ndeso orang-orang yang bekerja di sawah. Padahal, biaya mereka merantau ke kota itu ya dari mutiara sawah yang diolah sedemikan rupa oleh orang tua mereka. Mereka pikir mereka siapa sampai melupakan asal usulnya? Dasar tidak tahu diri. Kalau saja orang tua mereka tak mau dan tak mampu bekerja mati-matian di sawah, gigit jari mereka itu. Tak bisa kuliah, tak bisa merantau, tak bisa menggapai  apa yang seringkali mereka sebut ‘mimpi’.”

Sore itu, aku dan Endro sedang berjalan menyusuri galengan sawah. Celotehan Endro menjadi pemanis di sela-sela jalan-jalan kami. Di bawah kaki kami padi hijau melambai-lambai manja seperti gelombang lautan emas. Tangkai daunnya mengingatkanku pada masa saat dulu aku membantu emak memanen. Sekarang panen sudah tidak seramai dulu karena cukup dengan menggunakan mesin.


Kita berjalan menuju sebuah gubuk yang tak jauh dari rerimbunan pohon bambu. Ya, di desa kami bambu selalu ditanam di pinggiran desa sebagai pembatas antardesa. Biasanya letaknya berada di luar pemukiman penduduk dan berada di pinggiran sawah. Kami lantas duduk di gubuk tersebut. Endro meletakkan kompresan yang berupa tangki ke sisinya. Kami pun berdiam sejenak sembari memandangi matahari yang hampir tenggelam. Lembayung di ufuk barat sungguh indah dalam pandangan, membingkai sepucuk gunung Muria di sisi  barat laut.

Endro nyerocos kembali, “Aku tak tahu apa yang ada di pikiran anak-anak zaman sekarang. Kebanyakan dari mereka telah berubah menjadi angkuh, tak mau menjadi petani seperti aku. Bahkan ada yang merasa tidak level jika harus panas-panasan di sawah. Ya, aku memang tidak mampu seperti mereka yang pergi ke kota dan menelan bulir-bulir ilmu yang nikmat itu seperti dirimu.”

“Sudahlah, En. Cerocosanmu itu sudah kudengar berkali-kali setiap kali aku pulang kampung,” kataku meredam emosinya agar tidak terus menerus menumpahkan kekesalan.

“Lagipula, siapa lagi yang mau mendengarkan keluh kesahku. Cuma kau satu-satunya mahasiswi temanku yang masih mau menengok sawah.” Aku akui kebenaran ucapannya.

“Iya, tapi bukan berarti yang tidak menjenguk itu tidak mau terlibat dengan segala pengolahan sawah. Bisa jadi mereka memang tak punya sawah. Bisa jadi pula orang tua mereka yang melarang.”

“Ahhh, kata terakhirmu mengingatkanku pada pesan emakmu sebelum mengajakmu pergi.”

Emak memang melarangku ikut Endro mengompres padi. Katanya, tak perlu bekerja terlalu keras dan kasar seperti itu. Kalaupun bersikeras ikut, aku hanya boleh menonton saja.

“Hey, In. Kalau satu desa ini pemikirannya seperti emakmu, sudah bisa dipastikan petani tak punya generasi penerus di masa depan.”

“Siapa bilang? Sarjana pertanian banyak sekali. Berjubin!” kilahku.

“Iya sih, tapi kau bisa menghitung sendiri jumlah sarjana pertanian dengan yang bukan pertanian. Bahkan satu desa ini yang sarjana pertanian paling cuma satu dua, kebanyakan memilih jurusan lain yang enak kalau bekerja kelak.”

“Ahh, obrolanmu sudah setingkat mahasiswa saja, En.”

“Lahh, faktanya memang begitu kok. Aku kan cuma mengamati. Orang seperti aku ini kan banyak nganggurnya, jadi ya sering mengamati perilaku orang-orang sekitar. Hahaha...”

“Nganggur apanya, sehari-harimu kau habiskan di sawah katamu. Itu juga suatu pekerjaan meskipun tidak menghasilkan uang. Hasil itu kan tak selamanya berupa uang.”

“Tepat. Tapi di dunia materialistik seperti ini, sukses adalah punya banyak uang, In. Orang-orang tani seperti kami tetap dianggap miskin entah sampai kapan.” Meski cuma lulusan SMA, tapi Endro memiliki pengetahuan dan daya analisis yang tajam. Sayang sekali, temanku yang lulusan terbaik itu tidak diperkenankan kuliah karena harus merawat simbahnya yang renta dan menggantikannya bekerja. Sanak familinya jauh dan hidupnya juga pas-pasan, kedua orang tuanya telah meninggal. Padahal, di zaman sekarang ini, pasti tidak sulit bagi anak secerdas Endro untuk kuliah.

“Jangan salah, En. Kau kira makan nasi tanpa harus membeli beras itu bukan kaya? Orang-orang kota sana makannya juga beras, mereka harus beli terlebih dahulu. Sedangkan kau, petani, tak perlulah membeli.”

“Benar juga sih, tapi kebutuhan hidup kan tidak cuma makan saja, In. Kita perlu uang juga untuk memenuhi kebutuhan lain. Kalau jadi tani, punya uangnya kan cuma saat panen. Itu pun kalau panennya dijual, kalau tidak? Intinya harus punya kerjaan sambilan kan, In?”

“Relatif. Maksudnya tergantung En, dari sudut mana kamu memandang. Kalau kamu merasa sudah cukup segala kebutuhannmu dengan menjadi petani, ya tak perlu kerja sambilan. Tapi kalau kamu merasa kurang atau memang tuntutannya begitu, ya memang harus punya kerjaan sambilan.”

“Iya sih, aku juga punya kerja sambilan yang ku kerjakan disela-sela kesibukanku di sawah. Ahh, betapa beruntungnya dirimu, In. Bisa kuliah jadi punya wawasan yang luas.”

Tidak apa, En. Petani juga pahlawan bagi negeri, meskipun tidak berjuang mengusir penjajah, kalian kan pemasok utama bahan makanan pokok.” Aku tersenyum padanya.

“Seneng sih dengernya, tapi orang-orang sana tidak banyak yang menyadari jasa petani negerinya, In. Coba deh amati, kalau harga bahan makanan mahal mereka protes tapi kalau harga sangat murah kan kita rugi. Belum lagi panen gagal, yang tanggungjawab cuma petani doang, padahal mereka juga ikut makan kan?”

Aku mengangguk-angguk membenarkan ucapannya dan terlintas sekelebat sebuah ide di kepalaku.

“Menurutku, harus ada asuransi panen buat petani, ya nggak? Jadi, petani itu kalau panen berhasil kan hasilnya melimpah ruah ya. Alangkah baiknya jika hasil dari sebagian panen itu dimasukkan di dinas pertanian atau lembaga apapun yang mengurusinya guna menunjang asuransi panen dalam bentuk uang atau modal, maksudku kalau semisal padi ya berupa benih padi. Jadi kalau pun panen gagal, mereka bisa mendapatkan modal kembali dari asuransi panen mereka yang berhasil. Menurutmu gimana, En?”

“Wah, itu ide bagus, In. Mumpung kamu mahasiswa, sana segera lakukan aksi, jangan cuma ditulis di artikel saja. Hahahaha...”

“Eh, tahu aja kamu En kalau aku suka nulis artikel.”

“Lha iyalah, dari SMA dulu juga sudah kebiasaan kok. Nah, nanti kalau kamu mau memperjuangkan nasib kami yang petani ini, aku ikut membantu deh, kan aku petani. Hehehe...”

“Oke siap, komandan!”

Dan kami pun tergelak penuh tawa senja itu di tengah hamparan padi yang menghijau, saksi bisu percakapan kami.

TAMAT

Thursday 25 January 2018

Nyanyian Petani

Another rice paddy in Vietnam. An iconic symbol that comes to mind when people hear about Vietnam.
Petani sumber pinterest.com


            “Lir ilir....lir ilir tandure wus sumilir
            Tak ijo royo-royo
            Tak sengguh temanten anyar..”

            Lagu Ilir-Ilir itu bukan sekedar lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak di sekolah, dulu. Lebih dari itu, memiliki makna yang dalam bagi Buke[1], seorang petani keturunan. Sejak kecil, Buke sudah berkawan karib dengan sawah. Buke tumbuh dalam asuhan sawah dan kini beliau ganti mengasuhnya. Dalam asuhannya, sawah kami telah melahirkan jutaan bulir padi.
            “Nduk..” panggilnya kala itu, “jika nanti kau jadi orang penting, pejabat, atau pemegang kuasa sekalipun, jangan pernah lupakan petani,” ingatnya kemudian.
            Aku tidak segera menanggapi, masih mencerna maksudnya sembari mengikutinya jalan di pematang.
            “Kami hanya orang kecil, Nduk. Orang yang kadang dipandang rendah profesinya. Banyak yang tidak mau mengakui jerih payah kami. Banyak pula yang tidak mau menjadi seperti kami. Padahal, nasi yang mereka makan itu dari anak-anak kami, yang kami besarkan setulus hati.”
            Aku masih setia mendengarkan. Biarlah Buke menumpahkan segala apa yang dirasakan. Aku tahu beliau ingin curhat padaku. Lalu kami berhenti sebentar. Buke melihat beberapa batang padi yang mulai “meteng” –istilah di mana padi hendak berbunga.
            “Alhamdulillah, padinya hendak berbunga, wis do meteng, Nduk. Betapa Buke ingat perjuangan dari menyemai benih hingga sejauh ini. Meski Buke tahu ini belum purna, durung rampung.Buke mengusak-asik secara perlahan untuk memperhatikan padi-padi yang hendak berbunga itu. Lalu matanya menyapu ke seluruh sawah kami.
            “Kau pasti tidak tahu, Nduk. Lha wong kamu jarang pulang, kuliah di Semarang. Dulu, waktu sebelum tandur, hujan jarang turun. Sawah mengering kurang air. Akhirnya benih padi disebar. Giliran sudah disebar, malamnya hujan. Owalah tobat, kentir[2] semua benih padinya, Nduk. Belum sempat bertunas pula.”
            “Mau tak mau aku dan Pake[3] harus menyebar ulang. Setelah menyebar yang kedua kalinya, alhamdulillah tidak turun hujan lagi. Padi tumbuh dan Buke tinggal menyulam[4]. Baiknya, Pake kadang sepulang dari kerja mampir sebentar ke sawah, membantu. Ya tahu sendirilah, lha wong Buke tidak mocokke[5] petani penggarap, nggak ada uang. Lebih baik dikerjakan sendiri, sedikit-sedikit tak apalah.”
            Aku mulai terharu mendengar cerita Buke. Betapa susah proses menanam padi. Sedangkan di sana, di luar sana, aku masih sering menemukan orang membuang nasi seenaknya. Bahkan, aku sendiri pun kadang melakukannya. Tanpa merasa berdosa.
            “Buk, duduk di sana aja, yuh. Sepertinya agak nyaman sambil makan singkong goreng,” ajakku beristirahat sejenak sehabis membatunya menyulam padi.
            “Boleh, ayuh. Nanti kalau sudah capek kita pulang.”
            “Ahh, capek apanya? Ini juga baru jam sembilan,” kilahku menenangkan. Masa iya aku baru segini aja nyerah.
            Kami berdua pun menuju tempat yang aku maksud tadi. Di pinggir pematang yang agak lebar, kami duduk di atas jerami dan mulai menikmati bekal seadanya. Tak apa, justru yang seadanya ini malah enak rasanya.
            Beberapa tetangga sawah menegur kami yang sedang istirahat sejenak. Katanya, putrinya kok ya mau-maunya diajak ke sawah. Bagaimana kalau nanti hitam? Kasar tangannya? Toh dia tidak biasa. Begitu seloroh mereka, tentunya dengan bercanda. Dan dengan santai ibukku menanggapi,
            “Lho, justru karena itu biar dia tahu bagaimana kerasnya hidup. Toh orang tua begini untuk membiayai kuliahnya. Yaa, biar tidak nerima enaknya saja, Budhe,” jawab Buke santai yang langsung disetujui si penanya. Aku hanya tersenyum saja.
            “Jadi petani itu nggak gampang,” ucap Buke di sela-sela waktunya mengunyah, “rasanya aku nggak ikhlas kalau lihat orang seenaknya buang nasi. Nggak tahu apa, untuk jadi nasi perjuangannya begitu panjang.”
            “Memang benar sih, Buk. Orang kalau nggak lihat langsung mana tahu perjuangan para petani. Mereka mah punya banyak duit, bisa beli. Lha coba kalau yang dibeli nggak ada gara-gara petani mogok tani, mau makan apa mereka. Tiwul? Gaplek? Jagung? Mana doyan mereka,” tambahku, membelanya.
            “Lha ya. Mulai dari menyemai benih, menanamnya, merawat dan menyiangi, memanen, menjemur, menggilingkan, hingga ditanak jadi nasi butuh proses yang sangat panjang.”
            Aku kemudian teringat suatu memori dimana aku membantu menjemur padi. Ada suatu masa dimana cuaca panas sekali, lalu mendadak mendung dan hujan. Mau tak mau kami harus balapan dengan hujan agar padi yang dijemur tidak basah.Terkadang kami pun main petak umpet dengan ayam-ayam peliharaan tetangga atau milik sendiri. Kalau kita di luar ayam sembunyi di balik semak, giliran kami masuk rumah, eh mereka datang menyerbu. Belum lagi hasil kais-kaisan ayam di padi yang dijemur kadang tercecer ke mana-mana, hal yang paling menyebalkan.
            “Yang penting itu punya sawah, aman. Kalau misal nanti krisis makanan pokok, setidaknya para petani masih bisa makan hasil panennya sendiri.”
            “Betul itu, Buk. Kalau kaya bagusnya investasi sawah aja ya. Hehehe...”
            “Memang, kalau dilihat kerjanya nggak kelihatan. Nggak daapt duit pula. Soalnya kerja petani ya begini ini, musiman dan tidak ketara. Paling sibuk kalau waktu menanam dan panen, selain itu ya cuma bolak-balik ke sawah. Memupuk, memastikan terhindar hama, menata saluran irigasi.”
            Di sela-sela santai kami yang bermandikan mentari pagi, aku melihat benda berkilat di pinggir pematang. Sontak aku kaget, rupanya itu seekor ular sawah.
            “Biarin aja,” kata Buke. “Kehadiran mereka sangat mulia di sini, membasmi para tikus. Seperti KPK yang membasmi politikus. Bedanya kalo KPK banyak caranya, kalau dia mah tinggal hap, tikus ditelannya sudah. Hehehe..”
            “Bener juga sih, Buk.” Aku ikut tertawa.




[1] Panggilan untuk Ibu
[2] Terseret air hujan
[3] Panggilan untuk bapak
[4] Menanam padi kembali dengan cara memisahkan rumpun yang rapat ke tanah yang masih lengang/kosong di satu petak sawah. Tujuannya agar padi tumbuh rapi, tidakterlalu rapat/longgar.
[5] Menyuruh tani penggarap untuk melakukan kegiatannya.

Wednesday 24 January 2018

Sang Dewi Perdamaian

airmid goddess of healing | Airmid – Celtic Goddess of Healing and Herbal Lore
Dewi Perdamaian, sumber : pinterest.com

“Namaku Eirene. Aku lahir di tengah kerusuhan Nagasakti, kerusuhan yang telah menewaskan banyak korban. Ribuan. Ayah dan ibu adalah golongan minoritas yang menjadi koban. Mereka dan beberapa teman berlarian ke sana-kemari seperti lebah kehilangan rumah.”
***
Waktu itu adalah waktu kelahiranku. Kandungan ibuku baru menginjak 9 bulan lebih. Pukul 01.00 dini hari, perut ibu berkontraksi. Melilit-lilit dan menekan-nekan seperti ada sesuatu yang hendak keluar. Ayahku segera tanggap. Ia pergi ke dukun bayi. Meminta bantuan agar berkenan membantu persalinan.
Beruntung, Piyem, tidak seperti orang kebanyakan. Walau semua orang, entah karena sebab apa membenci kami, tapi tidak dengan Piyem. Malam itu juga bersama ayah, Piyem menuju rumah kami. Di dalamnya, ibu sudah menanti bersama seorang tetangga yang menemani.
Pukul 02.00 dini hari. Terdengar suara gaduh di luar. Orang-orang bersenjata. Memakai seragam seperti tentara nasional. Membawa tank. Menjarahi apa saja dan menembaki siapa saja yang mereka temui. Mereka adalah sepasukan yang bertugas menjaga keamaan. Namun, bukan keamaan yang mereka wujudkan. Mereka adalah STR, tentara nasional. Namun, oleh kami mereka memiliki julukan tersendiri. Serigala. Kehadirannya hanya memangsa tak lebih dari sekedar serigala kelaparan. Selalu menciptakan rasa takut dan was-was pada kami, golongan minoritas.
Di luar begitu gaduh. Untuk menghindari suara jeritan, mulut ibu disumpal dengan kain agar tidak berteriak saat mengejan. Peluh yang menetes dari dahi dan tenaga yang diloloskan harus tertampung dalam jerit yang tertahan. Ibu sudah mendekati bukaan lima dan sepasukan penjaga keamaanan belum juga sirna.
“Pelan-pelan, Buk. Nah, bagus. Ayo dorong terus...terus... Anda pasti bisa!”
Ibuku mengikuti anjuran Piyem. Walaupun ia mendera sakit yang luar biasa. Sedang ayahku sebentar-sebentar menilik ke luar, memastikan keadaan aman dari sepasukan keamanan.
“Tenangin dirimu, Mar. Sebaiknya kita semua berdoa, memohon keselamatan,” tukas Anzi, salah satu tetangga kami.
Ayahku mengikuti anjuran Anzi. Ia lekas mengatupkan tangan dan membaca doa. Lalu kami semua berdoa dalam hati masing-masing. Dinginnya malam memeluk doa-doa kami, menjadi saksi bisu atas ketegangan kami.
Di luar, Serigala masih terdengar gaduh. Sepertinya mereka sedang memberangus salah satu gedung pertokoan milik tetangga kami. Tiga hari sekali mereka selalu ke sini, katanya mengamankan, tapi nyatanya membuat kami kelabakan dan ketakutan.  Puing-puing gedung yang  ditemukan hangus keesokan hari menjadi saksi bisu pembakaran paksa yang dilakukan oleh mereka. Setiap peristiwa itu terjadi, paginya kami selalu ditinggalkan dalam keadaan batin mendendam.
Pernah suatu ketika salah satu dari kami melakukan perlawanan. Bukannya menang, justru penyiksaan dan kematian hina yang mereka peroleh. Mereka dengan tanpa belas kasihan menyiksa dan memukul bahkan menguliti hidup-hidup siapapun yang berani melawan. Baiklah, kami memang tidak seideologi dengan mereka. Namun atas nama kemanusiaan, tidakkah mereka memiliki rasa belas kasihan?
Pukul 03.17 dini hari. Aku telah lahir. Darah dan plasenta setia menemani diriku datang ke dunia. Aku menangis sekeras-kerasnya, membelah sunyinya malam. Semua orang tersenyum lega dan bahagia. Kehadiranku disambut dengan penuh sukacita. Ayahku bergegas menilik ke luar. Takut kalau-kalau tangisku didengar oleh Serigala. Tak ada apa pun. Keadaan sepi.
“Ku rasa, mereka semua sudah pergi. Puji Tuhan.” Ayahku mengatupkan kedua tangannya.
“Semoga tangis bayimu tidak terdengar oleh mereka,” doa Anzi.
“Semoga kita semua diberi keselamatan.”
Ibu yang saat itu bermandikan peluh sedang memelukku. Tak peduli walau aku masih merah, belum dibersihkan. Aku segera dituntunnya menetek, mencecap saripati kehidupan dari buahnya. Air matanya berlinang, dan dia berucap dalam haru kebahagiaan, “Kau sungguh cantik, putriku.”
Malam sunyi kala itu menjadi saksi kelahiranku. Juga dinding rumah menyambutku dengan kehangatannya, di balik dinginnya malam yang mencekam. Empat pasang mata terfokus padaku, hanya memandangiku, makhluk yang bersemayam dalam kasih sayang rahim selama ini. Kehadiranku membawa secercah kebahagiaan bagi orang tuaku yang selama ini diliputi kesedihan dan kesusahan.
Dan tiba-tiba...
“BRAAKKKK..!!!!!”
Pintu terdobrak. Patah setengah. Terbuka. Lalu sekumpulan orang berseragam, bersenjata api, dan bertopeng memasuki rumah kami. Mereka datang dengan dalih mendengar keributan di rumah kami. Betapa tidak masuk akalnya, tangis seorang bayi, tangis suatu kehidupan, mereka samakan dengan keributan. Betapa bodohnya mereka, namun mereka tak pernah memikirkan hal itu. Mereka adalah yang paling benar di negara ini. Siapapun yang menentang, maka pilihannya hanya satu. Mati.
Kami merasakan ketegangan dan ketakutan. Empat orang harus menghadapi setidaknya lima belas tentara dengan senjata api lengkap. Ayahku maju ke depan, memohon-mohon, bahkan rela mencium satu-persatu sepatu mereka. Dengan rasa jijik mereka memandang ayahku. Lima belas tentara mengacungkan senjata api pada ayahku tanpa sedikitpun merasa tersentuh.
“Ku mohon, selamatkanlah kami. Kami berjanji tidak akan membuat keributan lagi. Kami berjanji. Ku mohon, ku mohon, tuan-tuan. Saya rela melakukan apa pun asal tuan menyelamatkan kami.” Ayahku bersujud dan menyembah-nyembah, seperti budak yang memohon-mohon pada tuannya.
Ketegangan yang menyelimuti kami kini berubah menjadi rasa takut dan was-was. Kami berempat tak bisa berkutik, selain sama-sama bersujud seperti ayah. Sesungguhnya bukan tentara yang kami hadapi, tetapi maut. Ibu dengan sisa-sisa tenaga ikut turun dari ranjang sembari menggendongku, menyembah mereka. Saat itu aku masih merah dan terus menerus menangis, merasakan ketegangan dan ketakutan dalam hati ibu.
“Diam!!!” seru salah seorang tentara.
“Diam atau ku tembak bayimu itu!” seru salah seorang lagi.
Ibu dengan paksa dan perasaan tak tega membekap mulutku dengan putingnya. Walau aku tak mau menetek, ibu memaksaku. Akhirnya, aku pun diam menetek.
Lalu, sekonyong-konyong, seluruh pasukan itu keluar rumah tanpa meninggalkan sedikitpun goresan pada tubuh kami. Meski begitu, tentu mereka meninggalkan rasa takut mendalam. Rasa takut yang begitu amat sangat, sehingga tak akan pernah terlupakan dalam sejarah napas kami. Napas kami yang waktu itu naik turun seperti orang dikejar serigala. Ya, mereka memang serigala. Serigala yang merampas kehidupan kami, kaum minoritas.
Ayah mengira kami terbebas dari ancaman. Ketika kami masih duduk dengan perasaan sedikit lega, tiba-tiba kami merasakan hawa panas. Rasa panas itu tidak datang dari dendam kami seperti ketika mereka mengata-ngatai kami. Rasa panas itu berasal dari sekeliling kami. Lalu tiba-tiba kobaran api mengelilingi kami. Api itu menjilat-jilat semakin tinggi dan semakin mendekati tubuh kami. Ayah, Piyem, dan Anzi segera mencoba mencari air atau apapun yang bisa memadamkan api. Mereka bertiga kelabakan seperti anak-anak ayam yang dikejar musang. Air yang dicari ternyata sudah kering. Tak ada apa pun yang bisa digunakan untuk memadamkan api. Semuanya terbakar. Ayah, Piyem, dan Anzi pun terbakar ketika berusaha menyelamatkan kami. Mereka hangus tepat di depan ibu, setelah sebelumnya menjerit-jerit seperti cacing kepanasan di atas jalan beraspal siang hari.
Aku menangis sekeras-kerasnya. Rasa panas yang menyelimuti tubuhku membuatku kejang-kejang. Ibu tak ingin aku mati secepat itu. Aku baru saja lahir dengan selamat beberapa menit lalu. Tak mungkin ia membiarkan aku meregang nyawa saat ini juga. Maka, ibu dengan sekuat tenaga melindungiku dari rasa panas. Ia membungkusku dengan selembar kain yang digunakan untuk persalinan. Ibu, dengan sisa tenaganya mencoba mencari tempat berlindung agar kami tidak terbakar hidup-hidup. Rasa sakit, pedih, perih, kecewa, dendam, lemah, semua rasa itu ditelannya, dibulatkan menjadi satu tekad untuk menyelamatkan diri walau harapan hidup hanya seujung jari.
“Tuhan, ku mohon selamatkan aku dan putriku. Beri aku kekuatan dan keajaiban, Tuhan. Hukum mereka yang berbuat kejam pada kami yang tak tahu apa-apa ini,” rintih ibuku kala itu.
Ibu merangkak pelan, mencoba mencari celah yang belum terkena api. Di lihatnya suatu lubang di tembok rumah kami yang belum terbakar. Lubang seukuran orang jongkok itulah yang ibu pilih untuk menyelamatkan diri.
Di luar dugaan, para tentara itu masih berjaga di luar. Siap dengan senjata api yang mengarah pada rumah, menembaki kami kalau-kalau kami tidak mati di tempat. Salah satu tentara melihat ibuku keluar rumah dengan aku di gendongan.
“Hei, mau lari ke mana kau?!” seru salah orang dari mereka.
“Kejar dia! Tembak sekalian kalau perlu.”
Lima orang tentara memburu ibu yang lari terbirit-birit. Mereka sesekali menembaki. Ajaibnya tiada satu peluru pun yang mengenai tubuh kami berdua. Lalu di pertigaan jalan, ibuku memilih belok kiri, dan masuk ke kandang ternak milik salah seorang warga. Bersama para ternak itu, ibuku bersembunyi. Untuk sesaat kami aman dari kejaran.
“Kita aman, Nak. Puji Tuhan kita aman dari kejaran mereka. Maafkan ibu, Nak. Kau dilahirkan saat kondisi sedang kacau, saat perang berkecamuk. Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa memberikan kedamaian saat kelahiranmu. Tapi, ibu berjanji, ibu akan memberikan seluruh kasih sayang dan pengorbanan yang dapat ibu berikan. Seumur hidup ibu.”
“Kelak, semoga kamu mampu menjadi orang hebat yang melindungi kaum yang lemah. Kelak, semoga kamu menjadi orang yang menjaga perdamaian. Dan mulai sekarang, kamu ibu beri nama Eirene, sang dewi perdamaian yang terkenal dalam mitologi Yunani.”
***
Kisah di atas adalah sekelumit sejarah asal-usulku yang selalu diceritakan ibu saat aku kecil, ketika hendak tidur. Dan kini, di atas mimbar saat memimpin demo, semangatku kembali berkobar. Lantang aku mengucapkan slogan perjuangan, “Perdamaian harus ditegakkan!”


Followers