 |
Dewi Perdamaian, sumber : pinterest.com |
“Namaku Eirene. Aku
lahir di tengah kerusuhan Nagasakti, kerusuhan yang telah menewaskan banyak
korban. Ribuan. Ayah dan ibu adalah golongan minoritas yang menjadi koban.
Mereka dan beberapa teman berlarian ke sana-kemari seperti lebah kehilangan
rumah.”
***
Waktu itu adalah waktu
kelahiranku. Kandungan ibuku baru menginjak 9 bulan lebih. Pukul 01.00 dini hari,
perut ibu berkontraksi. Melilit-lilit dan menekan-nekan seperti ada sesuatu
yang hendak keluar. Ayahku segera tanggap. Ia pergi ke dukun bayi. Meminta
bantuan agar berkenan membantu persalinan.
Beruntung, Piyem, tidak
seperti orang kebanyakan. Walau semua orang, entah karena sebab apa membenci
kami, tapi tidak dengan Piyem. Malam itu juga bersama ayah, Piyem menuju rumah
kami. Di dalamnya, ibu sudah menanti bersama seorang tetangga yang menemani.
Pukul 02.00 dini hari.
Terdengar suara gaduh di luar. Orang-orang bersenjata. Memakai seragam seperti
tentara nasional. Membawa tank. Menjarahi apa saja dan menembaki siapa saja yang
mereka temui. Mereka adalah sepasukan yang bertugas menjaga keamaan. Namun,
bukan keamaan yang mereka wujudkan. Mereka adalah STR, tentara nasional. Namun,
oleh kami mereka memiliki julukan tersendiri. Serigala. Kehadirannya hanya
memangsa tak lebih dari sekedar serigala kelaparan. Selalu menciptakan rasa
takut dan was-was pada kami, golongan minoritas.
Di luar begitu gaduh. Untuk
menghindari suara jeritan, mulut ibu disumpal dengan kain agar tidak berteriak
saat mengejan. Peluh yang menetes dari dahi dan tenaga yang diloloskan harus
tertampung dalam jerit yang tertahan. Ibu sudah mendekati bukaan lima dan
sepasukan penjaga keamaanan belum juga sirna.
“Pelan-pelan, Buk. Nah,
bagus. Ayo dorong terus...terus... Anda pasti bisa!”
Ibuku mengikuti anjuran
Piyem. Walaupun ia mendera sakit yang luar biasa. Sedang
ayahku sebentar-sebentar menilik ke luar, memastikan keadaan aman dari
sepasukan keamanan.
“Tenangin dirimu, Mar. Sebaiknya kita semua berdoa,
memohon keselamatan,” tukas Anzi, salah satu tetangga kami.
Ayahku mengikuti anjuran Anzi. Ia lekas mengatupkan
tangan dan membaca doa. Lalu kami semua berdoa dalam hati masing-masing.
Dinginnya malam memeluk doa-doa kami, menjadi saksi bisu atas ketegangan kami.
Di luar, Serigala masih terdengar gaduh. Sepertinya
mereka sedang memberangus salah satu gedung pertokoan milik tetangga kami. Tiga
hari sekali mereka selalu ke sini, katanya mengamankan, tapi nyatanya membuat
kami kelabakan dan ketakutan.
Puing-puing gedung yang ditemukan
hangus keesokan hari menjadi saksi bisu pembakaran paksa yang dilakukan oleh
mereka. Setiap peristiwa itu terjadi, paginya kami selalu ditinggalkan dalam
keadaan batin mendendam.
Pernah suatu ketika salah satu dari kami melakukan
perlawanan. Bukannya menang, justru penyiksaan dan kematian hina yang mereka
peroleh. Mereka dengan tanpa belas kasihan menyiksa dan memukul bahkan
menguliti hidup-hidup siapapun yang berani melawan. Baiklah, kami memang tidak
seideologi dengan mereka. Namun atas nama kemanusiaan, tidakkah mereka memiliki
rasa belas kasihan?
Pukul 03.17 dini hari. Aku telah lahir. Darah dan
plasenta setia menemani diriku datang ke dunia. Aku menangis sekeras-kerasnya,
membelah sunyinya malam. Semua orang tersenyum lega dan bahagia. Kehadiranku disambut
dengan penuh sukacita. Ayahku bergegas menilik ke luar. Takut kalau-kalau
tangisku didengar oleh Serigala. Tak ada apa pun. Keadaan sepi.
“Ku rasa, mereka semua sudah pergi. Puji Tuhan.” Ayahku
mengatupkan kedua tangannya.
“Semoga tangis bayimu tidak terdengar oleh mereka,” doa Anzi.
“Semoga kita semua diberi keselamatan.”
Ibu yang saat itu bermandikan peluh sedang memelukku. Tak
peduli walau aku masih merah, belum dibersihkan. Aku segera dituntunnya
menetek, mencecap saripati kehidupan dari buahnya. Air matanya berlinang, dan
dia berucap dalam haru kebahagiaan, “Kau sungguh cantik, putriku.”
Malam sunyi kala itu menjadi saksi kelahiranku. Juga
dinding rumah menyambutku dengan kehangatannya, di balik dinginnya malam yang
mencekam. Empat pasang mata terfokus padaku, hanya memandangiku, makhluk yang
bersemayam dalam kasih sayang rahim selama ini. Kehadiranku membawa secercah
kebahagiaan bagi orang tuaku yang selama ini diliputi kesedihan dan kesusahan.
Dan tiba-tiba...
“BRAAKKKK..!!!!!”
Pintu terdobrak. Patah setengah. Terbuka. Lalu sekumpulan
orang berseragam, bersenjata api, dan bertopeng memasuki rumah kami. Mereka
datang dengan dalih mendengar keributan di rumah kami. Betapa tidak masuk
akalnya, tangis seorang bayi, tangis suatu kehidupan, mereka samakan dengan
keributan. Betapa bodohnya mereka, namun mereka tak pernah memikirkan hal itu.
Mereka adalah yang paling benar di negara ini. Siapapun yang menentang, maka
pilihannya hanya satu. Mati.
Kami merasakan ketegangan dan ketakutan. Empat orang
harus menghadapi setidaknya lima belas tentara dengan senjata api lengkap.
Ayahku maju ke depan, memohon-mohon, bahkan rela mencium satu-persatu sepatu
mereka. Dengan rasa jijik mereka memandang ayahku. Lima belas tentara
mengacungkan senjata api pada ayahku tanpa sedikitpun merasa tersentuh.
“Ku mohon, selamatkanlah kami. Kami berjanji tidak akan
membuat keributan lagi. Kami berjanji. Ku mohon, ku mohon, tuan-tuan. Saya rela
melakukan apa pun asal tuan menyelamatkan kami.” Ayahku bersujud dan menyembah-nyembah,
seperti budak yang memohon-mohon pada tuannya.
Ketegangan yang menyelimuti kami kini berubah menjadi
rasa takut dan was-was. Kami berempat tak bisa berkutik, selain sama-sama
bersujud seperti ayah. Sesungguhnya bukan tentara yang kami hadapi, tetapi
maut. Ibu dengan sisa-sisa tenaga ikut turun dari ranjang sembari
menggendongku, menyembah mereka. Saat itu aku masih merah dan terus menerus
menangis, merasakan ketegangan dan ketakutan dalam hati ibu.
“Diam!!!” seru salah seorang tentara.
“Diam atau ku tembak bayimu itu!” seru salah seorang
lagi.
Ibu dengan paksa dan perasaan tak tega membekap mulutku
dengan putingnya. Walau aku tak mau menetek, ibu memaksaku. Akhirnya, aku pun
diam menetek.
Lalu, sekonyong-konyong, seluruh pasukan itu keluar rumah
tanpa meninggalkan sedikitpun goresan pada tubuh kami. Meski begitu, tentu
mereka meninggalkan rasa takut mendalam. Rasa takut yang begitu amat sangat,
sehingga tak akan pernah terlupakan dalam sejarah napas kami. Napas kami yang
waktu itu naik turun seperti orang dikejar serigala. Ya, mereka memang
serigala. Serigala yang merampas kehidupan kami, kaum minoritas.
Ayah mengira kami terbebas dari ancaman. Ketika kami
masih duduk dengan perasaan sedikit lega, tiba-tiba kami merasakan hawa panas.
Rasa panas itu tidak datang dari dendam kami seperti ketika mereka
mengata-ngatai kami. Rasa panas itu berasal dari sekeliling kami. Lalu
tiba-tiba kobaran api mengelilingi kami. Api itu menjilat-jilat semakin tinggi
dan semakin mendekati tubuh kami. Ayah, Piyem, dan Anzi segera mencoba mencari
air atau apapun yang bisa memadamkan api. Mereka bertiga kelabakan seperti
anak-anak ayam yang dikejar musang. Air yang dicari ternyata sudah kering. Tak
ada apa pun yang bisa digunakan untuk memadamkan api. Semuanya terbakar. Ayah,
Piyem, dan Anzi pun terbakar ketika berusaha menyelamatkan kami. Mereka hangus
tepat di depan ibu, setelah sebelumnya menjerit-jerit seperti cacing kepanasan
di atas jalan beraspal siang hari.
Aku menangis sekeras-kerasnya. Rasa panas yang menyelimuti
tubuhku membuatku kejang-kejang. Ibu tak ingin aku mati secepat itu. Aku baru
saja lahir dengan selamat beberapa menit lalu. Tak mungkin ia membiarkan aku
meregang nyawa saat ini juga. Maka, ibu dengan sekuat tenaga melindungiku dari
rasa panas. Ia membungkusku dengan selembar kain yang digunakan untuk
persalinan. Ibu, dengan sisa tenaganya mencoba mencari tempat berlindung agar
kami tidak terbakar hidup-hidup. Rasa sakit, pedih, perih, kecewa, dendam,
lemah, semua rasa itu ditelannya, dibulatkan menjadi satu tekad untuk
menyelamatkan diri walau harapan hidup hanya seujung jari.
“Tuhan, ku mohon selamatkan aku dan putriku. Beri aku
kekuatan dan keajaiban, Tuhan. Hukum mereka yang berbuat kejam pada kami yang
tak tahu apa-apa ini,” rintih ibuku kala itu.
Ibu merangkak pelan, mencoba mencari celah yang belum
terkena api. Di lihatnya suatu lubang di tembok rumah kami yang belum terbakar.
Lubang seukuran orang jongkok itulah yang ibu pilih untuk menyelamatkan diri.
Di luar dugaan, para tentara itu masih berjaga di luar.
Siap dengan senjata api yang mengarah pada rumah, menembaki kami kalau-kalau
kami tidak mati di tempat. Salah satu tentara melihat ibuku keluar rumah dengan
aku di gendongan.
“Hei, mau lari ke mana kau?!” seru salah orang dari
mereka.
“Kejar dia! Tembak sekalian kalau perlu.”
Lima orang tentara memburu ibu yang lari terbirit-birit.
Mereka sesekali menembaki. Ajaibnya tiada satu peluru pun yang mengenai tubuh
kami berdua. Lalu di pertigaan jalan, ibuku memilih belok kiri, dan masuk ke kandang
ternak milik salah seorang warga. Bersama para ternak itu, ibuku bersembunyi.
Untuk sesaat kami aman dari kejaran.
“Kita aman, Nak. Puji Tuhan kita aman dari kejaran
mereka. Maafkan ibu, Nak. Kau dilahirkan saat kondisi sedang kacau, saat perang
berkecamuk. Maafkan ibu, Nak. Ibu tak bisa memberikan kedamaian saat
kelahiranmu. Tapi, ibu berjanji, ibu akan memberikan seluruh kasih sayang dan
pengorbanan yang dapat ibu berikan. Seumur hidup ibu.”
“Kelak, semoga kamu mampu menjadi orang hebat yang melindungi
kaum yang lemah. Kelak, semoga kamu menjadi orang yang menjaga perdamaian. Dan
mulai sekarang, kamu ibu beri nama Eirene, sang dewi perdamaian yang terkenal
dalam mitologi Yunani.”
***
Kisah di atas adalah sekelumit sejarah asal-usulku yang selalu
diceritakan ibu saat aku kecil, ketika hendak tidur. Dan kini, di atas mimbar
saat memimpin demo, semangatku kembali berkobar. Lantang aku mengucapkan slogan
perjuangan, “Perdamaian harus ditegakkan!”